Tekanan terhadap rupiah tak juga berhenti, Pemerintah terpaksa menerbitkan paket kebijakan untuk mengatasi krisis. Publik tak merespon antusias, karena mayoritas paket kebijakan tersebut baru akan berdampak dalam jangka panjang. Pada paket kebijakan ekonomi tersebut belum terlihat jelas kebijakan pemerintah untuk meningkatkan volume dan kualitas transaksi dalam negeri, agenda perbaikan institusi, dan agenda penghapusan kebijakan yang menekan kehidupan masyarakat lapis bawah.
Kemampuan mengelola pinjaman luar negeri, investasi asing dan mengatasi krisis nilai tukar sangat ditentukan oleh kapasitas institusional suatu negara. Penelitian mengenai dampak pinjaman luar negeri dan investasi asing ini menunjukkan hasil yang beragam. Sebagian negara menunjukkan dampak positif dan sebagian lagi negatif.Â
Di negara yang menunjukkan dampak positif, utang luar negeri dan investasi asing berhasil menggerakkan pertumbuhan ekonomi karena dapat menutupi kekurangan sumber daya, menambah tabungan dan sumber devisa, transfer teknologi dan mangemen, hingga membuka akses pasar luar negeri (Chenery and Strout, 1966; Papanek, 1973).
Sebagian yang lain menunjukkan dampak negatif karena utang luar negeri dan investasi asing bukan melengkapi, tapi mensubstitusi penuh sumber daya lokal. Transfer kapasitas tak terjadi karena teknologi yang diimpor tidak sesuai. Lebih jauh utang luar negeri melahirkan kesenjangan dan mendorong terjadinya korupsi (Griffin, 1970; Boone, 1996; Easterly, 1999,2003).
Perbedaan ini kemudian menggeser fokus analisis ke prasyarat keberhasilan. Beberapa studi menunjukkan bahwa kapasitas institusi dan struktur ekonomi negara pengutang adalah faktor yang menentukan (Chatterjee and Turnovsky, 2006).
2011: Rupiah Mulai Melemah, Ekspor Memburuk
Meski menjadi isu ekonomi utama saat ini, pelemahan Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat sesungguhnya telah dimulai menjelang akhir 2011. Umumnya orang akan mengatakan bahwa penurunan rupiah dapat memacu kenaikan ekspor. Tak kurang Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa merosotnya rupiah justru menguntungkan bagi eksportir.
Namun argumen tersebut tak berlaku dan tampak sangat amatir untuk saat ini. Pelemahan nilai tukar rupiah justru diiringi oleh penurunan ekspor sejak 2012 dan berlanjut hingga 2015 (lihat Gambar-1). Sejak 2009 Indonesia mengidap paradoks nilai tukar. Penguatan rupiah justru diiringi oleh kenaikan ekspor. Sebaliknya pelemahan rupiah justru diiringi oleh penurunan ekspor. Mengenai paradoks nilai tukar ini akan dibahas di tulisan lain.
Penurunan ekspor yang berlanjut dan peningkatan kewajiban pembayaran utang luar negeri di sisi lain telah menyebabkan Debt Service Ratio (DSR) meningkat hingga mencapai 56,08 persen pada kwartal kedua 2015. Neraca transaksi berjalan yang sebelumnya selalu surplus mulai tertekan sejak 2011 hingga akhirnya bertahan dalam posisi defisit.Â
Sejarah mencatat bahwa menjelang krisis 1998 utang swasta meningkat pesat melampaui utang pemerintah (lihat Gambar-2). Krisis ekonomi yang dipicu oleh ketidakmampuan swasta memenuhi kewajiban utang luar negeri jatuh tempo dan berlanjut hingga rush perbankan. Pengambilalihan tanggung jawab oleh negara menyebabkan utang luar negeri pemerintah membengkak melampaui utang swasta paska 1998.
Tahun 2004 Megawati diganti oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Setahun kemudian utang luar negeri swasta kembali meningkat, namun rasio utang luar negeri terhadap PDB terus menurun hingga mencapai titik terendah 25 persen pada tahun 2011. Ini mengindikasikan laju pertumbuhan ekonomi masih lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan utang luar negeri.
Pada tahun 2012 rasio utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga mulai naik menjadi 27,4 persen. Sebelumnya Debt Service Ratio (DSR) telah lebih dulu merangkak naik. Meski tak stabil, kecenderungan DSR mulai merangkak naik dimulai sejak tahun 2005.
Krisis negara-negara Amerika Latin pada era 80-an ditandai dengan tingginya DSR sedemikian rupa sehingga mereka terpaksa menggunakan utang luar negeri untuk memenuhi kewajiban mereka dalam membayar utang. Kondisi ini kemudian dikenal sebagai Foreign Debt Trap (Perangkap Utang Luar Negeri). Umumnya DSR dipatok 20-40 persen terhadap ekspor, tergantung dasar perhitungannya. Bank Dunia yang lebih konservatif dalam hal ini lebih memilih angka 20 persen.
Bank Indonesia kini menggunakan dua jenis dasar perhitungan DSR. DSR Tier-1 meliputi pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang dan pembayaran bunga atas utang jangka pendek. Metode ini mengacu pada perhitungan DSR World Bank. DSR Tier-2 meliputi pembayaran pokok dan bunga atas utang dalam rangka investasi langsung selain dari anak perusahaan di luar negeri, serta pinjaman dan utang dagang kepada non-afiliasi
DSR Tier-2 meningkat lebih tajam dan rasio hutang terhadap PDB juga mulai meningkat bersamaan. DSR Tier-2 akhirnya menembus batas 40 persen pada tahun 2013. Pada akhir smester pertama 2015, DSR Tier-2 Indonesia telah mencapai angka 56,08 persen (BI, 2015).
Industri ekstraktif yang terkenal berdaya bayar tinggi terhadap pekerjanya, perlahan mulai runtuh dan dihantui pemutusan hubungan kerja massal. Sementara industri yang berbasis impor dan sangat mengandalkan pasar lokal juga ikut menyusul. Begitu pula industri lokal yang dibiayai oleh investasi asing. Mereka mengalami tekanan keuntungan akibat sumber penerimaan yang berbasis rupiah.
Defsit Neraca Transaski Berjalan
Defisit neraca transaksi berjalan pada kwartal pertama tahun ini mengalami penurunan 1,97 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Penurunan ini telah kehilangan makna positif karena penurunan defisit lebih disebabkan oleh berkurangnya impor. Impor turun akibat kenaikan dolar terhadap rupiah yang tidak diiringi oleh pertumbuhan industri substitusi. Akibatnya penurunan defisit transaksi berjalan harus ditebus dengan hilangnya lapangan kerja di Industri berbasis impor.
Secara keseluruhan, meski masih surplus, neraca pembayaran mulai juga ikut tertekan. Salah satu pertanda adalah defisit arus modal pada komponen investasi lain yang mencapai defisit USD 5,3 miliar hingga maret 2015, meski tahun sebelumnya surplus USD 4 miliar. Di tengah kisruh nilai tukar, Indonesia didaulat sebagai lima tujuan investasi yang paling diminati di kawasan Asia. Namun fenomena capital outflow tersebut perlu diwaspadai.
Jika berlanjut, ada baiknya kita mulai berhenti untuk mengulang-ulang alasan bahwa hal tersebut disebabkan oleh kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat yang menaikkan suku bunga. Tak ada pilihan lain, Pemerintah harus fokus untuk meningkatkan volume maupun kualitas transaksi dalam negeri dan memitigasi efek negatif dari hilangnya kesempatan kerja di sektor eksternal.
Berkaca dari pengalaman krisis finansial, salah satu pemicu yang perlu diwaspadai adalah kredit sektor properti.  Selain NPL sektor konstruksi yang meningkat mencapai 4,4 persen pada Desember 2014, rasio kredit konstruksi dan real estate terhadap KPR dan KPA meningkat tajam di tahun 2015. Hingga Juli 2015 telah mencapai 79.9 persen. Hal lain yang perlu dicermati kemudian apakah terjadi peningkatan arus uang dari bank kecil ke bank besar. Peningkatan ini merupakan sinyal awal bahwa krisis nilai tukar mulai merambat ke perbankan.
2015: Tekanan Ekonomi Mulai Meluas
Pelemahan rupiah pada akhirnya mulai menekan impor dan berlanjut ke pertumbuhan ekonomi. Hingga Juli 2015 pertumbuhan ekonomi (YoY) hanya mencapai tingkat 4,7 persen disertai inflasi yang cukup tinggi. Kontributor inflasi terbesar adalah kenaikan harga beras. Akibatnya kemiskinan meningkat 0,26 persen di tengah tingkat kesenjangan yang sebetulnya sudah cukup parah (rasio gini 4,1 pada 2014).
Kondisi diperburuk oleh kelambanan dalam merealisasikan belanja pemerintah. Berbagai alasan diungkapkan, mulai dari kekhawatiran akan ancaman pidana korupsi hingga penyelenggaraan pilkada serentak. Meski tak dapat menjadi faktor pendorong pertumbuhan yang kuat, belanja pemerintah setidaknya diharapkan dapat menahan penurunan laju pertumbuhan ekonomi.
Menggenjot ekspor dalam kondisi dominannya ekspor komoditas tentunya bukanlah hal yang gampang. Kita harus jujur untuk mengakui bahwa, siapapun yang terpilih menjadi Presiden pada pilpres 2014 lalu, persoalan tekanan nilai tukar tak terelakkan. Bagaimanapun situasi yang akan dijalani Calon Presiden terpilih merupakan dampak dari pilihan kebijakan Pemerintah sebelumnya, di samping kondisi perekonomian global yang memang terus memburuk.
Tekanan yang mulai meluas ini dalam batas tertentu akan memaksa Pemerintah mulai menggunakan utang luar negeri sebagai sumber pembayaran kewajiban utang yang jatuh tempo. Jika ini terjadi kita sesungguhnya sudah masuk kategori negara yang terperangkap dalam utang luar negeri.
Perbaiki Institusi dan Singkirkan 'Politisi Saudagar'
Telah banyak pelajaran dari berbagai negara, bahwa yang berhasil mengurangi dampak negatif krisis ekonomi adalah negara yang memiliki kapasitas intitusional baik. Tapi entah mengapa, Pemerintah sepertinya lebih tertarik dengan strategi instan dan target-target kuantitatif yang prestisius. Jika ini diteruskan, dalam waktu tak lama Pemerintah akan terpaksa berutang untuk membayar utang, karena tampaknya kinerja ekspor tak akan membaik dalam tempo singkat.
Untuk jangka pendek, langkah terpenting dalam memperbaiki kualitas institusi adalah: menginventarisasi dan memangkas biaya transasksi, menggeser orientasi kepada peningkatan volume maupun kualitas transaksi dalam negeri, dan menghapus kebijakan yang berpotensi menekan kehidupan masyarakat lapis bawah. Untuk ini, Jokowi dan Jusuf Kalla perlu sejenak menyingkirkan kalkulator dari atas meja kerja, menahan pragmatisme dan naluri bisnis mereka.
Dalam meningkatkan kualitas institusi, satu hal lain yang juga penting adalah jangan mencoba bermain dengan api korupsi. Menilai pemberantasan korupsi sebagai penghambat kemajuan ekonomi, dan sikap permisif terhadap kepentingan privat para pembuatan kebijakan akan menimbukan petaka di kemudian hari.
Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika untuk memenuhi hasrat kontraktor maka skala pengadaan pasokan listrik ditingkatkan menjadi 35.000 MW sementara carrying capacity PLN hanya 15.000 MW. Pemaksaan akan menguntungkan kontraktor namun akan membebani utang korporasi PLN dan menambah buruk kondisi makro ekonomi sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kebijakan seperti ini akan memperburuk kualitas transasksi dalam negeri dan bertentangan dengan semangat mengatasi krisis.
Saudagar memang harus didengar karena mereka memiliki peran penting dalam perekonomian, tapi tak boleh diberi kekuasaan membentuk kebijakan ekonomi. Mereka ditakdirkan untuk memperbesar kekuatan modal, sementara kebijakan ekonomi mengabdi pada kepentingan publik luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H