Mohon tunggu...
Alamsyah Saragih
Alamsyah Saragih Mohon Tunggu... Ombudsman RI -

@Alamsyahsaragih ... when it is costless to transact, the efficient neo-classical competitive solution obtains—Ronald Coase, 1960.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Nasib Indonesia di Tangan Politisi Saudagar

4 Oktober 2015   13:25 Diperbarui: 7 Oktober 2015   21:46 1325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah depresiasi rupiah terus berlanjut dan Debt Service Ratio (DSR) tier-2 membengkak hingga mencapai 56,08 persen, para pembuat kebijakan tingkat atas mulai mencermati perkembangan utang swasta. DSR tier-2 menandai kemampuan perekonomian Indonesia untuk memenuhi kewajiban utang luar negerinya dibandingkan ekspor. Ini penting untuk melihat apakah sektor perekonomian eksternal Indonesia sedang menuju default atau masih dalam batas wajar.

Dalam sepuluh tahun terakhir ada 90,1 persen utang luar negeri swasta berbentuk USD dan 27,8 persen berjangka pendek. Kebutuhan untuk pembayaran utang jatuh tempo ini juga salah satu penyebab rupiah tertekan. Utang luar negeri swasta yang diserap oleh sektor industri pengolahan terus menurun dari 41,7 persen di tahun 2012 menjadi hanya 19,8 persen di pertengahan 2015.

Perkembangan paling pesat terjadi di sektor keuangan yang mengambil porsi 30,3 persen di pertengahan 2015. Pada tahun 2012 distribusi utang luar negeri ke sektor keuangan baru mencapai 16,2 persen. Secara teoritik, pinjaman ke lembaga keuangan lebih mudah untuk berpindah dibandingkan pinjaman ke sektor industri manufaktur.

Perkembangan yang tak terlalu menggembirakan tentunya. Dominasi utang luar negeri di sektor keuangan mengindikasikan bahwa secara tak langsung utang luar negeri swasta masuk membiayai berbagai sektor produksi, termasuk yang berorientasi pada pasar dalam negeri. Kondisi ini ikut menyebabkan permintaan terhadap dollar meningkat pada saat pembayaran.

Mengapa Transaksi Dalam Negeri Tersendat?

Krisis transaksi luar negeri ini seperti mengevaluasi kinerja pemerintah selama ini. Paling tidak menjadi bukti pentingnya menyeimbangkan orientasi kebijakan agar dapat lebih meningkatkan volume dan kualitas transaksi dalam negeri. Dalam hal kebutuhan pembiayaan, meningkatkan daya saing lembaga keuangan menjadi salah satu fundamental yang sangat menentukan.

Net Interest Margin (NIM) mencerminkan selisih antara bunga pinjaman dan bunga simpanan di Bank. NIM bank umum di Indonesia sejak 2012 hingga pertengahan tahun 2015 berada di atas 5 persen, kecuali periode di antara Mei 2014-Mei 2015 yang berada di bawah nilai tersebut. Selain Singapura yang mendekati Indonesia, hampir semua negara ASEAN memiliki NIM jauh di bawah Indonesia.

Perekonomian yang memburuk belakangan ini menyebabkan para bankir kembali meningkatkan net interest margin rata-rata di atas 5 persen. Inisiatif ini bertujuan untuk mempertahankan tingkat keuntungan, meskipun berkonsekuensi menekan bunga simpanan (kontan, 25/9/2015).

Return on Equity (ROE), yang mencerminkan tingkat keuntungan, di sektor perbankan Indonesia juga sangat tinggi. Bloomberg merelease return on equity perbankan Indonesia mencapai 19,5 persen. Jauh di atas kawasan Asia Pasifik yang hanya mencapai 15,6 persen.

Tingginya net interest margin dan return on equity di perbankan nasional ini menyebabkan daya tarik tinggi bagi masuknya utang luar negeri swasta ke sektor keuangan. Jika tak hati-hati dan terus menekan bunga simpanan, kebijakan ini bahkan berpotensi mendorong larinya dana besar ke luar negeri.

Di sisi lain kelangkaan pasokan dalam negeri juga menyebabkan utang luar negeri swasta menjadi salah satu sumber pembiayaan kegiatan ekonomi domestik. Meningkatnya utang luar negeri swasta dalam membiayai aktivitas ekonomi yang berfokus pada pasar domestik dapat menekan nilai tukar manakala sumber pembiayaan dalam bentuk rupiah harus digunakan untuk membayar utang luar negeri jatuh tempo dalam bentuk dolar.

Uang Parkir USD 300 Miliar di Singapura?

Dalam sepuluh tahun terakhir dominasi Singapura sebagai negara asal kreditor juga terus membesar. Dari USD 169 miliar utang luar negeri swasta di pertengahan tahun 2015, 35 persen kreditor berasal dari Singapura. Ironisnya, pada minggu terakhir Agustus lalu media memuat tiupan peluit Dirut PT Bank Mandiri, Budi G Sadikin, yang mengatakan bahwa ada kira-kira USD 300 miliar (kurang lebih Rp. 4.000 triliun) uang warga negara Indonesia yang diparkir di Singapura. Separuh di antaranya adalah dana korporasi.

Menteri keuangan merespon isu tersebut dengan melakukan kunjungan ke Singapura untuk melakukan pertukaran informasi, dan menjanjikan akan menerapkan tax amnesty agar dana tersebut ditempatkan kembali oleh pemiliknya ke Indonesia. Belum diketahui sejauh mana perkembangan dari pertemuan Menteri Keuangan dengan pihak Singapura.

Tax Amnesty belum tentu menarik bagi pemilik dana, karena persoalan keamanan, jaminan perlindungan dan aspek legal juga penting bagi mereka. Bagaimanapun lebih menguntungkan jika dana tersebut masuk ke Indonesia dalam bentuk utang luar negeri. Memang mengenaskan membayangkan bahwa untuk menggerakkan perekonomian ternyata negara ini harus memobilisasi dana warga negaranya melalui negara lain.

Selain mengurangi tingkat risiko, perbankan domestik tak dapat terus dibiarkan menikmati tingkat keuntungan (ROE) dengan cara mempertahankan net interest margin (NIM) tinggi sambil mengorbankan tingkat bunga simpanan domestik. Jika situasi ini tak diperbaiki diperkirakan dana akan terus mengalir ke Singapura.

Waspadai Transaksi Tak Berkualitas

Utang luar negeri swasta juga meningkat di sektor pertambangan. Masuknya utang luar negeri ke sektor pertambangan tak jarang menuai kontroversi karena dinilai tak sehat. Banyak korporasi swasta nasional mengambil peran sebagai broker dan memanfaatkan kekuatan politik pemilik.

Sejak Undang-Undang Minerba diberlakukan, Pemerintah menerapkan ketentuan pelepasan saham (divestasi) oleh kontraktor asing ke Pemerintah Indonesia. Lemahnya instrumen hukum pendukung dan kuatnya intervensi politik telah menyebabkan pelaksanaan kebijakan tersebut menghadapi banyak kendala dan inkonsistensi.

Kebanyakan daerah penghasil memilih membentuk BUMD untuk memanfaatkan peluang divestasi tersebut. Alasan dibalik pembentukan BUMD ini adalah untuk memudahkan mencari sumber pendanaan eksternal mengingat anggaran pemerintah daerah penghasil umumnya terbatas.

Di Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Daerah memerlukan dana sebesar USD 866 juta untuk membeli 24 persen saham Newmont Nusa Tenggara dalam tiga tahap. Untuk keperluan tersebut tiga Pemda membentuk BUMD PT Daerah Maju Bersaing (DMB) yang sahamnya dimiliki oleh masing-masing Pemerintah Daerah.

Akibat ketidakmampuan membiayai pembelian saham tersebut, PT DMB bersama PT Multi Capital kemudian mendirikan perusahaan patungan PT Multi Daerah Bersaing (MDB). Ketiga pemerintah daerah secara bersama memiliki 25 persen saham melalui PT DMB. Adapun 75 persen sisanya dimiliki oleh PT Multi Capital, yang 99 persen sahamnya dimiliki oleh Bumi Resource Mining (BRM) milik Bakrie.

Dengan kondisi tersebut berarti Pemerintah Daerah di NTB hanya akan memiliki 6 persen saham NNT melalui ketentuan divestasi, sedangkan Bakri akan menikmati 18 persen saham NNT. Karena Pemerintah Daerah tidak sanggup menyetorkan dana untuk membeli saham 25 persen melalui PT DMB, PT Multi Capital berinisiatif menalangi dengan sistem pengembalian dipotong dari deviden yang diterima.

ICW mensinyalir ada kerugian negara dalam proyek divestasi kepada Pemerintah Daerah. Meski DMB yang dimiliki ketiga Pemerintah Daerah hanya menguasai 6 persen saham Newmont, seharusnya DMB menikmati dividen USD 47,21 juta. Nyatanya DMB hanya menerima USD 7,38 juta. Menurut ICW ini terjadi karena Multi Capital memotong dividen DMB untuk melunasi utang kepada Credit Suisse Singapura. Utang ke korporasi di Singapura ini digunakan untuk memborong 24 persen saham NNT melalui perusahaan patungan PT Multi Daerah Bersaing (Tempo.co, 15/5/2015).

Tindakan tersebut telah mengecewakan menteri Keuangan saat itu (Agus Martowardojo). Pemerintah Pusat memutuskan untuk membeli divestasi sisa, yakni 7 persen saham Newmont senilai USD 246,8 juta melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Anehnya, meski sudah dapat dipastikan tak memiliki cukup dana, Pemda NTB juga menyatakan minat mereka untuk membeli saham melalui divestasi 7 persen saham Newmont tersebut.

Di Jakarta, DPR menolak keinginan Pemerintah tersebut dan mengingatkan divestasi harus dengan persetujuan DPR. Wakil Ketua Komisi XI DPR, Harry Azhar Azis (politisi asal Golkar yang kini menjabat Ketua BPK), mengutarakan sisa saham Newmont tersebut sebaiknya dibeli Pemda NTB, namun diawasi pemerintah pusat agar saham tidak dijual ke pihak lain. Menteri BUMN, Dahlan Iskan, telah pula mempersiapkan konsorsium BUMN untuk pembelian saham tersebut.

Sengketa berlanjut ke Mahkamah Konstitusi. MK menolak permohonan Pemerintah untuk membeli saham divestasi tanpa persetujuan DPR. Empat dari sembilan hakim Konstitusi menyatakan disenting dan berpendapat menerima permohonan Pemerintah. Nasib divestasi 7 persen saham NNT akhirnya terbengkalai. Menteri Perekonomian Hatta Rajasa (Juli, 2013) menyatakan Pemerintah tak akan melakukan aksinya sebelum disetujui oleh DPR.

Transparansi Utang Luar Negeri Swasta

Perekonomian yang semakin terbuka menyebabkan aliran modal yang sulit dibendung untuk keluar masuk ke suatu negara. Pemerintah juga perlu menjaga transparansi pengelolaan utang luar negeri. Untuk saat ini, utang luar negeri Pemerintah dapat dikatakan sudah dapat dipantau oleh publik dengan cukup baik, namun belum untuk utang luar negeri swasta.

Selain sektor keuangan dan pertambangan, porsi utang luar negeri swasta di sektor infrastruktur dan energi juga membesar. Jika tidak hati-hati diperkirakan pembangunan infrastruktur strategis ke depan akan berbiaya dan berisiko tinggi. Mengutamakan ambisi dan mengabaikan hal ini memang akan meningkatkan volume tapi berbahaya karena akan memperburuk kualitas transaksi dalam negeri ke depan.

Kebijakan Menteri Rini untuk menjaminkan tiga Bank BUMN ke Cina perlu dicermati oleh publik. Salah ambil keputusan, sebentar lagi BRI akan berubah nama menjadi BRC, BNI menjadi BNC dan Bank Mandiri menjadi Bank Mandarin. Kita perlu mengkaji kebijakan ini, jika berisiko tinggi kebijakan seorang Menteri seharusnya berpeluang untuk digugat via pengadilan. Jika untuk divestasi Pemerintah harus mendapatkan persetujuan DPR, apakah untuk kebijakan ini berlaku ketentuan serupa? Apakah keputusan ini murni merupakan area korporasi?

Selain menjaga konsistensi pelaksanaan suatu regulasi sesuai dengan tujuannya, Pemerintah perlu mengembangkan sistem informasi utang luar negeri swasta yang lebih transparan dan memudahkan publik untuk memantau. Ini penting agar utang luar negeri swasta yang masuk dapat diarahkan untuk memberikan kontribusi yang positif, bukan mensubstitusi transaksi dalam negeri dan menciptakan tekanan pada neraca pembayaran di kemudian hari. Publik berhak tahu, apakah ekonomi masih on the track atau sedang tak wajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun