Sebagai ciri khas, bintang piala dunia tetap beragam etnik, kendati memasuki semi final yang tersisa hanya kesebelasan asal daratan Eropa. Selama musim pertandingan, ada berita mengenai sedikit ricuh terkait Israel. Meski demikian isu SARA praktis tak mendominasi warna pemberitaan.
Magistrature of Influence
Pelatih kesebelasan Belgia berkebangsaan Spanyol, Roberto Martinez, menjadi salah satu pusat perhatian. Di tangannya Belgia melaju ke semi final mengalahkan Brazil yang digadang-gadang akan menjadi juara dunia setelah Argentina menyusul kekalahan Jerman. Praktis puluhan tahun Belgia tak mengalami prestasi gemilang dalam laga dunia.Â
Berbeda dengan Argentina yang agak ricuh ketika menetapkan Messi sebagai Kapten, Martinez tak menghadapi masalah dalam penetapan Eden Hazard untuk memimpin kesebelasan. Martinez tidak hanya menerapkan taktik yang dihitung rapih, tapi juga memiliki kemampuan memotivasi yang luar biasa. Ia bahkan memanfaatkan ruang publik untuk menyampaikan penilaian positifnya terhadap para pasukan.
Memasuki akhir tahun lalu, ia mulai mempromosikan Kevin De Bruyne sebagai pemain yang akan mencapai performa setara dua super bintang, Ronaldo dan Messi. Upaya Martinez memanfaatkan lini pengaruh dalam suatu pertempuran mengingatkan saya pada apa yang disebut sebagai 'Magistrature of Influence'.
Sebelum berlaga melawan Brazil ia menyampaikan pujiannya melalui media kepada Eden Hazard sebagai Kapten dengan kepemimpinan terbaik, "dia sudah menjadi kapten sesungguhnya, pemimpin sebenarnya yang selalu menjadi dirinya sendiri".Â
Pujiannya terhadap sang Kapten dan tim banyak dikutip media, "anda lihat, banyak kapten di tim ini. Ketika melihat Hazard anda akan menikmati sepak bolanya, dia membuat sepak bola jadi indah".
Pesan positif yang disampaikan Martinez kepada publik bukan tanpa maksud. Ia tahu meskipun Belgia sedang panen generasi baru tapi sedang berhadapan dengan para raksasa. Ia tidak hanya sekedar mengembangkan strategi dan taktik yang setiap saat bisa berubah di lapangan datar, tapi juga mengelola mental tim maupun lawan.
Pujiannya semakin memuncak bersamaan dengan kemenangan demi kemenangan tim. Ini dapat dilihat sebagai perang psikologis. Selain untuk menjaga mental tim hingga ke titik penghabisan, hal tersebut juga penting untuk mempengaruhi persepsi dan moral lawan terhadap kekuatan tim binaannya.
Sebagai Jenderal, Martinez seperti tak mau kehilangan kemenangan di semua lini pertempuran. Meski ia meyakini keberuntungan juga menentukan, ia merancang taktik yang adaptif dan mengelola momentum dengan cermat. Melalui tim Belgia ia berusaha mepelopori kelahiran super star baru di dunia sepak bola. Tak mengherankan jika Spanyol yang harus pulang lebih dulu ingin mengambilnya dari Belgia.
Indonesia