Hidup di pulau Madura memang kadang seru dan menggemaskan. Meski rumah saya tepat di pinggir jalan protokol, namun tetap saja saat berkenalan dengan orang akan nampak ekspresi seolah berkata "oh desa". Apapun itu saya tidak masalah sama sekali, karena memang benar dan juga tidak ada ruginya bagi kualitas pribadi.
Alamat tetap yang sudah sangat saya hafal ini tentu akan membuat bingung penjaga pos, saya saja yang mengetahui alamat rumah hanya selatan jalan dalam bahasa Madura kemudian diikuti RT dan RW kemudian nama desa lansung mengernyitkan dahi. Yang benar saja? Tapi toh sebelum ini kalau ada surat untuk saya atau untuk ayah, ternyata sampai.
Meski memang menurut cerita ayah, beberapa tukang pos harus bertanya berkali-kali saat bertemu warga yang melintas. "Rumahnya Bapak ini di mana ya?". Pernah ada juga tukang pos yang katanya sudah melintas di depan rumah saat hendak mengirimkan namun gagal menyerahkan surat pada hari itu. Beliau kembali membawa surat 2 hari setelahnya bersama surat-surat yang lain. Kasian juga tukang pos di Madura. Untung saja surat dari mantan Presiden SBY langsung ditujukan ke pemeritah kota, saya tidak bisa membayangkan bagaimana wajah tegang dan stress tukang pos kalau tau ada surat yang pengirimnya orang nomer satu di Indonesia.
.
Itulah sekilas tetang Madura. Saya merasa para tukang pos di pulau ini harus memiliki semangat serta mental yang lebih tinggi dibanding di kota. Jika rumah saya yang terletak tepat di pinggir jalan protokol saja masih masih menemui kendala, bagaimana dengan masyarakat yang tinggal di pelosok desa. Rumah di balik bukit dengan jalan sempit dan rusak. Berhasil pulang dan tidak nyasar saja rasanya sudah bersyukur.
Beberapa bulan yang lalu saya membeli novel sebagai syarat mendapat formulir lomba menulis novel. Sebuah novel yang tak terlalu mahal, namun yang penting ada formulir lombanya.
Tentu saja sensasi menunggu kiriman tersebut sampai menjadi berbeda dari kiriman-kiriman lainya. Karena itu penting agar saya bisa ikut mengirim naskah. Saya melihat kalender dalam Tab, sekedar memastikan hari itu tanggal berapa. Karena seharusnya pada hari tersebut kiriman sudah sampai di rumah. Sampai matahari terbenam di kaki langit, tidak ada tukang pos yang datang. Sempat juga saya bertanya ke orang tua karena saking penasaranya. Namun karena jawabanya tidak ada, ya sudah saya hanya bisa menghirup nafas lebih panjang dari biasanya dan melupakan hari itu. "Mungkin besok" gumam saya.
.
Saya mau bertanya ke penerbit yang sudah megirim merasa tidak nyaman, mau ke cek ke kantor JNE juga masih harus ke kota yang jaraknya lumayan jauh. Selain itu saya juga tidak faham alamat kantor JNE yang saya temukan di internet. Ya ini sih faktor internal saya yang memang jarang berkeliaran di kota sendiri. Hehe. Ya sudah tunggu keesokan harinya.
Tepat pukul 10:00 waktu setempat ada SMS dari nomer baru. Isinya beliau adalah kurir pengantar kiriman.
"Ada kiriman atas nama Alifurrahman. Maaf Bapak saya tidak menemukan alamat rumahnya. Barang bisa diambil di kantor"
Benar dugaan saya. Dalam hati merasa kasihan karena beliau pasti sudah berusaha, namun juga malas kalau harus ke kota hanya untuk mengambil kiriman paket tanpa keperluan lain. Setelah berpikir sejenak, saya coba balas SMS nya.
"alamat saya di Mini Plant Rajungan Pakandangan. Selatan Jalan"
Saya sangat yakin beliau tau karena kalau ada teman mau ke rumah dan tidak tau jalan, saya menyebutkan alamat tersebut. Biasanya sopir atau kenek bus mini sudah hafal betul dan akan memberhetikanya tepat di depan rumah. Ini karena di desa Pakandangan cuma ada 2 Mini Plant, selatan dan utara jalan. Jelas tidak akan salah. Dan berikut jawaban dari nomer kurir pengantar barang:
"Kalo itu saya tau Pak, baik hari ini saya ke sana. Mohon maaf lambat"
.
Dari pengalaman inilah saya kemudian selalu meletakkan alamat non formal di atas, selain alamat resmi yang bernama jalan lengkap dengan RT dan RW. Tak lupa juga nomer HP aktif yang bisa dihubungi, karena ini akan memudahkan kurir memberi tahu saya jika ada kiriman.
Bagi teman-teman yang lain bisa saja menyebut gedung, perusahaan atau tempat yang familiar di mata orang-orang. Contoh: sebelah masjid, sebelah kantor polisi, di belakang kantor A dan sebagainya.
Entah ini dibenarkan atau tidak, tapi sampai saat ini saya biasa menyebutkan alamat non formal tersebut agar memudahkan kurir. Karena tidak dilarang, saya berkesimpulan ini boleh saja. Toh untuk kebaikan bersama dan saling memudahkan.
Itulah pengalaman unik saya dengan JNE. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H