Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian no. 123/M-IND/PER/11/2010 tentang Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri melalui Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri Tekstil dan Produk Tekstil serta Industri Alas Kaki. Penulis belum mendapatkan hasil evaluasi dari pelaksanaan kebijakan tersebut setelah diterbitkan.
Diperlukan Perubahan Mendasar
Mengundang investasi asing langsung dan mempromosikan penanaman modal untuk subsektor indutri TPT padat karya raksasa bukan prestasi baru bagi Indonesia. Rezim ekonomi Orde Baru telah melakuknnya dan harus diakui berhasil. Namun pada akhirnya Pemerintah Orde Baru merasa ada sesuatu yang keliru di akhir periode kekuasaannya.
Melihat perkembangan yang tak terintegrasi dan tumbuhnya industri-industri padat karya raksasa tanpa struktur yang mengakar telah mendorong Suharto untuk mengumpulkan para pebisnis besar. Suharto kemudian menghimbau mereka untuk mengembangkan program anak angkat dan meminta mereka untuk ikut bertanggung jawab menghidupkan industri kecil dan menengah.
Di sektor otomotif, upaya tersebut relatif menunjukkan hasil. Namun di sektor industri padat karya raksasa dapat dibilang gagal. Industri batik yang tumbuh puluhan tahun bahkan terancam gulung tikar akibat kelangkaan pasokan bahan baku. Penyebab kegagalan ini karena sejak awal Industri TPT padat karya tidak dirancang untuk memiliki struktur industri yang terintegrasi dengan lapis menengah dan kecil. Industri berskala besar hadir untuk menyerap tenaga kerja secara cepat tapi skaligus mensubstitusi peran industri kecil dan menengah, bukan menampung produk industri kecil dan menengah.
Pembangunan rantai produksi yang mengakar ini dalam jangka panjang relatif lebih stabil terhadap guncangan. Ada pelajaran menarik dari sejarah industri pesawat terbang Fokker yang didirikan oleh warga Belanda kelahiran Blitar 1939, Anthony Fokker. Ketika industri hilir Fokker bangkrut, industri menengah dan kecil yang menjadi pemasok Fokker tetap berkembang pesat karena mereka akhirnya juga memasok kebutuhan industri pesawat lainnya seperti Airbus, Lockheed Martin yang memproduksi F-16, dan Embraer.
Meski strategi ini bukan sesuatu yang bisa dilaksanakan dalam sekejap, Jepang, Taiwan dan Cina juga cukup serius dan terbukti berhasil membangun keterkaitan industri mereka. Tak jarang industri besar memiliki rantai pasok hingga ke unit-unit ekonomi rakyat di pedesaan. Pemerintah perlu mewaspadai jebakan politik ekonomi menang cepat (quick win) yang menyisakan kerapuhan fundamental ekonomi di kemudian hari.
Pengembangan skema kredit murah bagi industri TPT menengah dan kecil hingga membangun industri serat nabati rakyat menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Menyerahkan kebijakan pada debat kusir pemanfaatan bibit kapas transgenik menjadi terlalu berlebihan sepanjang tidak menyerahkan nasib mereka pada perusahaan multinasional seperti selama ini. Pemerintah perlu mendorong pemanfaatan bibit kapas hasil rekayasa genetik dalam negeri. Membiayai riset ini tak kalah penting dibanding belanja pupuk bersubsidi yang menelan Rp. 30 triliun lebih.
Kebijakan investasi padat karya raksasa penting untuk jangka pendek, tapi harus dibatasi. Bisa dibayangkan apa yang terjadi mana kala industri padat karya raksasa memutuskan untuk memindahkan lokasi produksi mereka. Jika sebelumnya mereka dengan cepat menyerap ratusan ribu tenaga kerja murah, maka dengan cepat pula mereka menciptakan pengangguran massal. Menang cepat pada akhirnya berubah menjadi kekalahan panjang. Kita telah merasakan pedihnya kutukan raksasa padat karya di penghujung era Orde Baru. Apakah Pemerintah sedang mengulanginya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H