Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menghadapi Deras Arus Informasi

4 Juli 2015   12:04 Diperbarui: 4 Juli 2015   12:04 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era canggihnya tekhnologi membuat setiap kita semakin mudah mendapat informasi. Salah satu contoh kongkritnya adalah suasana berbeda pada saat kontestasi pemilihan Presiden 2014 yang membuat efek atau kesannya masih terasa sampai sekarang. Banyak orang dan media masih bersikap sama seperti masih saat kampanye. Mereka yang biasa membagikan info negatif soal Presiden Jokowi sampai sekarang tidak pernah bisa mengapresiasi. Labelnya pun masih sama seperti: joki, ojokowi, dan kodok (biasanya jokowi haters kalau sudah tidak bisa membalas komentar mereka hanya memberi emo kodok).

Di tengah derasnya arus informasi membuat setiap orang bebas berekspresi, bebas membagikan sesuatu sekalipun info yang disebarkan sudah ditambahi bumbu fiksi dan yang lebih buruknya kita sudah kesulitan membedakan berita benar dan bohong. Quick count real count Pileg dan Pilpres yang disebar oleh media dan kader PKS adalah salah satu contoh kongkritnya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan beropini, itu hak setiap orang. Namun menjadi mengkhawatirkan karena banyaknya informasi hasil dari persepsi (yang menurut saya salah) dibiarkan hanya karena alasan enggan bersinggungan, malas beda pendapat atau takut diunfriend.

Saya sebenarnya juga sudah antipati, biarlah mereka seperti itu. Namun saya pikir apa iya akan terus seperti itu? Mereka menyampaikan informasi salah yang kemudian diterima dan dibenarkan oleh orang lain yang sekelompok (bisa karena ketidak tahuan atau kebencian).

Untuk itu saya coba untuk menjawab langsung status-status terbaru teman-teman yang saya pikir kurang tepat.

Saya menanggapi secara langsung dengan metode share. Alasannya karena saya enggan untuk terlibat adu argumen di lapak pemilik yang biasanya sudah terkotak-kotak akibat efek pilpres. Memang tidak semua saya jawab karena beberapa diantaranya sudah lama mereka tuliskan dan saya baru tertarik untuk menanggapi dan mengakhiri keputusan untuk antipati.

 

Dua gambar SS yang saya sajikan dalam artikel ini memang beda genre (anggaplah seperti itu). GAGAP INFORMASI: Orang yang baru tau gap impor expor Indonesia ternyata minus, mereka akan berteriak kencang lalu menganggap pemerintah di bawah pimpinan Presiden Jokowi sudah gagal. Mereka yang baru tau soal sepak bola tanah air akan menganggap Menpora tidak tau dan tidak mengerti bola karena telah membekukan PSSI. Mereka hanya melihat kenyataan yang terjadi saat ini, bukan pada fakta dan data. Sama seperti kasus minum kolak dengan tangan kiri karena tangan kanan memegang sendok beberapa waktu lalu, langsung disambut riuh sebagai kesalahan. Mengapa? Karena mereka fokus pada tangan kirinya. Begitu juga dengan alasan mengapa kancing jas hanya tertutup satu? Mereka yang tidak pernah memakai jas dan hadir di acara-acara formal mungkin akan menilainya sebuah kesalahan.

 

KONSPIRASI DAN COCOKLOGI: lihatlat betapa sebuah penilaian begitu sangat dipaksakan. Apa iya DPR sebodoh itu dan selama ini tidak sadar bahwa itu jebakan. Soal citra, sejak kapan DPR memiliki citra yang baik?

Saya berpikir kalau setiap orang bebas mengarang seperti itu lalu diterima sebagai kebenaran, betapa lucunya kehidupan kita.

Sebagai orang yang bisa membaca seharusnya kita tidak malas mencari berbagai sumber. Mempelajari hal baru sebelum menyatakan. Misal kita tidak tau Current Account, ya mari belajar apa itu CA, bagaimana penghitungannya? di tahun sebelumnya berapa nilainya? Faktor apa yang mempengaruhi? Setelah tau dasarnya barulah kita mencari info dari sumber yang baik. Kalau soal ekonomi bisa di bloomberg atau rilis world bank. Kalau sudah melewati tahap itu barulah sampaikan kritik. Dengan begitu pasti akan lebih bermanfaat dan menarik. Kita jadi bisa belajar banyak dari sosial media dan lebih menyenangkan dibanding belajar formal di bangku sekolah.

Melawan Persepsi

Berikut ini adalah pemahaman absurd yang sepertinya sudah lama menjadi kebenaran yang lucu di kalangan masyarakat Indonesia.

Menarik investor bukan menggadaikan negara. Kamu punya ide usaha, tapi nggak punya dana, lalu kamu ajak temanmu yang kaya untuk bergabung dengan kesepakatan bagi hasil (kondisional). Apakah itu berarti menggadaikan atau menjual dirimu? Saya rasa tidak. Karena hanya orang yang dipercaya yang bisa membuat investor mau mengeluarkan uangnya. Jika reputasimu buruk maka nggak akan ada yang mau menjadi investor. Lalu bukankah seharusnya kita bahagia jika perusahaan dari negara lain mau masuk dan berinvestasi di negara kita?

Jika temanmu yang kaya tidak ada yang berminat bergabung menjadi investor, maka jalan lainnya adalah berhutang ke bank. Biasanya dengan jaminan berupa harta benda atau jaminan integritas seperti nama besar dan track record perbankan. Dalam skala negara, setiap negara di dunia ini memiliki label deksripsi, begitu juga dengan Indonesia. Bank dunia atau pemberi pinjaman akan mengabulkan pinjaman setelah melihat kemampuan membayar sebuah negara.

Untuk melihat kewajaran hutang sebuah negara biasanya seringkali dikaitkan dengan GDP atau Gross Domestic Product adalah jumlah produksi barang dan jasa dalam sebuah negara selama setahun. Meski lumayan rumit, lebih mudahnya bisa diibaratkan aktifitas ekonomi sebuah perusahaan. Maka secara logika dan kenyataannya adalah perusahaan besar biasanya juga memiliki hutang yang besar. Namun untuk melihat kewajaran sebuah hutang bisa menghitung rasio hutangnya terhadap GDP.

 

contoh: A punya hutang 1 juta dengan kekayaan 2 juta, berarti rasio hutangnya 50%.

B punya hutang 2 juta dengan kekayaan 100 juta, berarti rasio hutangnya adalah 2%.

 

Lalu manakah yang lebih berbahaya? Tentu saja si A meskipun hutangnya hanya 1 juta. Sementara si B yang memiliki nominal hutang dua kali lipat dari si A tetap jauh lebih aman karena dia memiliki kekayaan 100 juta yang berarti hanya 2% nya. Meski memang soal GDP ini bukan kekayaan dan tidak sesederhana itu. Hanya memudahkan ilustrasi.

Baru-baru ini Yunani dinyatakan tidak bisa membayar hutangnya. Lalu sosial media kita menyambut dan mengaitkannya dengan Indonesia. Saya tertarik untuk mengulas detailnya nanti, namun sedikit gambaran bahwa bahasan soal ekonomi sangat tidak sederhana. Indonesia memang memiliki hutang 2 triliun sekian, namun rasio terhadap GDP hanya 22%. Sementara Yunani dengan hutang 3 triliun sekian dan rasio hutangnya terhadap GDP 160%. Rasio hutang Amerika 101% dan Jepang 230%. Namun keduanya tidak bisa disandingkan dengan Indonesia meksipun negara ini masih memiliki catatan pertumbuhan terbesar setelah China dan India di tengah lemahnya ekonomi global. Yunanipun tidak bisa disandingkan dengan Indonesia karena ada banyak sekali perbedaan.

Semoga kita menjadi orang yang bijak menghadapi arus informasi. Kalaupun enggan menegur mininal kita tahu bahwa yang kita baca tidak bisa langsung diterima sebagai kebenaran. Jika dari setiap kasus kita belajar, saya yakin kita akan lebih terdidik. Setidaknya sekarang kita tau kalau mengenakan jas cukup menutup satu kancing saja, siapa tau ke depan ada undangan rapat kabinet atau dengan investor kakap? Tapi kalau sebaliknya, hanya menerima umpan dan ikut bahasa kebun binatang, kerap menggunakan kata bodoh, goblok dan seterusnya maka ya mungkin kita akan berputar-putar di tempat.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun