Mohon tunggu...
Alamsyah Saragih
Alamsyah Saragih Mohon Tunggu... Ombudsman RI -

@Alamsyahsaragih ... when it is costless to transact, the efficient neo-classical competitive solution obtains—Ronald Coase, 1960.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mencermati Teror Ekonomi di Desa

18 Januari 2016   18:41 Diperbarui: 19 Januari 2016   08:36 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="FAKTA DAN MASALAH PEDESAAN"][/caption]Puluhan tahun Desa mengalami teror ekonomi melalui serangkaian kebijakan makro yang menyebabkan warga terpojok dan harus menghadapi berbagai krisis kehidupan. Teror yang berlangsung secara sistemik ini telah melumpuhkan sendi-sendi kehidupan di Desa dan berakhir dengan terusirnya jutaan rumah tangga petani dari lahan mereka. Apakah Kementerian Desa dapat mengatasinya?

Presiden melakukan kunjungan ke Desa Pulo Kelapa, Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Karawang. Menteri Desa menyampaikan bahwa Presiden ingin desa seluruh Indonesia dikembangkan. Pembangunan infrastrukturnya melalui Dana Desa karena Dana Desa terbukti bisa menyerap tenaga kerja dan menggerakkan ekonomi pedesaan (Tempo.co, Sep 2015).

Dalam laporannya pada akhir tahun lalu, Bank Dunia menyampaikan kritiknya terhadap formula Dana Desa yang dinilai kurang mempertimbangkan tingkat kemiskinan, sehingga menimbulkan kesenjangan. Formula pembagian Dana Desa yang mengacu pada Peraturan Pemerintah masih tampak menggunakan model bagi rata. Angka kemiskinan dan tingkat kemahalan tak terlalu berpengaruh terhadap besaran (Gambar 1.1 dan 1.2).

Sebaliknya Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil menyangkal laporan Bank Dunia yang menyebutkan pemberian dana desa hanya memperlebar ketimpangan pendapatan. Menurutnya Dana Desa akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur padat karya sehingga dapat mengurangi kesenjangan. Dalam beberapa hari lalu, isu Dana Desa untuk infrastruktur telah berkembang menjadi Presiden menginstruksikan Dana Desa 100 persen untuk Infrastruktur (Kemendesa, 2016).

TIGA FAKTA PENTING TENTANG PEDESAAN

Konsentrasi penguasaan lahan: setiap dua hari terjadi satu konflik agraria. Lahan adalah faktor produksi paling mendasar bagi perekonomian Desa. Namun konsentrasi peguasaan lahan telah begitu timpang di indonesia. Ada 531 konsesi hutan bersakala besar yang menguasai 35,8 juta hektar, sementara 31.951 Desa di kawasan hutansebagian besar tak mendapatkan kejelasan tata batas. Di sisi lain akses masyarakat untuk pengelolaan areal hutan melalui 60 ijin Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, HTR, Kemitraan dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang mencakp 1.200 Koperasi Primer dan 5.394 Desa tak mencapai 2,2 juta hektar.

Di areal pertanian badan usaha pertanian berskala besar terus tumbuh mencapai 2.452 unit. Ketimpangan kepemilikan lahan terus memburuk dari waktu ke waktu. Ada 56 persen rumah tangga petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha. Data ketimpangan lahan menunjukkan angka indeks gini 0,72 (BPS, 2013).

Di sisi produksi, masuknya perusahaan multinasional di sektor pangan menyebabkan dominasi pasar benih transgenik tak terhindarkan. Para perusahaan pemasok benih, meski menawarkan produktifitas yang lebih tinggi, telah melahirkan ketergantungan petani terhadap benih terminator yang hanya bisa digunakan untuk satu kali tanam (lihat Swasembada Pangan Tanpa Kedaulatan Petani).

Di sisi lain privatisasi air marak di wilayah pedesaan yang memiliki sumber mata air untuk digunakan sebagai bahan baku air minum dalam kemasan (AMDK). Air yang semula berfungsi untuk memasok kebutuhan produksi pertanian dan kebutuhan air bersih lokal kini dikuasai oleh para investor AMDK.

Konsentrasi penguasaan lahan di pedesaan tersebut telah menyebabkan banyak konflik agraria merebak. Sepanjang 2004-2015, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa telah terjadi 1.772 konflik agraria mencakup 6,9 juta hektar lahan, dan melibatkan 1,1 juta rumah tangga petani.

Permintaan komoditi global yang menurun ikut meredam konflik. Pada tahun 2015 konflik mengalami penurunan dibanding 2014. Pada tahun 2015 KPA mendata ada 252 kejadian dengan sebaran berdasarkan sektor: perkebunan 50 persen, infrastruktur 28 persen, hutan 9 persen, tambang 5 persen, dan lainnya 8 persen.

Krisis kehidupan di Desa: pangan, air, energi, ekologi dan tradisi berdesa. Konsentrasi penguasaan lahan dan konflik agraria telah membawa lima krisis kehidupan di Desa. Kelima krisis tersebut telah menyebabkan Desa sebagai satuan komunitas mengalami penurunan daya dukung terhadap kualitas hidup warga.

Krisis pangan ditandai dengan adanya 15,5 juta warga di pedesaan yang harus menerima bantuan beras dari pemerintah (raskin) pada tahun 2015. Ada 15.775 Desa berstatus rawan air, dan 1.235 Desa berstatus kekeringan (BPS, 2013). Kendati PLN menyatakan pada tahun 2013 hanya 12,3 persen Desa yang tak tersambung listrik, namun tak diketahui berapa Desa yang tersambung namun tak memiliki pasokan penuh waktu. Ketiadaan pasokan listrik yang memadai akan mengahambat aktifitas ekonomi alternatif di Desa.

Krisis ekologi di pedesaan ditandai dengan laju kerusahakan hutan primer yang telah mencapai angka 840.000 hektar pertahun (2012) dan hutan bakau mencapi 65 persen dalam tiga dekade (KLH, 2006). Di wilayah pesisir, terumbu karang yang masih berkondisi baik hanya mencapai 32 persen (LIPI, 2012).

Pemerintahan Desa bahkan cenderung menjadi perpanjangan tangan dari aktor-aktor luar yang berkepentingan terhadap sumber daya lokal. Kasus pembunuhan Salim Kancil di Lumajang adalah bukti tak terbantah atas kondisi ini. Desa telah mengalami krisis tradisi berdesa.

Dampak sosial ekonomi: ekonomi alternatif tak berkembang, kaum muda tak bangga jadi petani. Krisis energi merupakan salah satu penyebab tidak berkembangnya industri pedesaan yang terkait dengan bahan lokal. Situasi yang terus memburuk telah menyebabkan dalam kurun waktu 2003-2013 ada 5,1 juta rumah tangga petani yang terpaksa alih profesi masuk ke sektor lain (BPS, 2013). Industri pedesaan tak berkembang sehingga kebanyakan mereka bermigrasi ke sektor jasa minim keterampilan. Akibatnya 45 persen tenaga kerja ditampung di sektor jasa (BPS, 2014).

Di samping kesenjangan pendapatan yang tinggi (gini ratio mencapai 0,42 pada tahun 2015), kurang lebih 53 persen PDB Indonesia didominasi oleh konsumsi. Secara tak langsung ini mencerminkan struktur pendapatan penduduk, rata-rata 53 persen penghasilan digunakan untuk konsumsi. Dapat diduga penduduk lapis pendapatan bawah akan menggunakan porsi pendapatan lebih besar untuk konsumsi dan tak punya sisa untuk ditabung. Data Bank Dunia (2014) menunjukkan bahwa penduduk di pedesaan berusia 25 tahun ke atas yang memiliki rekening di bank hanya mencapai 28,7 persen.

Pendapatan yang minim ini juga yang menyebabkan warga berpenghasilan pas-pasan di pedesaan tak memiliki kesempatan meningkatkan keterampilan, dan akhirnya cenderung memasuki sektor jasa berketerampilan rendah. Studi ILO pada tahun pada tahun 2014 menunjukkan bahwa ketidakcocokan keterampilan buruh tani dan perikanan mencapai 88,9 persen dari pekerja, sedangkan pengrajin dan perdagangan mencapai 72,4 persen. 

Laporan Bank Dunia menunjukkan ada 126 ibu melahirkan dari setiap 100.000 angka kelahiran yang mengalami kematian dan ada 23 bayi mati untuk setiap 1.000 kelahiran hidup. Angka-angka tersebut masih jauh dari target Millenium Development Goals yang harus dicapai pada 2015.

Kehidupan di Desa yang memburuk juga ditandai dengan posisi lembaga sosial ekonomi di Desa melemah. Lembaga sosial ekonomi Desa yang lemah ditandai dengan ketidakmampuan untuk mempengaruhi keputusan di Desa (AKATIGA, 2015). Lebih jauh, sebuah penilitian menunjukkan bahwa kebanyakan kaum muda di Pedesaan sudah tak memiliki kebanggaan terhadap profesi petani (Ben White, 2012). 

BUKAN HANYA PEKERJAAN RUMAH MENTERI DESA

Berbagai fakta di atas menjadi bukti bahwa menyelesaiakan permasalahan di Desa memerlukan sinergi lintas aktor dan lintas sektor. Wilayah hulu yang kerap ditandai dengan konflik agraria mensyaratkan tekad yang kuat dari rezim berkuasa untuk segera menjalankan agenda penyelesaian konflik agraria dan melakukan redistribusi lahan secara lebih sistematik. Ketimpangan penguasaan lahan yang begitu tinggi akan menjadi kendala bagi Pemerintah dalam megembangkan perekonomian rakyat.

Di wilayah tengah, upaya mengatasi krisis pangan, air, energi dan ekologis mensyaratkan sinergi kementerian terkait yang boleh jadi berada di bawah kodinasi kementerian koordinator berbeda. Hal ini logis, mengingat Desa adalah suatu teritori dengan interaksi beragam aspek kehidupan. Presiden memerlukan skema khusus untuk mempercepat proses penanganan berbagai krisis yang dihadapi oleh Desa ini.

Di wilayah hilir, untuk mengatasi dampak sosial ekonomi yang buruk, upaya penyelamatan, pemulihan, dan pengembangan sosial ekonomi Desa juga akan membutuhkan sinergi lintas sektor. Mulai dari mendukung Desa untuk mendapatkan peluang peningkatan pendapatan melalui ekonomi alternatif, penyesuaian kapasitas, meningkatkan pelayanan dasar di Desa, hingga mendorong agar warga Desa dapat ikut mempengaruhi keputusan di Desa dalam mengalokasikan sumber daya secara lebih efektif.

Melihat persoalan yang cukup kompleks, adalah berlebihan jika untuk memfasilitasi dan memberdayakan 74.000 lebih Desa di Indonesia sepenuhnya dibebankan kepada Menteri Desa. Selain berpotensi melanggar Undang-Undang, tak arif juga jika Dana Desa yang telah digelontorkan ke Desa diintervensi dengan mengarahkan Desa agar 100 persen pemanfaatan dana di luar operasional Desa hanya untuk membangun infrastruktur semata. Tak semua Desa menghadapi persoalan mayoritas infrastruktur. Boleh jadi ini dimaksudkan untuk mengatasi keterlambatan pendistribusian dana ke Desa dan sebagai langkah awal.

Perlu dirancang suatu Presidential Flagship Program untuk Desa sebagai alat kendali dan konsolidasi berbagai program dan anggaran terkait Desa yang tersebar lintas kementerian dan lembaga. Apa lagi dalam Nawacita telah dipilh strategi membangun Indonesia dari pinggiran, dimulai dari Daerah dan Desa. Mengatasi masalah di Desa, bukan hanya pekerjaan rumah Menteri Desa dan tak bisa diselesaikan hanya dengan infrastruktur semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun