“Gimana ini Pak Slamet?”
“Sebentar Pak Penghulu, saya masih bingung”
“Apa kita batalkan saja pernikahan ini?”
“Sebentar, sebentar…..saya tanya Ning dulu”
Lik Slamet melangkah mendekati Ning yang sudah lemas tak berdaya seperti kain basah. Ia membelai rambutnya yang kini sudah terurai karena kondenya lepas. “Piye nduk menurutmu? Kalau menurut Lik, mending kita batalkan saja pernikahan ini”, ujar Lik Slamet. Ning masih sesenggukan. “Piye nduk?”, lanjut Lik Slamet. Senggukan Ning berangsur-angsur berhenti. Ia menegakkan kepalanya. Ia lantas berbicara. Tak lama keduanya masuk ke dalam rumah. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak begitu jelas mendengarnya.
Tak lama kemudian, Lik Slamet berjalan mendekatiku. Ia membetulkan letak peci di kepalanya yang agak miring. Langkahnya mantap dan air mukanya meyakinkan. Ia lantas berbicara kepadaku.
“Mbang, Ning memintaku menikahkan kalian berdua, bersediakah engkau Nak?
Aku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi.
“Ning, bilang kalau dia mencintaimu. Lik lah yang memaksanya menikah dengan Anton”
Lik Slamet memegang pundakku.
Apakah ini mimpi?. Kalau ini mimpi tolong bangunkan aku dari mimpi yang melenakan ini?. Siapapun orang yang sedang melihatku tertidur, tolong bangunkan aku.
“Apakah ini mimpi Lik?”, Aku masih tidak percaya
“Bukan, Nak, ini bukan mimpi, ini kenyataan”
“Tolong tepuk pundakku Lik, yang keras, biar aku merasakan dan tahu bahwa ini memang bukan mimpi”, ujarku seraya berusaha meyakinkan diri sendiri. Lik Slamet pun menepuk-nepuk pundakku. Dan aku merasakannya. Ini bukan mimpi!. Ini bukan khayalan!. Aku serasa terbang ke awan dan menaiki burung bangau putih.