Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kerasnya Sosial Media

20 Juli 2015   18:08 Diperbarui: 20 Juli 2015   18:08 2475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Bagi saya, menulis sebuah ide, opini, informasi ataupun cerita di ruang publik merupakan tantangan dan beban tanggung jawab yang tinggi. Itulah mengapa nama akun saya di Kompasiana adalah Alan Budiman, setidaknya saat orang mencaci tulisan dan menyerang pribadi, mereka mengutuk nama pena, bukan nama asli.

Saya memanfaatkan keluarga besar dan popularitas Kompasiana untuk menyampaikan sesuatu. Di sini saya menjadi bagian dari ratusan ribu kompasianer lainnya, berani menuliskan sesuatu dengan keras dan langsung tanpa takut ada teman-teman yang saya kenal baik di dunia nyata tersinggung.

Tulisan soal MMM, respon keras pada PSSI, DPR, Malaysia, politik dan beberapa catatan harian berhasil menguras emosi. Mulai dari perdebatan panjang sampai ancaman laporan polisi Indonesia dan Malaysia sudah pernah saya dapatkan. Beruntung Kompasiana memiliki penghuni yang cukup waras sehingga setiap tulisan selalu ada yang sependapat, beberapa komentar kontra sering dibela dan dibalas oleh kompasianer lainnya. Sementara laporan polisi yang saya dapat selama ini hanyalah ancaman kosong, sekalipun pernah ada yang mengirimkan gambar surat laporan polisi, alhamdulillah belum pernah duduk di meja hijau karena masalah tulisan.

Lama kelamaan teman-teman di dunia nyata tau bahwa Alan Budiman adalah Alifurrahman, teman mereka sendiri. Responnya beragam, para leader MMM mendadak bungkam karena merasa dirugikan, sementara yang beda pendapat dan beda pilihan pilpres juga satu persatu mengunfriend serta mendelcont.

Karena sudah dalam posisi seperti ini, maka sayapun menjadi terbuka. Jika dulu jarang sekali mempromosikan tulisan di facebook, belakangan saya mensharenya dengan privacy public, untuk semua orang.

Dari semua inilah lahir beberapa catatan yang unik dan menarik.

1. Bersiaplah Lebih Sering Mendapat Kritik (Cacian)

Jika di Kompasiana kita bisa tutup mata karena notifikasi tidak pernah secara langsung muncul, ketika di Facebook akan ada banyak angka merah di layar utama.

2. Menguji Kesabaran

Alam Facebook dengan Kompasiana jauh berbeda. Intensitas komentar jauh lebih dinamis. Tulisan sebuah artikel yang cukup menguras pikiran itu harus terima ditanggapi dengan komentar-komentar cemooh dan menyerang penulisnya, bukan lagi opini lawan opini, melainkan penilaian yang menyudutkan.

Saya yang bisa santai dan tenang menjawab komentar di Kompasiana rupanya sering terpancing dan tergoda untuk ikut mencaci. Namun beruntung ada banyak teman kompasianer di sana sehingga secara tidak langsung mengingatkan saya dalam menjawab komentar.

3. Susahnya Menahan Diri

Terbayang di benak saya bagaimana beratnya admin atau kurator Kompasiana yang berhasil diam dari hiruk pikuk isu. Terlebih Kang Pepih yang sejauh pantauan saya nampak tenang dan tetap sopan apapun bahasannya.

"Saya nggak habis pikir, mereka yang katanya berpendidikan itu kok nggak bisa bedain Jokowi dan kodok? Bahasanya juga jorok banget, ampe ke kotoran manusia disebut." Kira-kira begitu kalimat Kang Pepih saat kami bercerita banyak hal di Palmerah beberapa bulan yang lalu.

Saat menulis ini saya jadi teringat kalimat beliau. Selain itu menjadi tau bagaimana rimbanya riuh sosial media sehingga memancing orang-orang yang katanya berpendidikan menjadi primitif. Berat memang karena sayapun berkali-kali harus menahan diri sekalipun sudah dicaci maki (bedanya dengan Kompasiana adalah soal intensitas, lebih menguji).

Dalam lingkungan dunia maya yang keras inilah saya maklum kalau sebagian orang terbawa arus. Seorang novelis nasional, pimpinan DPR RI, seniman dan bahkan orang yang mendapat gelar ustad juga sesekali termakan berita bohong, emosi, serta melontarkan kata-kata primitif. Luar biasa. Jika mereka saja terbawa arus, maka kita yang bukan siapa-siapa ini lebih berpotensi untuk itu. 

4. Tanggung Jawab dan Hati-Hati

Dalam ruang publik tentulah harus zero mistake, atau minimal tidak menuliskan sesuatu yang fatal. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana tidak nyamannya jika menjadi penulis (Rahmad Agus Koto) dari "kancing jas Jokowi yang memalukan" karena tertutup satu, namun harus menerima kenyataan bahwa memang seperti itulah cara memakai jas yang baik dan benar. Entah bagaimana malunya jika saya di posisi beliau yang miskin informasi dan tidak tau etika mengenakan jas.

Dalam ruang publik seperti sekarang, saya harus memeriksa dan membacanya dua atau tiga kali sebelum membagikannya di facebook. Karena ini menyangkut nama asli saya, Alifurrahman, bukan lagi sebatas Alan Budiman yang dulu tidak dikenal oleh teman-teman offline. Setiap kata menunjukkan kualitas, identitas dan kepribadian.

Dari 4 point ini saya belajar lagi tentang kedewasaan agar tidak terbawa arus seperti yang lain. Bertahan untuk dewasa dan meminta maaf jika salah berpendapat. 

Akhirnya, semoga sosial media yang sedemikian rimba ini tidak mendown grade level yang sudah kita capai.

 

 

*Catatan: bagaimanapun Alan Budiman adalah saya sendiri (Alifurrahman), namun tetap ada beberapa karakter Alan Budiman yang berbeda. Bagi yang kenal saya secara online dan offline, atau setidaknya pernah bertemu, pasti sadar soal ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun