Mohon tunggu...
Alamsyah Saragih
Alamsyah Saragih Mohon Tunggu... Ombudsman RI -

@Alamsyahsaragih ... when it is costless to transact, the efficient neo-classical competitive solution obtains—Ronald Coase, 1960.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Nasib Indonesia di Tangan Politisi Saudagar

4 Oktober 2015   13:25 Diperbarui: 7 Oktober 2015   21:46 1325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tindakan tersebut telah mengecewakan menteri Keuangan saat itu (Agus Martowardojo). Pemerintah Pusat memutuskan untuk membeli divestasi sisa, yakni 7 persen saham Newmont senilai USD 246,8 juta melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Anehnya, meski sudah dapat dipastikan tak memiliki cukup dana, Pemda NTB juga menyatakan minat mereka untuk membeli saham melalui divestasi 7 persen saham Newmont tersebut.

Di Jakarta, DPR menolak keinginan Pemerintah tersebut dan mengingatkan divestasi harus dengan persetujuan DPR. Wakil Ketua Komisi XI DPR, Harry Azhar Azis (politisi asal Golkar yang kini menjabat Ketua BPK), mengutarakan sisa saham Newmont tersebut sebaiknya dibeli Pemda NTB, namun diawasi pemerintah pusat agar saham tidak dijual ke pihak lain. Menteri BUMN, Dahlan Iskan, telah pula mempersiapkan konsorsium BUMN untuk pembelian saham tersebut.

Sengketa berlanjut ke Mahkamah Konstitusi. MK menolak permohonan Pemerintah untuk membeli saham divestasi tanpa persetujuan DPR. Empat dari sembilan hakim Konstitusi menyatakan disenting dan berpendapat menerima permohonan Pemerintah. Nasib divestasi 7 persen saham NNT akhirnya terbengkalai. Menteri Perekonomian Hatta Rajasa (Juli, 2013) menyatakan Pemerintah tak akan melakukan aksinya sebelum disetujui oleh DPR.

Transparansi Utang Luar Negeri Swasta

Perekonomian yang semakin terbuka menyebabkan aliran modal yang sulit dibendung untuk keluar masuk ke suatu negara. Pemerintah juga perlu menjaga transparansi pengelolaan utang luar negeri. Untuk saat ini, utang luar negeri Pemerintah dapat dikatakan sudah dapat dipantau oleh publik dengan cukup baik, namun belum untuk utang luar negeri swasta.

Selain sektor keuangan dan pertambangan, porsi utang luar negeri swasta di sektor infrastruktur dan energi juga membesar. Jika tidak hati-hati diperkirakan pembangunan infrastruktur strategis ke depan akan berbiaya dan berisiko tinggi. Mengutamakan ambisi dan mengabaikan hal ini memang akan meningkatkan volume tapi berbahaya karena akan memperburuk kualitas transaksi dalam negeri ke depan.

Kebijakan Menteri Rini untuk menjaminkan tiga Bank BUMN ke Cina perlu dicermati oleh publik. Salah ambil keputusan, sebentar lagi BRI akan berubah nama menjadi BRC, BNI menjadi BNC dan Bank Mandiri menjadi Bank Mandarin. Kita perlu mengkaji kebijakan ini, jika berisiko tinggi kebijakan seorang Menteri seharusnya berpeluang untuk digugat via pengadilan. Jika untuk divestasi Pemerintah harus mendapatkan persetujuan DPR, apakah untuk kebijakan ini berlaku ketentuan serupa? Apakah keputusan ini murni merupakan area korporasi?

Selain menjaga konsistensi pelaksanaan suatu regulasi sesuai dengan tujuannya, Pemerintah perlu mengembangkan sistem informasi utang luar negeri swasta yang lebih transparan dan memudahkan publik untuk memantau. Ini penting agar utang luar negeri swasta yang masuk dapat diarahkan untuk memberikan kontribusi yang positif, bukan mensubstitusi transaksi dalam negeri dan menciptakan tekanan pada neraca pembayaran di kemudian hari. Publik berhak tahu, apakah ekonomi masih on the track atau sedang tak wajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun