PENDAHULUAN
Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat muktabar yang memiliki banyak pengikut di Indonesia. Tarekat Naqsyabandiyah juga merupakan tarekat yang paling mendominasi di Minangkabau.
Meskipun demikian, para peneliti dan ahli sejarah berbeda pendapat mengenai awal kemunculan tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau. Menurut Bruinessen, tarekat Naqsyabandiyah telah berkembang di Minangkabau sejak tahun 1850 M (Bruinessen, 1992). Hal senada juga dijelaskan oleh Schrieke, bahwa Syekh Ismail al-Minangkabawi merupakan mursyid pertama yang mengembangkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau pada tahun 1850 M (Schrieke, 1973). Akan tetapi pendapat Bruinessen dan Schrieke ini terbantahkan berdasarkan naskah ijazah tarekat Naqsyabandiyah bertahun 1334 H yang diberikan oleh Syekh Abd al-Rahman, yang merupakan khalifah dari Syekh Ibrahim Kumpulan, kepada Syekh Muhammad Syarif melalui jalur Syekh Ibrahim Kumpulan, dari Syekh Abdullah Afandy, yang merupakan salah seorang khalifah dari Syekh Khalid al-Kurdi.
Pendapat Bruinessen dan Schrieke sebelumnya hampir mirip dengan hasil penelitian terbaru dari Hadi. Menurutnya, tarekat Naqsyabandiyah berkembang pada awal abad ke-19 M melalui kawasan Pantai Timur Sumatera Barat atas jasa Syekh Ismail al-Minangkabawi. Pendapat Hadi bersandarkan pada naskah kitab al-Manhal al-'Adhb li Dzikr al-Qalb yang menurutnya ditulis oleh Syekh Ismail al-Minangkabawi di Riau pada tahun 1829 M. Berdasarkan temuan ini, Hadi menyimpulkan bahwa Syekh Ismail al-Minangkabawi telah berada di Riau dan mengembangkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah sejak tahun 1829 M (Hadi, 2011).
Akan tetapi pendapat Hadi ini tidak lepas dari kritik. Pertama, karena tidak adanya kepastian mengenai kapan kitab tersebut ditulis oleh Syekh Ismail al-Minangkabawi. Dalam hal ini, Hadi mendasari pendapatnya berdasarkan bait nazham yang terdapat dalam naskah kitab tersebut, yang menurutnya tersembunyi tahun penulisan kitab oleh Syekh Ismail al-Minangkabawi. Namun beberapa peneliti dan ahli sejarah lain juga ada yang berpendapat bahwa kitab tersebut ditulis pada tahun 1858 M, setahun setelah wafatnya Syekh Ismail al-Minangkabawi (Dipodjojo, 1996). Kedua, Syekh Ismail al-Minangkabawi pertama kali diundang ke Riau oleh Raja Ali bin Yamatuan Muda Raja Ja'far, yang saat itu menjadi Yamatuan Muda Riau VIII menggantikan Raja Abdul al-Rahman Yamatuan Muda Riau VII yang wafat pada tahun 1844 M. Berdasarkan hal ini, tidak mungkin jika Syekh Ismail al-Minangkabawi telah berada di Riau pada tahun 1829 (Chairullah, 2016).
Sedangkan menurut Azra dan Dobbin, tarekat Naqsyabandiyah telah berkembang di Minangkabau sejak pertengahan abad ke-17 M melalui Syekh Jamal al-Din. Syekh Jamal al-Din mulanya belajar di Pasai dan kemudian berlanjut ke Bait al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir, dan India. Sebelum pulang ke Minangkabau, Syekh Jamal al-Din sempat singgah di Aceh. Di Aceh, Syekh Jamal al-Din mengembangkan tarekat Naqsyabandiyah. Syekh Jamal al-Din juga menulis kitab Lubab al-Hidayah, yang disandarkan kepada ajaran Syekh Ahmad bin 'Alan al-Shiddiqi al-Naqsyabandi (Azra, 2007).
Pendapat Azra dan Dobbin tentu sangat jauh berbeda dengan pendapat-pendapat peneliti dan ahli sejarah sebelumnya. Akan tetapi jika dikaji kembali, perbedaan pendapat ini terletak pada objek yang berbeda, meskipun masih sama-sama tarekat Naqsyabandiyah. Pada awalnya, tarekat Naqsyabandiyah bernama Shiddiqiyah, yang disandarkan pada Abu Bakr al-Shiddiq, kemudian berubah nama menjadi Thaifuriyah, setelah itu Khaujakaniyah, setelah itu Naqsyabandiyah, setelah itu Naqsyabandiyah Ahrariyah, setelah itu Naqsyabandiyah Mujaddidiyah, setelah itu Naqsyabandiyah Muzhariyah, baru kemudian pada masa Syekh Khalid al-Kurdi dinamai Naqsyabandiyah Khalidiyah (al-Dausari, tt). Adapun Naqsyabandiyah yang dimaksudkan oleh Bruinessen, Schrieke, dan Hadi adalah Naqsyabandiyah Khalidiyah. Sementara Azra dan Dobbin memaksudkan Naqsyabandiyah Mujaddidiyah (Chairullah, 2016).
GENEALOGI TAREKAT NAQSYABANDIYAH: DARI SYEKH BAHA' AL-DIN AL-NAQSYABANDI HINGGA SYEKH ISMAIL AL-MINANGKABAWI
Tarekat Naqsyabandiyah mulai berkembang sejak abad ke-14 M. Pendirinya adalah Syekh Muhammad Baha' al-Din al-Uwaisi al-Bukhari al-Naqsyabandi (w. 791 H/1389 M). Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi telah belajar tasawuf sejak usia belia. Pada usia 18 tahun, Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi berguru kepada Syekh Bab al-Sammasi. Kemudian dilanjutkan kepada khalifahnya, yaitu Syekh Amir Sayyid Kulal (al-Nabhani, 1978). Dari Syekh Amir Sayyid Kulal ini kemudian Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi mempelajari dasar-dasar tarekat yang kelak didirikannya, yaitu tarekat Naqsyabandiyah (Mulyati, 2004). Ringkasnya, Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi menyederhanakan amalan zikir dari pendahulunya, di mana sejak masa Syekh Mahmud al-Anjiri Faghnawi hingga masa Syekh Amir Sayyid Kulal mereka mengamalkan zikir jahar saat bersama dan zikir khafi saat sendiri yang kemudian disederhanakan menjadi zikir khafi saja oleh Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi (al-Kurdi, 1996).
Saat menjadi mursyid, Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi mengangkat tiga orang khalifah, yaitu Syekh Ya'qub al-Jarkhi, Syekh 'Ala al-Din 'Atthar, dan Syekh Muhammad Parsa. Syekh Ya'qub al-Jarkhi kemudian mengangkat Syekh 'Ubaidillah al-Ahrar sebagai khalifah. Syekh 'Ubaidillah al-Ahrar memiliki hubungan yang akrab dengan Abu Sa'id, penguasa Dinasti Timurid di Herat, Afghanistan. Berkat hubungan ini, tarekat Naqsyabandiyah berkembang ke berbagai daerah, antara lain Qazwain, Isfahan, Tabriz, dan Istanbul (Chairullah, 2016).
Tarekat Naqsyabandiyah selanjutnya menyebar ke India melalui Syekh Baqi Billah, yang menetap di sana selama empat tahun. Syekh Baqi Billah merupakan mursyid tarekat Naqsyabandiyah ke-23. Selama menetap di India, Syekh Muhammad Baqi Billah mengangkat empat orang khalifah, di antaranya adalah Syekh Ahmad al-Faruqi Sirhindi, yang kemudian dianggap sebagai penerus dari Syekh Muhammad Baqi Billah, dan Syekh Taj al-Din Zakaria (Bruinessen, 1992). Syekh Ahmad Sirhindi kemudian digelari dengan mujaddid karena dikenal sebagai sosok ulama pembaharu pada masanya. Syekh Ahmad Sirhindi merupakan seorang sufi yang gigih memperjuangkan Islam dan memurnikan ajaran dan paham yang melenceng saat itu (Ansari, 1986).
