Mohon tunggu...
Alamsyah Saragih
Alamsyah Saragih Mohon Tunggu... Ombudsman RI -

@Alamsyahsaragih ... when it is costless to transact, the efficient neo-classical competitive solution obtains—Ronald Coase, 1960.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jokowi dan Kutukan Padat Karya Raksasa

16 Oktober 2015   18:33 Diperbarui: 18 Oktober 2015   20:19 1896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto kontan.co.id"][/caption]Tensi nilai tukar untuk sementara menurun, meski belum tentu penguatan rupiah bakal otomatis membikin untung para pelaku ekonomi. Tekanan publik yang terus meningkat beberapa bulan terakhir harus diakui telah menyebabkan tim ekonomi Pemerintah berupaya menjalankan aksi maraton untuk meredam meluasnya pesimisme publik.

Praktis Pemerintah harus merespon hot issues dalam hitungan minggu. Mulai dari depresiasi rupiah, kelangkaan pasokan pangan akibat pembatasan impor, isu ancaman PHK massal dan masuknya pekerja asal cina, defisit transaksi berjalan dan tekanan harga komoditas di pasar internasional, ulah para korporasi jahat yang begitu percaya diri membakari hutan, target pajak yang diperkirakan tak akan tercapai, hingga tuntutan untuk menurunkan harga BBM dan sentimen negatif atas maraknya investasi asal tiongkok.

Beriringan dengan publikasi paket kebijakan ekonomi jilid 3, BKPM merilis kerjasama dengan 16 investasi padat karya yang akan menyerap 120 ribu lebih tenaga kerja untuk menepis isu ancaman PHK massal. Di luar dugaan, apresiasi rupiah mencapai 8 persen dalam hitungan hari. Tak ada satupun penjelasan yang mampu memuaskan rasa ingin tahu pubik. Penulis merasa situsi sosial media akibat apresiasi rupiah tersebut persis ketika hari terakhir kampanye Pilpres. Paska liputan media mengenai konser dua jari ada suasana yang mendadak senyap.

Harus diakui kondisi ini membuat tim ekonomi Pemerintah dapat menarik nafas agak dalam sementara waktu, meski Menteri Darmin Nasution segera mengingatkan jangan terlena. Media kemudian mulai ada yang memuat berita rencana Pemerintah untuk merilis paket kebijakan ekonomi jilid empat. Tidak salah memang, tapi jika strategi seperti ini dilakukan berulang-ulang, diperkirakan pemerintah terbawa arus histeria yang dipelopori media dan akan kehilangan perspektif jangka panjang.

Kelembagaan Ekonomi Bangsa Pelayan

Mari kita lupakan sejenak pertarungan total football tersebut. Ini penting untuk melihat apakah kebijakan investasi padat karya yang diambil beberapa waktu lalu cukup prospektif dalam memperbaiki beberapa fundamental ekonomi.

Puluhan tahun industri tekstil raksasa dengan jumlah tenaga kerja masif menguras devisa akibat besarnya volume impor bahan baku. Kerentanan terhadap tekanan nilai tukar harus diatas dengan orientasi ekspor. Ini pula yang menyebabkan kebanyakan investasi di subsektor ini umumnya didominasi oleh pemodal asing.

Pemerintah Jokowi tampak begitu ambisius untuk membangun kembali kejayaan industri padat karya besar. Dalam tempo pendek pilihan kebijakan ini seolah dapat menjadi quick win. Tapi jika tak dibatasi, dala9m jangka panjang ia akan menciptakan masalah cukup serius seperti yang telah dialami oleh Orde Baru.

Ada beberapa jebakan yang ditimbulkan oleh pilihan kebijakan ini. Pertama, kebutuhan cepat tanpa pembatasan menyebabkan kebijakan ini melahirkan arsitektur industri TPT yang rentan terhadap gejolak eksternal.

Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia pada akhirnya tetap memiliki sensitifitas tinggi terhadap bahan baku impor, terutama industri yang beorientasi pada pasar domestik. Untuk industri serat biaya bahan baku mencapai 56 persen dari biaya produksi, sementara industri pemintalan mencapai 60 persen dan industri garmen 58 persen.

Pada pohon industri TPT yang dipublikasikan oleh Kementerian Perindustrian, di sektor hulu industri TPT sebagian bahan baku bersumber dari serat alam, baik dari tanaman maupun bulu hewan (kapas, wool dan serat nabati lainnya). Selain itu ada serat sintetik yang berasal dari industri petrokimia, dan ada juga yang merupakan campuran antara nabati dan kimia (pulp rayon).

Meski memiliki lahan luas Indonesia tidak memiliki basis produksi serat nabati yang memadai. Keberadaan industri petro kimia dan rayon juga masih sangat dikuasai oleh segelintir produsen dan berorientasi ekspor.

