Suatu malam saya menghadiri pertemuan di rumah warga. Jika biasanya saya duduk di ruangan dalam bersama para orang tua malam itu saya mencoba sebaliknya. Saya duduk di luar rumah bersama para pemuda.
Obrolan khas para pemuda pun mengalir dari masalah pekerjaan hingga masalah ternak jangkrik.
Topik obrolan berganti ketika salah satu pemuda yang baru saja dikaruniai anak datang. Pemuda yang sudah tujuh tahunan menikah ini baru tiga pekan bergelar ayah. Bapak. Papa.
Salah satu pemuda menanggapi hadirnya anak adalah terbukanya pintu rizki di kemudian hari. Ucapan yang diamini pemuda lain.
"Tapi di awal mungkin kita akan kaget. Pengalaman saya hadirnya anak pertama justru diikuti rizki yang seret. Itu berlangsung beberapa waktu. Alhamdulillah kalau sekarang sudah mulai longgar." pemuda lain yang sudah dianggap pemimpin menanggapi.
"Sama, baru di anak kedua rasanya jalan terbuka." ungkap pemuda lainnya.
Ada pula yang kemudian menganggap bahwa anak itu tidak perlu banyak.
"Sekarang bukan saatnya memegang prinsip banyak anak banyak rizki. Satu dua anak saja sudah bikin pusing" ucap satu di antaranya yang kemudian dibantah beberapa pemuda di sampingnya.
Saya meyakini setiap anak memiliki jatah rizki masing-masing. Setiap yang dilahirkan di dunia sudah ada paket rizki yang menyertai.
Kegalauan akan rizki karena banyaknya anak harus ditepis.
Saya jadi teringat cerita salah satu wali murid. Beliau yang saat itu berstatus guru honorer harus menghidupi tiga anak dengan dua di antaranya bersekolah asrama.