Setelah wafatnya Syekh Baqi Billah, Syekh Ahmad Sirhindi kemudian mengemban amanah untuk mengembangkan dan melanjutkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah (Ansari, 1986). Saat itu, Syekh Ahmad Sirhindi banyak melakukan pembaharuan, di antaranya adalah melakukan penolakan atas paham wahdah al-wujud, yang saat itu banyak digandrungi oleh kalangan sufi dari Asia Tengah. Hal ini kemudian membuat Syekh Taj al-Din Zakaria, salah seorang yang mendukung paham wahdah al-wujud, merasa kecewa hingga meninggalkan India menuju Makkah dan menetap di sana (Bruinessen, 1992).
Syekh Ahmad Sirhindi kemudian mengangkat putranya, Syekh Muhammad Ma'shum, sebagai khalifahnya. Syekh Muhammad Ma'shum kemudian juga mengangkat putranya, Syekh Muhammad Saif al-Din al-Faruqi, sebagai khalifahnya. Kemudian Syekh Muhammad al-Faruqi mengangkat Syekh Muhammad al-Badwani sebagai khalifahnya. Syekh Muhammad al-Badwani kemudian mengangkat Syekh Syams al-Din Jan Janan sebagai khalifahnya. Kemudian Syekh Syams al-Din mengangkat Syekh Abdullah al-Dahlawi sebagai khalifahnya. Syekh Abdullah al-Dahlawi kemudian mengangkat Syekh Diya' al-Din, yang dikenal dengan Syekh Khalid al-Kurdi, sebagai khalifahnya. Pada masa Syekh Khalid al-Kurdi inilah kemudian tarekat Naqsyabandi berkembang ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (Chairullah, 2016).
Syekh Khalid al-Kurdi, yang berbaiat kepada Syekh Abdullah al-Dahlawi, merupakan seorang ulama karismatik yang kemudian juga digelari dengan mujaddid karena melakukan pembaharuan dalam tarekat Naqsyabandiyah. Syekh Khalid al-Kurdi menambahkan metode suluk yang sebelumnya tidak dikenal dalam tarekat Naqsyabandiyah (al-Kurdi, tt; Foley, 2008). Selain berbait tarekat Naqsyabandiyah, Syekh Khalid al-Kurdi juga mendapatkan ijazah tarekat Qadiriyah, tarekat Sahruwardiyah, tarekat Kubrawiyah, dan tarekat Jistiyah (Chairullah, 2016).
Syekh Khalid al-Kurdi kemudian mengangkat Syekh Abdullah Afandy sebagai khalifah dan mengutusnya ke Makkah. Syekh Abdullah Afandy kemudian mendirikan zawiyah di Jabal Abi Qubais, yang dari tempat inilah kemudian tarekat Naqsyabandiyah menyebar sampai ke Indonesia yang dibawa oleh para pelajar Nusantara yang belajar di Makkah. Syekh Abdullah Afandy kemudian mengangkat Syekh Sulaiman al-Qarimi sebagai khalifah dan menunjuknya untuk menggantikan posisinya di Jabal Abi Qubais. Syekh Sulaiman al-Qarimi kemudian mengangkat Syekh Sulaiman Zuhdi sebagai khalifahnya. Syekh Abdullah Afandy juga mengangkat khalifah lain, di antaranya adalah Syekh Ismail al-Minangkabawi dan Syekh Abd al-Wahhab, yang dikenal dengan Syekh Ibrahim Kumpulan. Para khalifah dari Syekh Abdullah Afandy inilah yang kemudian memainkan peran besar dalam penyebaran tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau pada abad ke-19 M.
TAREKAT NAQSYABANDIYAH KHALIDIYAH DI MINANGKABAU
Tarekat Naqsyabandiyah sudah terdeteksi keberadaannya di Minangkabau sejak akhir abad ke-18 M. Saat itu telah muncul beberapa ulama yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyah, seperti Syekh Jalal al-Din Cangkiang, Syekh Daud Sunur, dan Syekh Sa'ad Padang Bubuih (Dobbin, 2008). Saat itu, tarekat Syattariyah merupakan tarekat yang paling berkembang dan memiliki banyak pengikut. Tidak aneh jika banyak ulama yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyah juga berbaiat kepada tarekat Syattariyah sekaligus.
