Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Trisula Sakti Penguasa Negeri

3 Januari 2021   05:33 Diperbarui: 3 Januari 2021   05:49 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tok Tok Tok suara ketukan palu dari sang hakim terasa begitu lambat sekali, dan terasa begitu memekakkan telingaku, seperti berada di area dentuman suara bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki dikala Negara ini sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Rasanya aku ingin berlari, pergi menjauh dari ruangan ini. Ruang sang pengadil dan ruang keadilan yang adil hanya pada segelintir orang, untuk mereka yang memiliki banyak uang atau jaringan pejabat tinggi hingga mereka yang berdasi mewakili aspirasi rakyat kecil yang sering dikhianati.

“ Itu putusan yang adil. Hukum dia, karena dia penyebar berita bohong, dan mempengaruhi banyak orang dalam bahaya yang begitu mencekam.” seruan dari salah satu orang yang mengikuti persidangan di meja hijau. Suara berisikpun saling bersautan dan saling hantam kata-kata ditengah – tengah persidangan yang hampir usai pun terjadi akibat terpancing oleh seruan satu orang.

Mereka yang menganggapku sebagai benalu, berteriak lantang bahwa aku hanya biang onar. Sedangkan mereka yang meyakini kebenaran yang aku sampaikan, menganggapku seperti dewa, dipuja dan harus dibela.

Keputusan hakim itu menyatakan bahwa diriku bersalah, dengan menjeratku menggunakan pasal 1045A ayat (1) yang berbunyi, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dipidana dengan pidana penjara enam tahun dan denda paling banyak 1 miliar lore.

Keputusan itu tentu tak bisa aku terima dengan lapang dada, karena aku berpikir bahwa apa yang menjadi keyakinanku itu adalah sebuah kebenaran yang tak bisa dipidanakan hanya kerena aku menyebarkan apa yang aku anggap benar melalui berbagai platform media social.

Aku ingat, sebelum aku dimeja hijaukan oleh sekolompok orang yang mengatasnamakan pembela kebenaran. Sering bahkan terlampau sering sekali menuliskan apa yang aku anggap benar di whatsapp, Instagram, facebook bahkan juga di youtube.

Aku sering mengungkapkan bahwa Tuhan itu hanya satu. Tuhan itu satu satunya yang pantas di Tuhan-kan, Tuhan itu just & only yang patut untuk disembah, menjadi tempat bersandar, tempat meminta pertolongan bahkan Tuhan adalah segala-galanya bagi manusia. Namun sangat disayangkan, apa yang aku ungkapkan melalui media social itu justru menjadi boomerang yang membuatku harus berurusan dengan para pengadil negeri ini.

Merasa Keberatan dengan putusan hakim, maka pada masa waktu yang aku miliki selama 7 hari sebelum putusan hakim menjadi hukum tetap, aku mengajukan banding sesuai dengan Pasal 1067 KUHAP, yang menjelaskan: ”Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta Banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama.”

Proses sidang pun dimulai setelah beberapa hari proses pengajuan banding diterima oleh pengadilan.

“Anda sebagai terdakwa, telah terbukti menyebarkan hoax, berupa keyakinan yang palsu melalui media social. Kenapa anda masih memberanikan diri melakukan banding?” seru Jaksa Penuntut Umum

“Apakah yang saya yakini itu palsu?”

“Tentu tidak. Saya meyakini bahwa Tuhan itu memang ada. Tuhan itu kuasa atas semesta dan bahkan Tuhan itu kuasa atas diri anda, Jaksa Penuntut Umum!” jawabku.

“Baik. Lantas kenapa anda menyebarkannya di media social dan mengajak banyak orang untuk mengikuti keyakinan anda?” ucap JPU.

“Saya tidak mengajak banyak orang untuk menjadi pengikut saya. Saya hanya menggunakan hak saya sebagai warga negara bahwa kita sebagai warga negara merdeka untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan isi pikiran dengan lisan ataupun tulisan.” balasku pada JPU.

“ Tapi, apa yang anda lakukan ini menimbulkan keresahan dan menyesatkan.” JPU.

Aku kemudian menyanggah apa yang dikatakan oleh JPU, bahwa sebenarnya bukan aku yang tersesat, tapi mereka yang melaporkanku dan menjeratku dengan UU ITE.

“Kenapa anda justru mengatakan bahwa mereka yang tersesat?” JPU.

“Karena mereka lupa pada Tuhan yang sebenarnya selama ini. Mereka menganggap uang itu segalanya dan tiada tandingannya. Bahkan dengan uang mereka bisa merekayasa segalanya yang ada di dunia ini, termasuk apa yang sedang terjadi di tempat ini. Artinya, mereka menuhankan uang. Ada juga dari mereka yang percaya diri bahwa jabatan dan kolega serta lobi-lobi politik itu mampu menjaga mereka. Padahal sebenarnya mereka lupa bahwa yang menjaga mereka itu adalah Tuhan, bukan jabatan atau orang. Dengan tanpa sadar kelakuan mereka mengartikan bahwa mereka telah menuhankan uang, jabatan dan kolega.” ucapku dengan lantang.

Dengan suara meninggi seperti tersulut emosi, sang Jaksa Penuntut Umum pun berbicara lagi, “atas dasar apa anda mengatakan hal seperti ini? Apakah anda punya bukti dengan apa yang anda katakan tadi?”.

Tiba-tiba suasana di ruang sidang pun hening. Seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal terjadi. Seakan ada sesuatu yang semua orang sadari bahwa telah terjadi perubahan di negeri ini sejak kasus virus mematikan, virus monet melanda dunia ini beberapa tahun belakangan. Akupun terhanyut dalam keheningan dengan pertanyaan yang tiba – tiba muncul dalam pikiranku. Apakah semua orang yang ada di ruang ini mulai mendapatkan hidayah dari Tuhan?

“ Saya punya bukti yang anda maksud.” sahut pengacaraku memecah keheningan yang hadir sejenak.

“Apa itu?” Tanya JPU

“ Coba lihat gambar yang terpampang di tembok, di belakang yang mulia!” seru pengacaraku.

Semua mata pun tertuju pada lambang negara dan isinya. Tatapan mata semua orang pun seakan mencari maksud sebenarnya dari apa yang dilontarkan oleh pengacaraku.

1. Uang adalah Tuhan manusia.

2. Jabatan adalah Penguasa Sebenarnya.

3. Kolega menjadi pengadil yang setia. 

Seorang anak muda dengan suara lantang, berdiri tegap menggunakan teropong inframerah membacakan apa yang tertulis pada lambang negara dejavu ini, berada di tembok belakang,  di atas hakim yang mulia yang sedang duduk di kursi agung menikmati perkara.

**dejavu= sebuah negara di negeri mimpi

*lore= mata uang negeri dejavu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun