Buat para pejabat atau pengusaha Indonesia yang duitnya ‘’tidak berseri’’ alias buanyak banget, berobat ke Singapura mah seperti saya aja. Maksudnya, seperti saya berobat ke Puskesmas alias perkara mudah bagi mereka[1].
Lha kalau manusia bukan ber-uang macam saya mau berobat ke Singapura, opo tumon? Ketemu dari mana? Udah mikirin jauh tempatnya, apalagi mahalnya. Bukannya sembuh, malah nambah sakit mikirinitu semua.
Penyakit orang kecil seperti kita ini, cukuplah puyeng. Saya juga ada penyakit pusing tujuh kelilingmendadak, yang bahasa keren-nya vertigo[2].
Syahdan, suatu sore saya dan kawan-kawan bermaksud naik pesawat dari Padang menuju Jakarta. Sebelumnya, di Padang kami melakoni aktivitas nan cukup melelahkan dan dibawah teriknya sinar mentari yang begitu menyengat.
Sore dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Minangkabau, saya merasa badan mulai nggakenak.  Seperti masuk angin, dan kepala agak pusing.
Ndilalah, sampai di Bandara, ternyata pesawat yang akan kami tumpangi, delay. Padahal, saya dan rombongan sudah sepakat untuk menunda makan hingga tiba di Jakarta. Jika pesawat ontime, insya Allah sekitar waktu maghrib kita sudah akan sampai, lalu makan malam di warung sate langganan di Jakarta.
Innalillahi… ternyata pesawat ngaret sampai hampir 2 jam. Begitupun, kami menahan diri untuk tidak makan di bandara. Komitmen kami tetap pada Plan A: makan sate di Jakarta. Ya sudah, judulnya jadi telat makan deh. Badan saya makin nggak karuan aja rasanya, meski tetap mencoba ceria bersama kawan-kawan.
Akhirnya, sekitar 2 jam kemudian, kami dipersilakan naik pesawat menuju Jakarta. Di dalam perut pesawat yang dingin bukan main, perut kosong penumpang macam saya tetap saja telantar. Maklum, ini kelas ekonomi, nggak dapet menu nasi timbel kecuali sekadar air minum.
Burung besi baru take off 15 menit, masya Allah, kepala ini mendadak rasanya muter-muter. Pesawat terasa seperti melakukan manuver spin-off terbang berputar-putar.
Ternyata, saya terserang vertigo. Ya Allah, penyakit ini datang di saat saya sedang di atas awan. Saya menunduk, memejamkan mata, membayangkan harus menunggu sekitar satu jam lagi sampai pesawat landing.
Saat itu, masya Allah deh rasanya; Mual, pingin muntah, pusing tujuh keliling.... Alhamdulillah, teman-teman di samping kanan-kiri mijitin tengkuk saya. Saat itu saya bener-bener pengen muntah. Tapi saya tahan sekuat tenaga, takut dikira mabok udara seperti wong ndeso baru kali pertama naik montor mabur.