Mungkin pengalaman ini akan menjadi salah satu rentang waktu yang paling berkesan. Dari sekian perjalanan yang dilakukan, berada di tengah-tengah ribuan agamawan, selain adalah pengalaman baru juga bisa dikatakan pengalaman spiritual.Â
Beberapa waktu yang lalu, mulai tanggal 2 -- 5 Oktober 2017, kami melakukan perjalanan mengunjungi beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Pondok-pondok bercorak Nahdlatul Ulama tersebut antara lain Pondok Ngalah di Pasuruan, Pondok al-Hikam di Malang, Pondok Lirboyo di Kediri, dan Pondok Tebuireng di Jombang.Â
Menurut beberapa orang, gaya ala pondok pesantren ini hanya dimiliki oleh kalangan Nahdlatul Ulama yang masih menggunakan metode pendidikan 'salafiyah' (pendidikan berbasis agama) ataupun gabungan salafiyah dengan pendidikan ilmu umum.
Secara umum, di Jawa Timur menurut pandangan awam adalah barometer perpolitikan dan percampuran budaya di Indonesia. Masyarakat Nahdlatul Ulama yang berbasis di pondok-pondok pesantren dapat hidup berdampingan dengan kelompok nasionalis yang direpresentasikan biasanya oleh Kaum Marhaenis. Bahkan kelompok-kelompok minoritas, seperti Kristen, etnis Tionghoa, dan pengamal kejawen di beberapa tempat menghiasi perpaduan budaya dan kehidupan di tengah-tengah masyarakat.
Panjalu dan Kertajaya
Desa Lirboyo merupakan bagian dari Kota Kediri yang terletak di Kecamatan yang bernama Mojoroto. Kota Kediri sendiri hanya memiliki 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Kota, Kecamatan Pesantren, dan Kecamatan Mojoroto. Lirboyo sendiri berasal dari kata "nir" dan "boyo" yang artinya "selamat dari bahaya". Mungkin hal ini dimaknai karena sebelumnya kawasan ini merupakan kawasan yang dipenuhi macam-macam kejahatan dan angker. Namun kemudian hadir agamawan-agamawan pada berbagai masa yang merubah keadaan menjadi lebih baik atau "selamat".
Menurut sejarahnya, Kediri berasal dari kata dalam bahasa Sanskrit yaitu khadri yang artinya pohon mengkudu (morinda citrifolia sp.). Manfaat pohon ini antara lain digunakan sebagai zat pewarna pada saat mbatik, juga sebagai obat. Luas Kota Kediri sesuai informasi Wikipedia mencapai 63,40 km2 dan Kecamatan Mojoroto mencapai sepertiga dari luas Kota Kediri atau 24,60 km2. Kediri dikenal sebagai Kota Tahu, namun industri yang dominan di kota ini adalah industri gula dan rokok. Di kota ini Gudang Garam mendirikan dan mengembangkan pabrik rokok kreteknya.
Di masa lalu Kediri adalah nama lain dari Kerajaan Panjalu, yaitu salah satu dari dua kerajaan hasil pemecahan Kerajaan Kahuripan oleh Raja Airlangga. Kerajaan Panjalu atau Kediri ini tercatat dalam beberapa prasasti maupun naskah kuno, antara lain Prasasti Sirah Keting tahun 1104 M, Prasasti Ngantang tahun 1135 M, dan kronik Cina berjudul ling wai tai ta tahun 1178 M. Pusat kerajaannya didirikan di Dahanapura (Daha), yang kemudian berganti-ganti diduduki oleh Singhasari dan Majapahit.
Raja pertamanya adalah Sri Samarawijaya dan raja terakhir bernama Kertajaya. Kertajaya bersama Kediri, lalu ditaklukkan oleh Ken Arok yang di kemudian hari mendirikan Kerajaan Singhasari. Kertajaya tumbang karena keangkuhannya ingin disembah oleh para pendeta Hindu maupun biksu Buddha. Para agamawan itupun mencari perlindungan dari Ken Arok, akuwu Tumapel, dan Kertajaya pun dikalahkan.
Keangkuhan merupakan salah satu penyakit kehidupan yang selalu diikuti oleh kehancuran, seperti Kertajaya. Mitologi Yunani menceritakan tentang Narcissus yang sangat angkuh karena ketampanannya hingga akhirnya mati karena tergila-gila akan bayangannya sendiri.Â
Kondisi ini merujuk pada tingkat self-esteem yang berlebihan atau bentuk dari ketidakmatangan emosional. Para pemimpin bangsa dan masyarakat kadang terjebak dengan penyakit kehidupan ini. Hal ini kemudian berakibat hilangnya integritas atau komitmen dalam menjadi pengayom masyarakat, diikuti oleh lunturnya amanah dan amanat. Transformasi nilai-nilai kepada calon-calon pemimpin masyarakat dan bangsa ini harus dilakukan secara holistik di dalam lembaga-lembaga pendidikan tradisional maupun modern, baik formal, informal maupun nonformal.