Selain itu, di Filipina dan Malaysia mereka tidak menjadi Franchise pinggiran, melainkan outlet besar ala mall yang rapi dan ekslusif, disesuaikan.
Setelah memberi presentasi, maka tibalah saatnya tanya jawab. Mbak Avy sebagai moderator sempat mencari-cari dan para blogger nampak hening. Dan inilah kesempatan saya mengobrol dengan Mbak Nilam.
Kesempatan luar biasa nan langka ini sempat membuat saya lupa banyak hal, termasuk lupa nama Mbak Nilam sendiri dan lupa memperkenalkan diri saking antusiasnya. Haha. Beruntung Mbak Avy mengingatkan.
"Oh iya, nama saya Alifurrahman. Kalau di Kompasiana namanya Alan Budiman, teman-teman bisa googling dengan nama itu insyaallah ketemu" ujar saya.
Sebenarnya ada 4 hal yang ingin saya tanyakan, namun baru 3 pertanyaan saja sudah terlalu lama.
Saya sempat bercerita bahwa di Malaysia sedang booming franchise kecil yang tersebar di mana-mana ala Kebab Baba Rafi di Indonesia. Jadi kalau Mbak Nilam terfokus pada outlet yang besar nan ekslusif, saya pikir harus segera direvisi.
"Oh iya saya tau di sana ada juga beberapa franchise yang mengandalkan gerobak dan ruang kecil. Tapi mungkin kita masih ada sedikt masalah di perizinan" jawabnya.
Nah soal izin ini menarik. Saya sedikit tahu soal izin usaha di Malaysia. Namun karena hal ini terlalu detail, jadi tidak saya utarakan saat berada di atas panggung. Tapi begini, di Malaysia memang banyak kedai atau restoran yang dari pekerja hingga pemilik modalnya adalah orang Indonesia. Namun karena rumitnya perizinan, maka banyak orang menempuh jalan pintas dengan meminjam/menyewa IC (Identity Card) warga setempat.
Jadi saya dapat membayangkan bagaimana 'perjuangan' Kebab Turki Baba Rafi ini bisa mendapat izin dan membuka puluhan outlet. Hanya saja perlu ada terobosan agar bisa menjamur seperti di Indonesia, karena dari pantauan saya, masyarakat Malaysia (katakanlah) lebih bisa menerima makanan non nasi, hal ini terlihat dari banyaknya gerobak burger di pinggir jalan, seperti penjual gorengan kalau di Indonesia. Menariknya, harga burger mereka tidak beda jauh dengan kebab.
Saya tau betul teman-teman dari negara Singapore, Brunei Afrika, Arab dan Eropa merupakan makhluk kebabsaurus. Dibanding makan nasi, mereka pasti lebih memilih kebab. Masalahnya kebab hanya ada di pusat kota, tidak di dekat kampus atau ruko-ruko yang biasa terdapat KFC. Maka pelariannya adalah burger pinggir jalan yang menurut saya tidak cocok dengan harga yang dipatok. Lalu kenapa tidak ke KFC? Ada sentimen produk Yahudi (bagi orang Malaysia, Singapore serta Brunei). Beruntung franchise milik Mbak Nilam ini menggunakan kata Turki sehingga saya sangat yakin ada banyak orang tidak tau ini miliknya orang Indonesia, dan selamatlah franchise ini dari sentimen ketetanggaan. Hehe.
Pertanyaan kedua saya adalah berapa lama periode down yang dialami saat itu? Jawaban Mbak Nilam saya pikir agak terlalu motivator. Andai memang benar hanya seminggu, saya pikir beliau orang yang sangat luar biasa. Ada ucapan menarik yang saya dapat dari pertanyaan ketiga. Masih berkaitan dengan periode terpuruk, seberapa yakin anda akan berhasil dengan produk baru? Sebab saya tau pasti tidak mudah pasca mengalami kebangkrutan, katakanlah begitu.