Ngng, Rasya!
Iya, Kei?
Selamat ulang tahun!
Terimakasih, Sobat. Kau yang terbaik!
*****
Hatiku masih terbalut gelisah dan bersalah. Gaun pemberian Rasta tak berjejak, hilang. Aku pun tak menghadiri undangan makan malam dari keluarga Rasta. Aku tak tahu harus berkata apa pada mereka perkara gaun yang hilang itu. Aku malu. Rasta maafkan aku.
Bruak!!
Sebuah kotak bersampul hitam jatuh dari lokerku. Penasaran, ku buka bungkusan kotak itu. Dan ku lihat isinya, sebuah kaset rekaman dan sebuah buku harian yang persis dengan milik Keisya. Apa maksudnya ini. Tak betah didekap penasaran, ku setel rekaman itu. Dan ternyata……
******
Apa maksudmu melakukan ini semua, Keisya? Apa salahku padamu? Makiku pada Keisya setibanya aku di rumah. Awalnya aku tak percaya akan apa yang ku lihat dalam rekaman itu, tapi pernyataan Keisya pada buku hariannya cukup menjadi bukti.
. . . Tuhan, sungguh aku tak rela ini semua terjadi. Ternyata selama ini Kak Rasta lebih menaruh kagum pada Rasya. Bukan padaku! Tadi pagi, aku menemukan sebuah bingkisan bersampul ungu di depan pintu. Dibawa penasaran, kemudian ku buka isinya. Ternyata itu adalah kado ulang tahun dari Rasta untuk Rasya .Sungguh hati ini terbakar. Hatiku berkecamuk. Haruskah aku utamakan sahabatku atau perasaanku? Tak berselang lama, ada seorang gadis kecil melintas di hadapanku.
Ku panggil ia, dan ku berikan gaun ungu itu padanya. Aku berkata padanya, bahwa ia harus memakai gaun ini jika tiba waktunya nanti. Ia tersenyum bahagia dan berlalu. Kembali aku menitihkan air mata. Rasya, maafkan aku. Sungguh aku tak kuasa menerima semua ini.. Rabu, 20 Oktober. . . .