Mohon tunggu...
Alamsyah Saragih
Alamsyah Saragih Mohon Tunggu... Ombudsman RI -

@Alamsyahsaragih ... when it is costless to transact, the efficient neo-classical competitive solution obtains—Ronald Coase, 1960.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menakar Kecerdasan Institusional

27 Agustus 2015   21:30 Diperbarui: 27 Agustus 2015   21:30 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Republik Indonesia didirikan untuk mencapai salah satu cita-cita, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan ini sering dimaknai secara harfiah sebagai jaminan mendapatkan layanan pendidikan. Tak kurang dari dua puluh persen anggaran negara dialokasikan untuk pelayanan pendidikan. Kita terkadang bangga dengan sejumlah prestasi yang digapai anak negeri di dunia internasional, meski juga kerap tak puas dengan kehidupan bernegara kita. Ketidakpuasan tersebut mengisyaratkan bahwa kita telah merdeka secara formal, tapi tidak secara institusional.

Merujuk pada North (1995), institusi dapat didefinisikan sebagai aturan main dari suatu masyarakat—baik bersifat formal (undang-undang, peraturan, kontrak, dsb.) mupun informal (kebiasaan, adat istiadat, dsb.), atau batasan yang diciptakan oleh manusia untuk menata relasi antar mereka.

Kualitas hidup bernegara menunjukkan tingkat ‘kecerdasan isntitusional’ suatu bangsa. Secara sederhana, kecerdasan institusional adalah kapasitas mental kolektif suatu masyarakat untuk menciptakan suatu aturan main, formal maupun informal, dan menjalankannya sedemikian rupa sehingga terbangun suatu relasi yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup bersama.

Tingkat kecerdasan institusional suatu negara tidak ditentukan oleh jenjang pendidikan formal warga mereka. India dan Banglades, negeri asal Amartya Sen dan Muhammad Yunus yang memenangkan nobel ekonomi, adalah contoh untuk ini. Mereka telah berhasil mencapai posisi puncak intelektual dunia, namun buruknya kesejahteraan masih terus mendera masyarakat lapis bawah kedua negara tersebut.

Sebaliknya, kita tak mengenal pemenang nobel dari Singapura, Hongkong maupun Selandia Baru. Namun sulit untuk ditolak bahwa mereka telah berhasil menyelesaikan masalah kesejahteraan masyarakat lapis bawah, menyediakan air bersih yang cukup, mengatasi kemacetan, menekan risiko kecelakaan di jalan raya, mengurangi pencemaran udara dari asap kendaraan, dan menjaga sungai mereka bersih dari sampah dan limbah.

Secara sosial-ekonomi, kecerdasan institusional ditandai oleh kemampuan mereka memangkas biaya transaksi, melindungi hak milik warga secara proporsional, memerangi kartel dan korupsi, menekan eksternalitas negatif dari industri, meresolusi konflik, membangun kepercayaan, dan mempertahankan sistem kepercayaan dan konsep nilai yang telah terbukti efektif untuk menjaga kualitas hidup bersama.

Bangsa yang memiliki kecerdasan institusional tinggi tidak ditandai oleh berapa bahasa asing yang dikuasai oleh pemimpinnya. Bukan juga berapa banyak ilmuannya yang telah berhasil meraih penghargaan internasional. Kecerdasan institusional ditandai dengan kemampuan membangun kepercayaan dan kegairahan dalam meningkatkan kualitas hidup bersama. 

Nafsu Menghukum Fisik

Satu hal yang patut diwaspadai dan masuk dalam kategori kecerdasan institusional yang rendah adalah nafsu menghukum fisik yang begitu tinggi. Rezim hukum fisik cenderung menerbitkan regulasi yang justru menciptakan disintegrasi sosial. Nafsu memberikan hukuman fisik yang begitu tinggi tak selalu menghasilkan rasa hormat, bahkan seringkali menghasilkan luka dan ketidakpercayaan.

Upaya mengatasi propaganda negatif yang tak memenuhi etika jurnalistik seharusnya diselesaikan dengan regulasi yang telah ada, bukan menghidupkan kembali aturan represif multi tafsir. Melontarkan ke publik untuk menghukum penimbun sapi dengan Undang-Undang Terorisme akan mengesankan kesemana-menaan, dan membangun persepsi luas bahwa kriminalisasi itu nyata adanya.

Kemampuan meningkatkan hukuman fisik bukanlah prestasi yang membanggakan. Perbandingan berdasarkan aliran politik ekonomi yang dianut menunjukkan perbedaan rasio jumlah narapidana untuk tiap 100.000 penduduk (Walmsley, 2005). Negara-negara beraliran sosial demokrasi 71-75 orang, faham korporatis 91-123 orang, sementara penganut neoliberal 117-714 orang. Di Jepang, yang menganut faham korporatis namun tetap mempertahankan sistem komunal mereka, hanya mencapai 58 orang.

Di Indonesia, terpidana korupsi masih bisa memenangkan pemilihan kepala daerah dari balik jeruji penjara. Sulit bagi kita untuk menyatakan bahwa hukuman fisik efektif untuk memperbaiki keadaan. Terlepas dari itu semua, kondisi tersebut adalah cermin kecerdasan institusional kita dalam bernegara. 

Dialog, Bukan Membungkam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun