Laga Piala Dunia 2018 berlangsung bersamaan dengan momen Pilkada serentak di Indonesia yang sulit dipisahkan dari dinamika suksesi nasional pada tahun 2019 mendatang. Sebagian menjadikan Pilkada kali ini sebagai proksi Pilpres 2019, sebagian yang lain masih meragukan. Â
Analogi dan satire Pilkada ke dalam Piala Dunia atau sebaliknya tak terhindarkan dan mewarnai media sosial. Bedanya, sindiran dan olok-olok dalam dunia sepak bola tak membawa kita pada pertikaian sosial pada apa yang disebut anak milenial sebagai 'baper tingkat dewa'.
Debut Para Ronaldian
Indonesia masih dipenuhi euforia Reformasi ketika itu. Di Bondy, Perancis, tepatnya pada 20 Desember 1998, lahir seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Kylian Mbappe. Mbappe remaja menekuni Bola. Dinding kamarnya dipenuhi gambar sang idola: Cristiano Ronaldo.
Di usia 19 tahun Mbappe telah menjadi bintang kesebelasan Perancis dalam Piala Dunia 2018 yang digelar di negeri Beruang Merah. Beberapa gol yang dicetaknya dalam babak 16 besar melawan Argentina telah memulangkan Messi dan timnya. Takdir berjalan lain, Ronaldo sang idola harus pula menyusul Messi beberapa jam kemudian karena Portugal dikalahkan Uruguay.Â
Di Chingford, Inggris, 28 July 1993, seorang anak berdarah Irlandia lahir dan diberi nama Harry Edwin Kane. Ia menggemari bola dan mengembangkan bakatnya di Akademi Arsenal. Kane dikeluarkan dari akademi Arsenal ketika usia 8 tahun karena dinilai kegemukan. Di kemudian hari keputusan tersebut diakui salah oleh direktur Akademi Arsenal, Liam Brady.
Pemain kesebelasan Inggris yang kini berusia 24 tahun itu menjadi pencetak gol terbanyak Liga Inggris selama dua musim tanding berturut-turut, dalam kurun waktu 2015-2017. Â Sebagaimana Mbappe, Kane juga mengagumi Ronaldo. Dalam satu wawancara ia mengatakan: "Ronaldo adalah teladan. Ia pemain fantastis. Saya berharap suatu hari akan mencapai performa seperti dia".
Inggris dan Perancis melaju ke babak semi final. Namun, kemungkinan Mbappe atau Kane berhadapan dengan sang idola di Piala Dunia boleh jadi tak lagi akan ada. Pasalnya, Ronaldo yang pulang lebih dulu telah berusia 33 tahun. Bukan tak mungkin ia mulai memilih untuk menapaki masa transisi karier menjadi Pelatih beberapa tahun ke depan.
Angin Perubahan
Rusia mengingatkan pada lagu Scorpion: Wind of Change. Sepertinya angin perubahan juga bertiup di piala dunia kali ini. Beberapa bintang bukan hanya harus pulang ke kampung halaman, tapi juga sudah mulai memasuki penghujung usia karir dan sebagian sedang menapaki usia matang.Â
Rusia menjadi kuburan bagi para bintang ternama. Kehadiran bintang-bintang baru yang masih terbilang muda seperti Mbappe, mengisyaratkan alih generasi dimulai. Di luar itu capaian Belgia dan Kroasia ke babak semi final menjadi catatan sejarah tersendiri, mengingat keduanya tak memiliki bintang yang sangat-sangat menonjol.
Sebagai ciri khas, bintang piala dunia tetap beragam etnik, kendati memasuki semi final yang tersisa hanya kesebelasan asal daratan Eropa. Selama musim pertandingan, ada berita mengenai sedikit ricuh terkait Israel. Meski demikian isu SARA praktis tak mendominasi warna pemberitaan.
Magistrature of Influence
Pelatih kesebelasan Belgia berkebangsaan Spanyol, Roberto Martinez, menjadi salah satu pusat perhatian. Di tangannya Belgia melaju ke semi final mengalahkan Brazil yang digadang-gadang akan menjadi juara dunia setelah Argentina menyusul kekalahan Jerman. Praktis puluhan tahun Belgia tak mengalami prestasi gemilang dalam laga dunia.Â
Berbeda dengan Argentina yang agak ricuh ketika menetapkan Messi sebagai Kapten, Martinez tak menghadapi masalah dalam penetapan Eden Hazard untuk memimpin kesebelasan. Martinez tidak hanya menerapkan taktik yang dihitung rapih, tapi juga memiliki kemampuan memotivasi yang luar biasa. Ia bahkan memanfaatkan ruang publik untuk menyampaikan penilaian positifnya terhadap para pasukan.
Memasuki akhir tahun lalu, ia mulai mempromosikan Kevin De Bruyne sebagai pemain yang akan mencapai performa setara dua super bintang, Ronaldo dan Messi. Upaya Martinez memanfaatkan lini pengaruh dalam suatu pertempuran mengingatkan saya pada apa yang disebut sebagai 'Magistrature of Influence'.
Sebelum berlaga melawan Brazil ia menyampaikan pujiannya melalui media kepada Eden Hazard sebagai Kapten dengan kepemimpinan terbaik, "dia sudah menjadi kapten sesungguhnya, pemimpin sebenarnya yang selalu menjadi dirinya sendiri".Â
Pujiannya terhadap sang Kapten dan tim banyak dikutip media, "anda lihat, banyak kapten di tim ini. Ketika melihat Hazard anda akan menikmati sepak bolanya, dia membuat sepak bola jadi indah".
Pesan positif yang disampaikan Martinez kepada publik bukan tanpa maksud. Ia tahu meskipun Belgia sedang panen generasi baru tapi sedang berhadapan dengan para raksasa. Ia tidak hanya sekedar mengembangkan strategi dan taktik yang setiap saat bisa berubah di lapangan datar, tapi juga mengelola mental tim maupun lawan.
Pujiannya semakin memuncak bersamaan dengan kemenangan demi kemenangan tim. Ini dapat dilihat sebagai perang psikologis. Selain untuk menjaga mental tim hingga ke titik penghabisan, hal tersebut juga penting untuk mempengaruhi persepsi dan moral lawan terhadap kekuatan tim binaannya.
Sebagai Jenderal, Martinez seperti tak mau kehilangan kemenangan di semua lini pertempuran. Meski ia meyakini keberuntungan juga menentukan, ia merancang taktik yang adaptif dan mengelola momentum dengan cermat. Melalui tim Belgia ia berusaha mepelopori kelahiran super star baru di dunia sepak bola. Tak mengherankan jika Spanyol yang harus pulang lebih dulu ingin mengambilnya dari Belgia.
Indonesia
Pilkada serentak 2018 juga seperti mengisyaratkan angin perubahan. Partai-partai menengah di daerah yang lebih proaktif mencari bintang lokal relatif memimpin dan memenangkan pertempuran. Politik dinasti dan 'proksi incumbent' mulai berguguran meski sebagian bertahan. Ada sedikit kericuhan di Kalbar dan upaya membangun sentimen SARA di beberapa daerah selama pilkada, tapi sepertinya tak mempan.Â
Rakyat tengah ogah dipaksa memilih kandidat jadi-jadian apa lagi sarat dengan kesan hegemoni. Mereka lebih rela memilih kotak kosong atau memilih yang dirasa lebih memberi manfaat meski berstatus tersangka. Nanti dulu bicara hukum. Upaya memanfaatkan sisa sentimen Pilgub DKI dua tahun lalu juga tak membuahkan kemenangan.
Hasil perhitungan suara belum selesai ditetapkan oleh KPUD, tapi hampir pasti tak akan berbeda dengan hasil real count mereka. Di Jawa Barat, PKS yang bekerja keras dengan jaringan saksinya akhirnya mengakui kemenangan lawan versi real count. Sikap yang patut dipuji dari partai kader ini, meski masih belum diakui oleh tim sukses.
Menjelang akhir pilkada Jawa Barat, SBY menyampaikan opini negatif terhadap indikasi perangkat negara yang tak netral. Publik ikut dicemaskan, seolah-olah ada target penguasa untuk memenangkan kandidat tertentu.Â
Berbeda dengan Martinez yang memilih meggunakan pengaruh positif, sentimen negatif ini justru dinilai banyak kalangan memberikan keuntungan bagi lawan politik. Meski ada juga yang meyakini sebagai kepanikan akibat laporan internal mengenai perpindahan suara besar-besaran kepada kandidat tertentu.
Apapun yang telah terjadi, Pilkada serentak 2018 memasuki tahap usai. Bintang politik alternatif mulai memancarkan sinar. Cadangan kepemimpinan nasional untuk 2019-2024 bermunculan dari daerah. Mahathir effect mulai meredup.Â
Politisi senior Jusuf Kalla menolak pinangan Partai Demokrat untuk menjadi Capres. Tak terobsesi menjadi Mahathir, mungkin ia lebih memilih beranjak keluar dari gelanggang dan mengambil peran mentor sebagaimana Martinez. Dua kali perjalanan semobilnya dengan Anies Baswedan seolah mengisyaratkan itu.
Potongan syair Cat Stevan (Yusuf Islam), dalam Father and Son, cukup menyentuh: Â "look at me, I'm old but I'm happy; ... you will still be here tomorrow, but your dreams may not; ... I know that I have to go away".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H