Khusus soal ini saya rasa boleh-boleh saja dibuka di sini. Menurut Presiden, di meja kerjanya itu ada banyak tumpukan dokumen yang perlu beliau tanda tangani setiap harinya. Dokumen tersebut dibedakan menjadi beberapa tanda warna seperti rambu lalu lintas, merah, kuning dan hijau. Untuk dokumen tanda warna merah Presiden harus membacanya secara detail dan terperinci. Sementara kuning boleh tidak dibaca atau dibaca tapi tidak perlu terlalu detai dan warna hijau tidak perlu dibaca lagi.
"Kebetulan yang kemarin itu warna hijau, jadi langsung saya tanda tangani" ujar beliau terkekeh "dari dulu ya begitu. Namanya Presiden. Kalo semuanya harus saya baca, ya saya jadi Presiden TU. Kerjanya baca dokumen tiap hari" tambahnya yang membuat saya dan teman-teman kompasianer tertawa serempak.
Perpres tunjangan mobil tersebut menurut Presiden sudah diparaf oleh beberapa menteri. Biasanya dokumen tanda hijau sudah melalui pemeriksaan, saringan dan persetujuan beberapa orang sebelum Presiden membubuhkan tanda tangan. Sampai di sini jika pembaca menganggap saya membela, silahkan saja. Di sini saya hanya ingin memberi penjelasan agar kita semua mengerti. Karena jujur saja sayapun sempat mengernyitkan dahi keheranan bagaimana bisa Presiden tidak membaca yang ditandatanganinya? Mana bisa Presiden keluarkan perpres yang memboroskan sementara meminta rakyat untuk berhemat? Namun pada pertemuan kemarin saya jadi tersenyum malu mendengar cerita beliau yang terbuka apa adanya. Malu karena sok tau, malu karena sudah negative thinking.
Bagaimanapun Presiden Jokowi sama sekali tidak menambahkan warning "yang ini off the record ya!" atau "yang ini jangan diceritakan ke publik." Beliau sangat percaya pada kami yang hadir dan mengalir saja dengan beberapa bahasan yang cukup sensitif jika diberitakan media mainstream.
Mencari logikanya sendiri atau pembenaran
Sebagai orang yang selalu mengedepankan logika, saya selalu menemukan alasan logis dari setiap tindakan atau kebijakan Jokowi. Semua logika tersebut tentu saja saya dapat dari banyak kasus politik dalam pelajaran hukum Malaysia saat kuliah dulu dan studi kasus beberapa kebijakan PM Mahathir yang pada saat beliau memimpin sering menimbulkan banyak tanda tanya.
Orang-orang yang kontra dengan Jokowi sudah berulang kali mengatakan saya dan pendukung Jokowi selalu mencari pembenaran, selalu membela. Sayapun sempat berpikir jangan-jangan saya sudah kebablasan dalam memberi alasan? Namun saya bersyukur ditaqdirkan diundang beliau ke istana negara dan mendengar beliau berbicara live di depan saya menjawab banyak pertanyaan teman-teman yang lain.
Saya kemudian sadar bahwa sangat tidak mudah berada di posisi Presiden Jokowi. Dengan beban masa lalu yang belum selesai dan tugas baru masa depan yang menantang, ada banyak hal yang beliau harus atur dan prioritaskan.
Sepulang dari istana saya malu kepada tiga orang sekaligus. Pertama pada Mbak Niken, saya sempat berprasangka buruk bahwa ini undangan hoax dan sebagainya. Kedua pada Kang Pepih, saya sempat berprasangka buruk serta ingin menuliskan artikel protes dan kritik terhadap 'sesuatu' yang terjadi pada Kompasiana. Dan yang terakhir pada Presiden Jokowi, saya sempat ingin berhenti mendukung beliau melihat banyak blunder yang beliau ciptakan. Saya ingin lepas dari barisan pendukung dan balik mengkritik seperti beberapa teman yang lain. YOU KNOW WHO!
Dari tiga orang tesebut, saya hanya sempat meminta maaf pada Mbak Niken. Sementara pada Kang Pepih dan Presiden Jokowi, tidak sempat mengatakan ini. Tapi ya sudah saya katakan di sini saja karena mungkin beliau membaca. Saya minta maaf untuk Kang Pepih atas semua prasangka buruk saya dalam pengelolaan dan kebijakan di Kompasiana. Saya minta maaf pada Presiden Jokowi karena berkali-kali sempat berprasangka buruk dengan kebijakan bapak.
Belajar mengerti sebelum menghakimi