“Baiklah Lik, Aku bersedia”, akhirnya aku menyetujui permintaan Lik Slamet. Bukan apa-apa, aku memang mencintai Ning dan aku pun tahu kalau ia mencintaiku. Memang benar kata orang, “Kalau sudah jodoh, tidak akan lari kemana”. Kulihat Lik Slamet menyimpulkan senyum. Ia masih menepuk-nepuk pundakku. Tepukannya semakin lama semakin keras. “Sudah Lik, aku percaya kalau ini bukan mimpi”, ujarku. Namun tepukan Lik Slamet bertambah keras. Ia juga menepuk pipiku. Dan…………………………………......
“Mas, bangun Mas, sebentar lagi sampai di perempatan Grogolan, sampeyan turu kok mandhem temen, tak gugah awit mau ora tangi-tangi”, Kulihat tangan Kondektur masih melekat di Pundakku. “Oh….ah……”, aku limbung. “Mas, sampeyan ora pengin keliwatan to?”, ujar kondektur Bus itu lagi. Ah sial. Ternyata aku tadi cuma bermimpi. Sesak dada ini.
“Sampeyan tidur kok pulas betul, ngimpi opo sampeyan?”
“Ngimpi kawin Mas, tapi nggak jadi”
“Oalah….mungkin perempuan yang ada di mimpi sampeyan itu memang bukan jodoh sampeyan”
“Mungkin”
Bus sampai di perempatan Grogolan. Kondektur itu mengantarku mendekati pintu dan membukakannya.
“Sejak dulu, begitulah cinta Mas, deritanya tiada akhir”, kata Kondektur itu sambil tertawa cekikikan. Aku cuma tersenyum kecut. Aku tiba-tiba jadi benci dengan kondektur itu. Ia tertawa cekikian seperti Pat Kay, murid biksu Tong. Ingin aku memukulnya dengan toya sakti milik Go Kong. Namun hal itu urung kulakukan. Sambil menjinjing tas aku hanya berujar, “Matur nuwun mas”.
Dan besok aku akan benar-benar menghadiri pernikahan Ning.
By Albandary
NB: Mo bikin cerita sedih tapi ga bisa. Beginilah jadinya. Amburadul. Wkkkk
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI