Setelah sebelumnya sudah membahas tentang kartu ajaib bernama KTKLN, mungkin solusi pemerintah bukan di kartu ajaib tersebut. Melainkan melegalkan mereka yang ilegal, dan memberikan informasi meluas melalui iklan atau penyuluhan tentang cara-cara mudah menjadi TKI legal di luar negri. Kenyataan yang ada di lapangan adalah kebanyakan orang, semua WNI, baik itu TKI, calon TKI atau orang awam tidak terlalu faham tentang mekanisme dan proses proses untuk bekerja di luar negri. Sehingga mereka yang hendak berangkat ke luar negri seperti berjalan di lorong gelap, mereka ga tau mau kemana dan mulai dari mana. Akhirnya ya ilegal lah mereka.
Tapi mungkin terlalu berat bagi pemerintah untuk melakukan penyuluhan dan informasi meluas dengan iklan, mungkin akan menimbulkan pro kontra karena dianggap lebay dan menyarankan warganya untuk menjadi TKI. Kalau sudah begitu, pemerintah harus memperbaiki hal yang sangat mendesak yaitu mengurangi angka TKI ilegal di Malaysia atau di negara manapun. Ini tentu sangat penting dan harus segera selesai agar di kemudian hari kita tidak lagi mendengar ada TKI tidak mendapatkan haknya, diperbudak, disiksa diperkosa dan dirugikan oleh pihak luar negri karena tidak memiliki dokumen resmi. Gerakan melegalkan yang ilegal ini juga untuk memperbaiki citra buruk WNI yang selama ini dianggap melulu identik dengan buruh unskill yang ilegal.
Mari sejenak kita lupakan kartu ajaib KTKLN, lupakan cara berangkat sebagai TKI legal dengan segala proses dan persyaratanya. Karena jutaan warga Indonesia di luar sana, khususnya malaysia setiap harinya harus harap harap cemas ketika berhadapan dengan polisi. Setiap pekerja yang tanpa sengaja berhadapan dengan polisi dan tidak bisa menunjukkan passport dengan visa yang masih aktif minimal harus kehilangan uang sekitar 150 ribu rupiah sebagai hadiah perkenalan, kalau ga bisa dibilang suap. Sementara pekerja yang melanggar undang-undang baik itu kriminal atau aturan lainya mungkin akan lebih bermasalah dan kehilangan lebih banyak uang lagi.
Contoh cerita kakak dari seorang teman saya yang bekerja di restoran sekitar Chow Kit Kuala Lumpur, sebut saja namanya Hadi. Entah apa dosanya sehingga dia ditahan oleh pihak polisi. Cerita ini dimulai dari segerombolan geng motor yang kebut-kebutan di jalan raya kemudian dikejar polisi, dari sekian banyak anggota geng motor tersebut berhamburan ke semua arah salah satunya ke restoran tempat Hadi bekerja. Dua motor milik anggota geng ini dibiarkan begitu saja tergeletak di belakang restoran dan orangnya berlari entah ke mana. Hadi yang saat itu sedang mencuci piring-piring kotor diperiksa oleh polisi. Kebetulan sekali Hadi ini ga punya visa, jadi dibawalah dia ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Berhubung Hadi ilegal, semula yang hanya diminta keterangan akhirnya berakhir di penjara sebagai kasus borongan dari beberapa anggota geng motor yang terlibat. Jika kenyataanya Hadi memiliki dokumen lengkap, mungkin setelah memberikan keterangan dia sudah bisa pulang kembali bekerja. Jika Hadi ini bertemu dengan polisi di jalanan hanya karena tidak bisa menunjukkan dokumen resmi (polisi memeriksanya menangkapnya bukan karena ada segerombolan geng motor yang kebetulan melarikan diri di area restoranya) mungkin dia hanya cukup mengeluarkan 150 ribu sebagai perkenalan.
Kalau sudah begini, yang bisa menyelamatkan Hadi hanyalah sang majikan. Biasanya majikan ini punya teman-teman di kepolisian untuk bisa dinego ulang agar Hadi bisa dikeluarkan. Nah dalam kasus ini, tertangkapnya hadi bukan murni karena kesalahan tidak memiliki dokumen resmi, tapi juga dibarengi dengan geng motor yang ga sengaja kabur ke area tempat Hadi bekerja. Berhubung polisi yang menangani adalah polisi bagian kriminal, nego pun tak bisa dilanjutkan hanya dengan 150 ribu. Bahkan pihak kepolisian mengeluarkan pernyataan untuk tidak lagi bernegosiasi dengan mereka. "kalaupun anda mau bayar 30juta rupiah pun, orang ini ga akan bisa keluar" begitu kira-kira penggalan katanya yang berapi-api. "atau anda akan saya tahan dengan alasan berniat menyuap aparat?"
Saya yang mendengar langsung pertemuan ini akhirnya hanya bisa menarik tangan teman saya yang merupakan adik Hadi untuk mengisyaratkan mundur saja. Pasrah saja dengan hukum yang ada. Sebenarnya kami sama-sama sadar kalau menyuap merupakan bagian dari melanggar undang-undang dan bisa dikenakan pidana. Tapi sejarah menceritakan kalau hal semacam ini seharusnya bisa diatasi dengan uang. Seperti cerita pedagang ikan di sebelah apartment tempat saya tinggal.
Namanya Wahdi, kami sering bertemu dalam banyak kesempatan. Entah itu nonton bola bareng di restoran India atau karena saya kebetulan hendak membeli ikan di tempatnya bekerja dan lain sebagainya. Wahdi ini tertangkap imigrasi di daerah syah alam dan sudah masuk penjara.
Nah, sampai di sini ada perbedaan antara imigrasi dan polisi dalam menangkap warga asing tanpa dokumen, atau yang biasa disebut PATI. Polisi yang tanpa sengaja menemukan PATI di jalanan biasanya cukup dengan 150ribu rupiah juga sudah bisa lolos. Hal ini sudah menjadi 'etika' resmi antara PATI dan polisi entah sejak kapan. Jadi, contoh jika ada seseorang tidak mempunyai visa, dia cukup menyelipkan uang RM50 atau setara 150 ribu rupiah di dalam passport, dan ketika polisi melihatnya bapak-bapak polisi ini biasanya sudah mengerti dan mengambil uangnya kemudian membiarkan PATI ini berjalan.
Beda lagi dengan imigrasi, pihak imigrasi Malaysia akan menangkap orang-orang tanpa dokumen ini sesuai laporan dari warga setempat. Begitulah mekanisme yang ada. Seperti contoh cerita 12 restoran di komplek yang sama tapi yang dirazia hanya 2 restoran. Mengapa demikian? padahal 10 restoran lainya juga mempekerjakan TKI yang rata-rata tanpa dokumen resmi. Jadi ceritanya, di 2 restoran ini ada laporan pelayanan kurang menyenangkan kepada pihak imigrasi. Pekerjanya ada yang dinilai kurang sopan, pelayanan lambat dan ada yang sibuk dengan Hp. Ditambah dengan adanya potongan kawat besi di makanan (yang ini saya juga pernah mengalaminya sendiri, tapi memilih membuang kawat tersebut dan melanjutkan makan). Mungkin yang datang ke restoran saat itu adalah orang kaya atau orang yang punya power di kerajaan, jadilah masalah semacam ini menjadi besar seperti ini.
Dalam kasus ini, imigrasi memang hanya memeriksa dan menangkap pekerja di 2 restoran yang ada di laporan kemudian membiarkan 10 restoran lainya. Persis seperti orang tutup mata, padahal saya yakin kalau mau menangkap bisa saja imigrasi memeriksa semua restoran yang ada. Tapi beginilah proses yang ada, imigrasi hanya datang karena 'diundang'.
Kembali ke Wahdi, kasus dia ini berbeda. Dia tertangkap bukan ketika kerja, melainkan ketika sedang jalan-jalan di suatu mall syah alam. Ceritanya rada mirip dengan Hadi, dia ini tertangkap ketika kebetulan imigrasi sedang melakukan operasi di mall tersebut. Mungkin karena ada laporan mall selalu penuh dengan orang-orang Indonesia. Atau bisa jadi karena ada warga kita yang mengganggu orang setempat. Yang ini saya tidak tau persis masalahnya apa, yang jelas imigrasi melakukan operasi di mall ini tentu karena laporan warga. Hadi ini hanya salah satu dari ratusan orang yang ditangkap. Biasanya, orang-orang yang tertangkap seperti ini akan dipenjara selama beberapa bulan kemudian dipulangkan ke negara asalnya.