Berita akhir-akhir ini dihebohkan oleh Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga, yang telah menunjuk seorang politikus Tetsushi Sakamoto menjadi Menteri Kesepian. Betul, Anda tidak salah dengar! Menteri Kesepian. Saat negara-negara berjibaku untuk melawan, memerangi, dan mengontrol laju pandemi, negeri sakura lebih fokus kepada permasalahan kesepian, kesepian warga negara lebih tepatnya. Memang terlihat aneh dan unik, tetapi ini bukan hal yang pertama yang dilakukan oleh sebuah negara
Sebelumnya, Perdana Menteri Inggris Theresa May telah menunjuk seorang politisi untuk menduduki jabatan Menteri Kesepian. Pada bulan Januari 2018. Tracey Crouch adalah orang pertama yang menduduki jabatan ini.
Tentu kita akan mengira dan meraba-raba apa maksud dan tujuan para pemimpin ini untuk mengadakan sebuah instansi negara untuk orang-orang kesepian? Ternyata ini tidak bisa dilepaskan dari laporan komisi Jo Cox, yang diambil dari nama anggota parlemen asal Partai Buruh yang tewas dibunuh pada 2016 silam. Politisi ini dikenal dengan kampanye terkait masalah kesepian yang menghinggapi warga Inggris. Hasil laporan itu menyebut jutaan orang di Inggris merasa kesepian yang oleh PM May dianggap sebagai realitas menyedihkan di kehidupan modern. "Saya ingin menghadapi tantangan ini untuk masyarakat dan kita semua harus mengambil langkah dalam menghadapi rasa kesepian yang dirasakan para orang tua, mereka yang kehilangan anggota keluarga, atau sekadar orang yang tak punya kawan bicara," ujar PM May. Sementara itu, Tracey Crouch akan merancang sebuah strategi nasional untuk mengatasi masalah yang menimpa warga berbagai usia ini. "Kami paham ada dampak nyata dari isolasi sosial dan kesepian terhadap manusia, tak hanya terhadap kondisi fisik dan mental mereka, tetapi juga dalam aspek sosial lainnya," ujar Tracey. Diperkirakan 2 juta warga berusia 75 tahun ke atas di seluruh Inggris tinggal sendirian. Para manula ini bisa berhari-hari bahkan hingga beberapa pekan tak mengalami interaksi sosial sama sekali. (Kompas.com - 17/01/2018)
Sementara itu, bukan rahasia lagi, pandemi Covid-19 membuat banyak orang terisolasi dan menimbulkan masalah mental, termasuk kesepian, di berbagai negara, salah satunya adalah Jepang. Di Jepang, isolasi yang disebabkan pandemi dianggap berkorelasi dengan angka kasus bunuh diri yang meningkat pada tahun 2020 lalu. Atas pengakuan tersebutlah PM Jepang, Yoshihide Suga membuat pos kabinet baru untuk mengatasi isu kesehatan mental ini. Dia menunjuk Tetsushi Sakamoto sebagai Menteri Kesepian. Menteri Kesepian secara khusus diminta untuk menjalani program pemerintah yang bertujuan untuk membantu orang-orang yang mengalami kesepian kronis akibat isolasi selama pandemi. "Perempuan, khususnya, merasa lebih terisolasi dan dihadapkan dengan peningkatan angka bunuh diri," ujar Suga, mengutip Mashable. (CNN Indonesia | Sabtu, 20/02/2021 10:58 WIB)
Dari fenomena di atas, kita bisa memahami, bahwasanya, kesepian bukanlah hal yang harus dianggap enteng,mudah, dan diabaikan. Dua kebijakan negara dalam pengadaan instansi untuk orang-orang kesepian lahir dari pembedaan faktor, tetapi berangkat dari satu payung yang sama: Bagaimana kesepian menggerogoti kehidupan warga negaranya, dan itu bisa mengancam nyawa manusia.
Kesepian dalam pandangan Psikologi
Pernahkah Anda mengalami kondisi yang di mana, sesuatu tak lagi bermakna, di mana kehidupan menjadi kosong, tak tentu arah, segala emosional dalam diri kita tidak bisa ditumpahkan ke seluruh aspek maupun media lainnya. Saat kondisi hidup tetiba menjadi hampa, dan orang-orang terdekat dan sekitarnya tak dapat mendeteksi dan memahami apa yang kita rasakan, bagaimana keinginan psikis kita seperti terjerat dalam tali yang begitu kencang dan keras, dan hembusan napas kita seolah-olah tertahan oleh endapan sapu tangan yang sulit untuk kita berontak. Pada akhirnya, sungai airmata mengalir dari langit mata yang sudah kadung mendung yang tak dapat ditampung maupun dibendung. Lalu pasrah dan tak tahu kapan semua akan tiba
Setiap manusia berpotensi mengalami kesepian. Ya, setiap manusia! Realitas hidup yang tak bisa diukur dan ditebak, ruang dan waktu yang terus bergulir akan melahirkan keterkejutan fenomena yang langsung menampakkan wajahnya, dan kita ditampar dan dijambak! Dipojokkan ke sebuah sudut tembok, lalu tercekik! Dan akhirnya luluh lantak! Tak berdaya
Lalu, mengapa kita mengalami kesepian? Dan bagaimana kesepian itu bekerja untuk hinggap dalam kehidupan manusia? apakah kesepian bisa diatasi dengan sebuah ruang yang penuh dengan keramaian? Apakah jaminan kalau kita sering berinteraksi dan berkomunikasi bersama orang lain di sekitar akan menjauhkan kita dari kesepian? Sialnya, tidak!
Meskipun kebutuhan kita untuk terhubung adalah nyata dan intens, entah dari sang kekasih pujaan hati, keluarga inti, sahabat, rekan kerja, bahkan pasangan suami/istri, tetapi tak dinyana banyak dari kita sering merasa sendirian. Kesepian adalah keadaan kesusahan atau ketidaknyamanan yang dihasilkan ketika seseorang merasakan kesenjangan antara keinginan seseorang untuk hubungan sosial dan pengalaman sebenarnya darinya. Kesepian adalah fungsi dari kebutuhan afektif akan persahabatan dan kepemilikan, dan jika tidak ditangani, hal itu dapat mempengaruhi harga diri seseorang (Hawkley, Browne, & Cacioppo, 2005). Kesepian juga dapat membuat kita mempertanyakan dan membongkar kembali mengenai nilai dan kebergunaan kita kepada orang lain dan di mana kita berada.