Mohon tunggu...
Alamsyah Saragih
Alamsyah Saragih Mohon Tunggu... Ombudsman RI -

@Alamsyahsaragih ... when it is costless to transact, the efficient neo-classical competitive solution obtains—Ronald Coase, 1960.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jokowi dan Kutukan Padat Karya Raksasa

16 Oktober 2015   18:33 Diperbarui: 18 Oktober 2015   20:19 1896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua, kehadiran Industri TPT besar akan mengurangi pasokan bahan baku bagi Industri kecil dan dan menengah. Jika ini dibiarkan, industri kecil dan menengah akan tumbuh melayani segmen pasar lokal di bawah tekanan harga bahan baku. Dalam jangka waktu tertentu akan terjadi apa yang disebut discouple economy.

Di satu segmen industri besar terpaksa mengambil pangsa ekspor agar dapat mengurangi tekanan biaya bahan baku impor. Para pekerja di Industri TPT besar dibayar murah sebagai barisan pelayan kebutuhan kelas menengah negara lain. Di segmen lain, industri kecil dan menengah dipaksa berhadapan dengan produk impor murah yang menyerbu masuk di tengah bahan baku yang semakin menekan. Kasus dominasi produk tekstil Cina di pasar Tanah Abang adalah salah satu contoh nyata.

Ketiga, kehadiran industri TPT besar berorientasi domestik, bukan hanya mengganggu ketersediaan bahan baku, tapi juga akan mengganggu pasar produk industri kecil dan menengah. Pengalaman puluhan tahun lalu telah mengajari kita bahwa industri padat karya juga relatif gampang berpindah (footloose industries) dan sangat berpotensi menciptakan pengangguran massal.

Belakangan industri padat karya raksasa juga menerapkan pola outsourcing. Pola ini mulai menyebabkan munculnya kantung-kantung pekerja rumahan (home based worker) dengan kondisi kesehatan dan keselamatan kerja yang sangat buruk. Kebanyakan dari mereka adalah kaum perempuan. Mereka harus menyediakan peralatan sendiri tanpa kompensasi yang memadai. Sementara BPJS tak dilengkapi instrumen untuk masuk ke ranah pekerja informal seperti ini. Skema yang ada sangat mengandalkan inisiatif pekerja lepas untuk mendaftar langsung.

Tak jarang karena kebutuhan untuk mengawasi penggunaan material yang diserahkan kepada pekerja rumahan, pabrik-pabrik memobilisasi kembali para pekerja rumahan untuk melakukan aktivitas produksi di pabrik namun tanpa perubahan upah dan status legal mereka. Pola ini digunakan untuk mensiasati kewajiban hubungan industrial agar dapat menekan biaya produksi.

Dampak Sengkarut Pasar Bahan Baku: Mesin Berumur Tua

Mayoritas bahan baku, terutama yang berbahan dasar kapas, diperoleh melalui impor. Fluktuasi harga kapas mendorong beberapa industri beralih ke serat sintetik. Indonesia telah memiliki Industri yang memproduksi serat sintetik. Namun, selain masih bersifat monopolistik, industri ini berorientasi ekspor sehingga prioritas pemasaran adalah luar negeri. Ini sebabnya hampir semua bahan baku untuk kebutuhan industri TPT Indonesia dipenuhi melalui impor.

Meski merupakan negeri agraris dan memiliki cadangan lahan cukup luas, perkebunan kapas tak berkembang di Indonesia. Beberapa perkebunan kapas lokal tak mampu memenuhi kebutuhan nasional. Upaya memasukkan bibit kapas transgenik produk perusahaan multi nasional (antara lain Monsanto) pada beberapa tahun lalu telah mengundang protes banyak pihak dengan alasan beragam. Mulai dari aspek kesehatan hingga kekhawatiran akan dominasi perusahaan multinasional tersebut. Meskipun para petani memiliki minat yang tinggi pada bibit transgenik.

Kebanyakan industri menggunakan sumber energi listrik cukup tinggi. Harga listrik rata-rata Indonesia mendekati harga listrik industri rata-rata Asia, tapi di atas Thailand dan Vietnam. Beberapa negara, seperti Korea Selatan, Thailand, dan Taiwan menerapkan discount harga untuk industri yang menggunakan listrik sejumlah jam tertentu secara pasti. Cina memberikan dicount untuk penggunaan dari jam 11.00 malam hingga 05.00 pagi. Model Cina ini yang belakangan diadopsi dalam paket kebijakan ekonomi jilid tiga Pemerintah Indonesia.

Selain persoalan yang terkait dengan produksi secara langsung, Industri juga menghadapi kendala birokrasi. Birokrasi yang korup puluhan tahun telah menyebabkan maraknya jual beli quota ekspor tekstil, hambatan perijinan, hingga hingga kendala dwelling time di pelabuhan. Kondisi ini menyebabkan biaya transasksi di industri TPT membengkak dan mulai memakan alat produksi. Harus diakui Pemerintah Jokowi memliliki kemauan keras untuk memangkas biaya transaksi ini..

Sengkarut tata niaga bahan baku industri TPT yang berlangsung lama pada akhirnya menghilangkan insentif pabrik untuk melakukan pembaruan mesin. Kebanyakan industri akhirnya harus bersaing dengan mesin yang sudah berumur tua. Sesungguhnya ini bukan spesifik persoalan yang dihadapi oleh industri tekstil. Industri kebutuhan pokok lain seperti gula juga menghadapi persoalan yang sama.

Tingginya biaya transaksi di sektor tersebut menyebabkan titik keuntungan lebih ditentukan oleh kekuatan mempertahankan relasi tak sehat, terutama dalam mengakses fasilitas dan kemudahan dari pemerintah. Industri kehilangan orientasi jangka panjang dan ketertarikan untuk melakukan inovasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun