Krisis negara-negara Amerika Latin pada era 80-an ditandai dengan tingginya DSR sedemikian rupa sehingga mereka terpaksa menggunakan utang luar negeri untuk memenuhi kewajiban mereka dalam membayar utang. Kondisi ini kemudian dikenal sebagai Foreign Debt Trap (Perangkap Utang Luar Negeri). Umumnya DSR dipatok 20-40 persen terhadap ekspor, tergantung dasar perhitungannya. Bank Dunia yang lebih konservatif dalam hal ini lebih memilih angka 20 persen.
Bank Indonesia kini menggunakan dua jenis dasar perhitungan DSR. DSR Tier-1 meliputi pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang dan pembayaran bunga atas utang jangka pendek. Metode ini mengacu pada perhitungan DSR World Bank. DSR Tier-2 meliputi pembayaran pokok dan bunga atas utang dalam rangka investasi langsung selain dari anak perusahaan di luar negeri, serta pinjaman dan utang dagang kepada non-afiliasi
DSR Tier-2 meningkat lebih tajam dan rasio hutang terhadap PDB juga mulai meningkat bersamaan. DSR Tier-2 akhirnya menembus batas 40 persen pada tahun 2013. Pada akhir smester pertama 2015, DSR Tier-2 Indonesia telah mencapai angka 56,08 persen (BI, 2015).
Industri ekstraktif yang terkenal berdaya bayar tinggi terhadap pekerjanya, perlahan mulai runtuh dan dihantui pemutusan hubungan kerja massal. Sementara industri yang berbasis impor dan sangat mengandalkan pasar lokal juga ikut menyusul. Begitu pula industri lokal yang dibiayai oleh investasi asing. Mereka mengalami tekanan keuntungan akibat sumber penerimaan yang berbasis rupiah.
Defsit Neraca Transaski Berjalan
Defisit neraca transaksi berjalan pada kwartal pertama tahun ini mengalami penurunan 1,97 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Penurunan ini telah kehilangan makna positif karena penurunan defisit lebih disebabkan oleh berkurangnya impor. Impor turun akibat kenaikan dolar terhadap rupiah yang tidak diiringi oleh pertumbuhan industri substitusi. Akibatnya penurunan defisit transaksi berjalan harus ditebus dengan hilangnya lapangan kerja di Industri berbasis impor.
Secara keseluruhan, meski masih surplus, neraca pembayaran mulai juga ikut tertekan. Salah satu pertanda adalah defisit arus modal pada komponen investasi lain yang mencapai defisit USD 5,3 miliar hingga maret 2015, meski tahun sebelumnya surplus USD 4 miliar. Di tengah kisruh nilai tukar, Indonesia didaulat sebagai lima tujuan investasi yang paling diminati di kawasan Asia. Namun fenomena capital outflow tersebut perlu diwaspadai.
Jika berlanjut, ada baiknya kita mulai berhenti untuk mengulang-ulang alasan bahwa hal tersebut disebabkan oleh kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat yang menaikkan suku bunga. Tak ada pilihan lain, Pemerintah harus fokus untuk meningkatkan volume maupun kualitas transaksi dalam negeri dan memitigasi efek negatif dari hilangnya kesempatan kerja di sektor eksternal.
Berkaca dari pengalaman krisis finansial, salah satu pemicu yang perlu diwaspadai adalah kredit sektor properti.  Selain NPL sektor konstruksi yang meningkat mencapai 4,4 persen pada Desember 2014, rasio kredit konstruksi dan real estate terhadap KPR dan KPA meningkat tajam di tahun 2015. Hingga Juli 2015 telah mencapai 79.9 persen. Hal lain yang perlu dicermati kemudian apakah terjadi peningkatan arus uang dari bank kecil ke bank besar. Peningkatan ini merupakan sinyal awal bahwa krisis nilai tukar mulai merambat ke perbankan.
2015: Tekanan Ekonomi Mulai Meluas
Pelemahan rupiah pada akhirnya mulai menekan impor dan berlanjut ke pertumbuhan ekonomi. Hingga Juli 2015 pertumbuhan ekonomi (YoY) hanya mencapai tingkat 4,7 persen disertai inflasi yang cukup tinggi. Kontributor inflasi terbesar adalah kenaikan harga beras. Akibatnya kemiskinan meningkat 0,26 persen di tengah tingkat kesenjangan yang sebetulnya sudah cukup parah (rasio gini 4,1 pada 2014).