Kedua, kehadiran Industri TPT besar akan mengurangi pasokan bahan baku bagi Industri kecil dan dan menengah. Jika ini dibiarkan, industri kecil dan menengah akan tumbuh melayani segmen pasar lokal di bawah tekanan harga bahan baku. Dalam jangka waktu tertentu akan terjadi apa yang disebut discouple economy.

Di satu segmen industri besar terpaksa mengambil pangsa ekspor agar dapat mengurangi tekanan biaya bahan baku impor. Para pekerja di Industri TPT besar dibayar murah sebagai barisan pelayan kebutuhan kelas menengah negara lain. Di segmen lain, industri kecil dan menengah dipaksa berhadapan dengan produk impor murah yang menyerbu masuk di tengah bahan baku yang semakin menekan. Kasus dominasi produk tekstil Cina di pasar Tanah Abang adalah salah satu contoh nyata.

Ketiga, kehadiran industri TPT besar berorientasi domestik, bukan hanya mengganggu ketersediaan bahan baku, tapi juga akan mengganggu pasar produk industri kecil dan menengah. Pengalaman puluhan tahun lalu telah mengajari kita bahwa industri padat karya juga relatif gampang berpindah (footloose industries) dan sangat berpotensi menciptakan pengangguran massal.

Belakangan industri padat karya raksasa juga menerapkan pola outsourcing. Pola ini mulai menyebabkan munculnya kantung-kantung pekerja rumahan (home based worker) dengan kondisi kesehatan dan keselamatan kerja yang sangat buruk. Kebanyakan dari mereka adalah kaum perempuan. Mereka harus menyediakan peralatan sendiri tanpa kompensasi yang memadai. Sementara BPJS tak dilengkapi instrumen untuk masuk ke ranah pekerja informal seperti ini. Skema yang ada sangat mengandalkan inisiatif pekerja lepas untuk mendaftar langsung.

Tak jarang karena kebutuhan untuk mengawasi penggunaan material yang diserahkan kepada pekerja rumahan, pabrik-pabrik memobilisasi kembali para pekerja rumahan untuk melakukan aktivitas produksi di pabrik namun tanpa perubahan upah dan status legal mereka. Pola ini digunakan untuk mensiasati kewajiban hubungan industrial agar dapat menekan biaya produksi.

Dampak Sengkarut Pasar Bahan Baku: Mesin Berumur Tua

Mayoritas bahan baku, terutama yang berbahan dasar kapas, diperoleh melalui impor. Fluktuasi harga kapas mendorong beberapa industri beralih ke serat sintetik. Indonesia telah memiliki Industri yang memproduksi serat sintetik. Namun, selain masih bersifat monopolistik, industri ini berorientasi ekspor sehingga prioritas pemasaran adalah luar negeri. Ini sebabnya hampir semua bahan baku untuk kebutuhan industri TPT Indonesia dipenuhi melalui impor.

Meski merupakan negeri agraris dan memiliki cadangan lahan cukup luas, perkebunan kapas tak berkembang di Indonesia. Beberapa perkebunan kapas lokal tak mampu memenuhi kebutuhan nasional. Upaya memasukkan bibit kapas transgenik produk perusahaan multi nasional (antara lain Monsanto) pada beberapa tahun lalu telah mengundang protes banyak pihak dengan alasan beragam. Mulai dari aspek kesehatan hingga kekhawatiran akan dominasi perusahaan multinasional tersebut. Meskipun para petani memiliki minat yang tinggi pada bibit transgenik.

Kebanyakan industri menggunakan sumber energi listrik cukup tinggi. Harga listrik rata-rata Indonesia mendekati harga listrik industri rata-rata Asia, tapi di atas Thailand dan Vietnam. Beberapa negara, seperti Korea Selatan, Thailand, dan Taiwan menerapkan discount harga untuk industri yang menggunakan listrik sejumlah jam tertentu secara pasti. Cina memberikan dicount untuk penggunaan dari jam 11.00 malam hingga 05.00 pagi. Model Cina ini yang belakangan diadopsi dalam paket kebijakan ekonomi jilid tiga Pemerintah Indonesia.

Selain persoalan yang terkait dengan produksi secara langsung, Industri juga menghadapi kendala birokrasi. Birokrasi yang korup puluhan tahun telah menyebabkan maraknya jual beli quota ekspor tekstil, hambatan perijinan, hingga hingga kendala dwelling time di pelabuhan. Kondisi ini menyebabkan biaya transasksi di industri TPT membengkak dan mulai memakan alat produksi. Harus diakui Pemerintah Jokowi memliliki kemauan keras untuk memangkas biaya transaksi ini..

Sengkarut tata niaga bahan baku industri TPT yang berlangsung lama pada akhirnya menghilangkan insentif pabrik untuk melakukan pembaruan mesin. Kebanyakan industri akhirnya harus bersaing dengan mesin yang sudah berumur tua. Sesungguhnya ini bukan spesifik persoalan yang dihadapi oleh industri tekstil. Industri kebutuhan pokok lain seperti gula juga menghadapi persoalan yang sama.

Tingginya biaya transaksi di sektor tersebut menyebabkan titik keuntungan lebih ditentukan oleh kekuatan mempertahankan relasi tak sehat, terutama dalam mengakses fasilitas dan kemudahan dari pemerintah. Industri kehilangan orientasi jangka panjang dan ketertarikan untuk melakukan inovasi.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian no. 123/M-IND/PER/11/2010 tentang Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri melalui Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri Tekstil dan Produk Tekstil serta Industri Alas Kaki. Penulis belum mendapatkan hasil evaluasi dari pelaksanaan kebijakan tersebut setelah diterbitkan.

Diperlukan Perubahan Mendasar

Mengundang investasi asing langsung dan mempromosikan penanaman modal untuk subsektor indutri TPT padat karya raksasa bukan prestasi baru bagi Indonesia. Rezim ekonomi Orde Baru telah melakuknnya dan harus diakui berhasil. Namun pada akhirnya Pemerintah Orde Baru merasa ada sesuatu yang keliru di akhir periode kekuasaannya.

Melihat perkembangan yang tak terintegrasi dan tumbuhnya industri-industri padat karya raksasa tanpa struktur yang mengakar telah mendorong Suharto untuk mengumpulkan para pebisnis besar. Suharto kemudian menghimbau mereka untuk mengembangkan program anak angkat dan meminta mereka untuk ikut bertanggung jawab menghidupkan industri kecil dan menengah.

Di sektor otomotif, upaya tersebut relatif menunjukkan hasil. Namun di sektor industri padat karya raksasa dapat dibilang gagal. Industri batik yang tumbuh puluhan tahun bahkan terancam gulung tikar akibat kelangkaan pasokan bahan baku. Penyebab kegagalan ini karena sejak awal Industri TPT padat karya tidak dirancang untuk memiliki struktur industri yang terintegrasi dengan lapis menengah dan kecil. Industri berskala besar hadir untuk menyerap tenaga kerja secara cepat tapi skaligus mensubstitusi peran industri kecil dan menengah, bukan menampung produk industri kecil dan menengah.

Pembangunan rantai produksi yang mengakar ini dalam jangka panjang relatif lebih stabil terhadap guncangan. Ada pelajaran menarik dari sejarah industri pesawat terbang Fokker yang didirikan oleh warga Belanda kelahiran Blitar 1939, Anthony Fokker. Ketika industri hilir Fokker bangkrut, industri menengah dan kecil yang menjadi pemasok Fokker tetap berkembang pesat karena mereka akhirnya juga memasok kebutuhan industri pesawat lainnya seperti Airbus, Lockheed Martin yang memproduksi F-16, dan Embraer.

Meski strategi ini bukan sesuatu yang bisa dilaksanakan dalam sekejap, Jepang, Taiwan dan Cina juga cukup serius dan terbukti berhasil membangun keterkaitan industri mereka. Tak jarang industri besar memiliki rantai pasok hingga ke unit-unit ekonomi rakyat di pedesaan. Pemerintah perlu mewaspadai jebakan politik ekonomi menang cepat (quick win) yang menyisakan kerapuhan fundamental ekonomi di kemudian hari.

Pengembangan skema kredit murah bagi industri TPT menengah dan kecil hingga membangun industri serat nabati rakyat menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Menyerahkan kebijakan pada debat kusir pemanfaatan bibit kapas transgenik menjadi terlalu berlebihan sepanjang tidak menyerahkan nasib mereka pada perusahaan multinasional seperti selama ini. Pemerintah perlu mendorong pemanfaatan bibit kapas hasil rekayasa genetik dalam negeri. Membiayai riset ini tak kalah penting dibanding belanja pupuk bersubsidi yang menelan Rp. 30 triliun lebih.

Kebijakan investasi padat karya raksasa penting untuk jangka pendek, tapi harus dibatasi. Bisa dibayangkan apa yang terjadi mana kala industri padat karya raksasa memutuskan untuk memindahkan lokasi produksi mereka. Jika sebelumnya mereka dengan cepat menyerap ratusan ribu tenaga kerja murah, maka dengan cepat pula mereka menciptakan pengangguran massal. Menang cepat pada akhirnya berubah menjadi kekalahan panjang. Kita telah merasakan pedihnya kutukan raksasa padat karya di penghujung era Orde Baru. Apakah Pemerintah sedang mengulanginya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun