Itulah sedikit wajah Islam Nusantara. Islam yang melebur dengan budaya tanpa perlu menghapusnya, namun merevisi agar tidak syirik dan sesuai syariat.
Jadi kalau sekarang ada yang menyindir agar pakaian ihram diganti menggunakan kebaya atau batik, jelas orang seperti ini perlu mengaji dengan Kyai, atau butuh sedikit piknik agar otaknya tidak sempit dan penuh pikiran negatif.
Begitu juga yang mengagungkan jubah, gamis serta surban namun kelewat batas dan mengklaim bahwa itu adalah pakaian Islam. Padahal semua itu adalah budaya yang tujuannya adalah untuk menutup aurat. Beberapa orang hanya fokus pada dalil sunnah mengenakan jubah, gamis dan surban, namun kemudian lupa keharusan untuk tidak menonjolkan diri dari yang lain. Nabi Muhammad meskipun datang membawa Islam, beliau tidak lantas berpenampilan berbeda. Tidak mentang-mentang nabi lantas mengenakan pakaian yang berbeda dengan mayoritas masyarakat sekitar. Tentu konteksnya menjadi berbeda ketika mengenakan jubah di desa yang mayoritas memakai sarung dan baju biasa. Ada kesan berbeda, menonjol. Nah hal seperti ini yang tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan kesan sombong dan berpotensi ria' bagi yang mengenakannya.
Jadi kalau ada orang yang masih kaku menangkap bahwa jubah dan surban itu sunnah dan titik, mereka juga perlu mengaji. Ini jadi sama seperti pertanyaan apakah hukum melakukan sex? Tentu saja halal jika sudah suami istri, dan melakukannya di dalam kamar atau ruang tertutup. Jangan sampai mentang-mentang suami istri, mentang-mentang halal, lantas bermain di pinggir jalan. Semua ada ruang dan waktunya.
Islam Nusantara Dari Kacamata Politik
Kita tidak bisa menutup mata bahwa efek pilpres masih terasa hingga saat ini. Sehingga apapun kebijakan dan isu yang terjadi di tanah air, pada akhirnya hanya terbagi menjadi nomer satu atau salam dua jari. Lihat saja saat pernyataan Menag soal tidak perlu ada paksaan (sweeping) menutup warung ketika ramadhan diplintir sedemikian rupa. Begitu juga dengan munculnya istilah Islam Nusantara, rakyat oposisi langsung menyebutnya baju baru dari liberal.
Spesialisasi suara sumbang soal agama Islam muncul dari kelompok yang sama. PKS, HTI, FPI. Tiga kelompok mengatasnamakan Islam ini sangat bernafsu untuk menguasai NKRI. Bedanya PKS menerima jalur demokrasi dengan menjadi partai politik. Sementara HTI dan FPI tetap hanya menjadi ormas. Namun ketiganya mengusung visi yang sama, khilaf ah-ah-ah.Â
Bukan sebuah kebetulan juga kalau ketiganya tergabung dalam gerbong yang sama. Kalaupun ketiganya sering mengekak dan menyatakan berbeda visi, tetap saja pada kenyataanya mereka satu semangat ah-ah-ah. Sealam dengan Kompasianer Mabuk Permanen.
Beruntung Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama adalah organisasi terpisah dengan partai politik. Konsep yang hati-hati dan luar biasa sekali. Seberbeda apapun pilihan politik PAN dan PKB tidak akan merembet atau membawa-bawa islam dan menggunakannya sebagai komuditas politik. Sehingga tidak perlu heran kalau cendikiawan NU dan Muhammadiyah tetap bisa 'balas pantun' di panggung Mata Najwa beberapa waktu lalu.
Said Aqil: Saat itu hari raya di Indonesia serempak. Karena kebetulan baik secara hisab dan rukyatul hilal hasilnya sama. Lalu ada orang Madura nelpon, ya saya jelaskan. Lalu dia bilang "loh NU ini kerjanya apa kok bisa sama?"
Abdul Mukti: mungkin yang membedakan tawarehnya, kalau Muhammadiyah 11 kalo NU 23