Tarekat Naqsyabandiyah baru memiliki banyak pengikut dan mencapai punjak kejayaan di Minangkabau pada awal abad ke-19 M melalui Syekh Ibrahim Kumpulan dan murid-murid Syekh Ismail al-Minangkabawi, seperti Syekh Muhammad Thahir Barulak dan Syekh Abd al-Rahman. Sejak saat itu tarekat Naqsyabandiyah mampu mengalahkan dominasi tarekat Syattariyah dan menjadi tarekat yang paling banyak pengikutnya di Minangkabau (Chairullah, 2016).
KESIMPULAN
Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat muktabar yang memiliki banyak pengikut di Indonesia. Tarekat Naqsyabandiyah juga merupakan tarekat yang paling mendominasi di Minangkabau.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para peneliti dan ahli sejarah terkait awal mula masuknya Tarekat Naqsyabandiyah ke Minangkabau. Meskipun demikian, perbedaan pendapat ini terletak pada objek yang berbeda, sekalipun masih sama-sama tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat Naqsyabandiyah sendiri baru dikenal pada masa Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi. Sebelumnya dan sesudahnya, tarekat Naqsyabandiyah sering berganti nama. Di antara perkembangan tarekat Naqsyabandiyah yang paling banyak pengikutnya hingga saat ini adalah tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang dinisbatkan kepada Syekh Khalid al-Kurdi.
Tarekat Naqsyabandiyah sendiri telah masuk ke Minangkabau pada akhir abad ke-18 M, namun baru menjadi tarekat yang paling dominan di sana sejak abad ke-19 M hingga saat ini melalui jalur Syekh Ibrahim Kumpulan dan murid-murid Syekh Ismail al-Minagkabawi, seperti Syekh Muhammad Thahir Barulak dan Syekh Abd al-Rahman.
REFERENSI
Ansari, A. H. (1986). Sufism and Shari'ah: A Study of Shaykh Ahmad Sirhindi's Effort to Reform Sufism. Islamic Foundation.
Azra, A. (2007). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana.
Bruinessen, M. V. (1992). Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan.
Chairullah. (2016). Genealogi Spiritual Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau berdasarkan Naskah Ijazah serta Karakteristik Ijazahnya dalam Turats: Jurnal Penelitian & Pengabdian, Vol. 4, No. 1.
Dipodjojo, S. A. (1996). Memperkirakan Titimangsa Suatu Naskah. Yogyakarta: Lukman Offset Yogyakarta.
Dobbin, C. (1992). Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847. Jakarta: INIS.
al-Dausari, H. I. A. B. K. (tt). Rahmah al-Habithah fi Dzikr Ism Dzat wa al-Rabithah. Beirut: Dar al-Shadir.
Foley, S. (2008). The Naqsyabandiyya-Khalidiyya, Islamic Sainthood, and Religion in Modern Times dalam Journal of World History, Vol. 19, No. 4.
Hadi, S. (2011). Naskah al-Manhal al-'adhb li Dzikr al-Qalb: Kajian atas Dinamika Perkembangan Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau. Lembaga Studi Islam Progresif (LSIP).
al-Kurdi, M. A. (1996). Al-Mawahib al-Sarmadiyyah. Damaskus: Dar Hira.
_____________. (tt). Tanwir al-Qulub fi Muamalah al-'Allam al-Ghuyub. Damaskus: Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiyyah.
Mulyati, S. (2004). Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Pranada Media.
al-Nabhani, Y. I. I. (1978). Jami' Karamah al-Awliya'. Beirut: Maktabah al-Syabi'ah.
Schrieke. (1973). Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhatara.
MUHAMMAD ULIL ALBAB
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia
Sekolah Kajian Stratejik & Global
Kajian Timur Tengah & Islam - Kajian Islam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H