Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Tempat Ibadah Semestinya

24 Januari 2021   09:18 Diperbarui: 24 Januari 2021   11:07 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah hampir beberapa bulan ini aku tak menjumpai siapapun di tempat ini. Aku berpikir bahwa semua orang sudah mulai merasa bosan dan mencari tempat lain yang jauh lebih menyenangkan. Tempat yang jauh lebih nyaman, tempat yang menawarkan kenikmatan surga seperti yang selalu dicari oleh semua umat manusia. 

Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, pada setan, malaikat dan bahkan aku menanyakannya pada Tuhan, apa gerangan yang menyebabkan semua orang tak lagi riang gembira datang penuh dengan cinta ke tempat ini. Tak pernah ada jawaban yang pasti, hanya beberapa jawaban yang sekedar meraba-raba. Remang-remang tak ada satu kepastian, hanya sebuah spekulasi, opini dan pemikiran yang disandarkan pada sudut ruang yang terbatas.

Aku sempat berpikir bahwa orang -- orang sudah mulai bosan karena tempat ini selalu menyajikan hal -- hal yang itu saja. Hal sama saja setiap mereka datang, tak ada perubahan atau hal baru yang bisa membuat mereka tertarik untuk datang.

Tak seperti di tempat lain, tak jauh dari tempatku berada ini di desa tetangga, selalu saja dikerumuni banyak orang dengan segala macam halnya. Ada yang datang sengaja untuk menjumpai seseorang disana, dengan wajah senang. Ada pula yang datang dengan segepok uang bawaan, sepertinya uang itu sengaja dibawa untuk bersenang-senang dan tak memperdulikan apa komentar orang.

Sempat suatu saat aku sengaja datang ke tempat itu, untuk mencari tahu apa sebenarnya yang menjadikannya terkenal dan disukai banyak orang. Aku kemudian bertemu dengan wanita muda, dengan body aduhai, wajah cantik rupawan dan selalu saja penuh dengan sambutan senyum yang menawan.

"Sudah berapa lama kak, kakak ada di tempat ini?" seruku.

"Sejak tempat ini selesai dibangun, kakak mulai ada kok disini."

"Rame sekali ya kak. Apa memang setiap hari selalu begini?"

"Iya. Memang selalu seperti ini. Tak pernah ada habisnya orang selalu datang bergantian, terutama om-om yang sudah mulai berusia."

"Anak-anak muda keliatan juga banyak yang datang kak?"

"Iya. Tapi tak sebanyak om-om yang selalu datang silih berganti."

"Om-om yang kakak maksud itu, apa dari berbagai profesi Kak? Atau hanya sekedar pejabat saja yang datang?

"Sudah pasti datang dari berbagai profesi. Ada yang seorang polisi, tentara, pemilik perusahaan, direktur dan berbagai macam profesi lah. Bahkan abang-abang becak juga sering datang ke tempat ini."

"Mungkin mereka datang gara-gara Kakak sih."

"Nggak juga kok. Bukan karena Kakak. Mereka itu datang atas kemauan sendiri kok. Satu contoh, itu bapak-bapak yang sedang duduk-duduk di pojok itu. Om-om yang duduk di depan sana, dan juga beberapa pemuda yang sedang nimbrung di sebelah sana. Mereka semua datang atas kemauan sendiri kok?"

"Serius kak? Kok Kakak tahu? Apa kakak tanyai satu-satu apa alasan mereka datang ke tempat ini?"

"Nggak juga sih.  Kakak berasumsi saja mereka datang ke tempat ini atas kemauan sendiri. Coba bayangkan, setiap hari tempat ini tak pernah sepi. Ada yang datang dengan penuh keceriaan, pulang pun mereka dengan kebahagiaan. Ada yang datang dengan wajah kusut, cemberut dan dengan segala permasalahannya, keluar-keluar dari tempat ini wajah mereka langsung berubah bahagia."

"Trus kak, klo itu yang tadi datang dengan satu kantong kresek penuh uang, gimana kak?"

"Ya dia pasti datang untuk bersenang-senang. Iya kan?"

"Emm...."

"Mereka semua datang ke tempat ini tentu sudah pasti dengan satu alasan yang sama. Mereka kesini untuk mencari kebahagiaan. Tentu dengan cara mereka masing-masing. Karena kebahagian setiap orang itu kan berbeda-beda. Jadi wajar saja kalau tempat ini seringkali didatangi oleh banyak orang dengan beragam profesi dan usia. Yaaaa meskipun usia om-om yang paling banyak datang ke tempat ini."

"Kalau begitu, itu pertanda bahwa om-om itu sedang kehausan ya Kak. Semacam mereka tak puas dengan kehidupan yang mereka punya selama ini."

"Bisa jadi."

"Berarti hampir semua dari mereka itu memiliki satu tujuan yang sama datang ke tempat ini, yakni mencari kepuasan ya Kak?" tanyaku

"Betul banget. Sama juga halnya dengan kita semua yang tak pernah puas dengan kehidupan kita sendiri. Kita akan terus mencari-cari kepuasan hidup dengan cara kita masing-masing. Ada yang mencari kepuasan dengan jabatan, seperti halnya para kepala daerah, kepala kepolisian atau kepala dari sebuah perusahaan. Tapi toh pada akhirnya, mereka juga berakhir di tempat seperti ini."

"Trus Kak?" tanyaku penasaran.

"Ada juga yang mencari kepuasan dengan cara mengumpulkan banyak uang. Kekayaan yang melimpah dimana-mana. Toh pada akhirnya, mereka semua berakhir disini. Di tempat ini juga untuk mencari kepuasan diatas kepuasan dunia ini."

"Lalu, mereka para perempuan? Termasuk kakak juga?"

"Ya, kita juga kan mencari kepuasan. Hampir semua perempuan yang ke tempat ini juga menginginkan kepuasan yang sama. Sama kok dengan kaum laki-laki atau om om yang sering datang ke sini."

"Tapi kenapa ya kak. Mereka berbondong-bondong datang ke tempat ini? Apa karena tempat ini baru berdiri?"

"Bisa jadi itu."

"Apa mungkin karena pelayanan di tempat ini sangat memuaskan ya kak?"

"Bisa juga itu."

"Tak seperti di tempatku Kak. Sekarang tempatku sangat sepi sekali. Jangankan beberapa orang yang datang, satu pun dari mereka yang dulu menjadi pengunjung setia, tak sekalipun mereka menginjakkan lagi kakinya di tempatku kak."

"Sudah sabar saja. Dunia itu memang gitu kok. Hal baru itu akan selalu menarik minat banyak orang. Apalagi tempat ini dibuat memang untuk memuaskan semua orang dari beragam status sosial. Tak peduli mereka itu petani, tentara, polisi, politikus, mahasiswa, guru, peternak, pedagang atau siapapun mereka dan berapapun usia mereka, jika mereka ingin memuaskan diri, ya mereka datang kesini dan kami layani sebaik mungkin sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing."

"Tapi Kak. Apa hanya ini memang satu-satunya jalan untuk bisa membuat mereka merasa puas dengan kehidupan mereka? Apa hanya ini satu-satunya cara untuk membuat mereka terlepas dari duka? Kan sebenarnya masih banyak cara lain yang bisa mereka lakukan untuk membuat diri mereka sendiri merasa puas."

"Adek kan tahu bahwa di dunia ini semua orang ingin hidup bahagia dengan status sosial mereka masing-masing. Ingin merasa puas dengan kehidupan mereka sendiri, apapun dan seperti apapun takdir kehidupan mereka sendiri. Intinya, semua orang memiliki satu tujuan yang sama, bahagia dan puas dengan hidup mereka masing-masing. Tak peduli miskin atau kaya, jelek atau nggak, punya jabatan atau tidak, semuanya ingin bahagia dan puas dengan kehidupannya."

"Iya juga sih kak. Aku tahu itu. Tapi Kak....?"

"Tapi kenapa?"

"Tempatku kan jadi sepi, tak pernah didatangi orang lagi kak."

"Ya kalau gitu, tiru saja strategi tempat ini seperti tempat adek. Toh tujuannya kan juga baik. Agar semua orang bisa beribadah dengan nyaman."

"Iya juga sih Kak."

Akhirnya aku memberanikan diri kepada para sesepuh tempat aku tinggal, tempat dimana aku merawat bangunan peribadatan tua yang sudah tak lagi enak dipandang dan sangat tak nyaman untuk digunakan. Aku meminta para tetua untuk membangun ulang bangunan peribadatan itu. Membangunnya dengan konsep baru, yakni satu tempat ibadah untuk semua agama dan aliran kepercayaan yang ada di daerahku. 

Ya, meskipun awalnya semua orang tak setuju, namun ketika aku uraikan sebuah alasan yang masuk akal bahwa kita yang tinggal di daerah dengan banyaknya agama dan keyakinan tentu akan menjadi bijak jika membuat sebuah bangunan besar, luas dan megah untuk menampung semua orang yang datang mencari kebahagiaan sejati di satu tempat peribadatan yang sama, Mall Agama Semesta. 

Sebuah bangunan yang bisa dimanfaatkan oleh semua orang, semua pemeluk agama dan keyakinan dari berbagai usia untuk berkeluh kesah, bercerita, meminta, berharap, berdoa dan bahkan untuk transaksi jual beli surga dan neraka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun