Kisruh daging sapi potong menimbulkan beberapa tanda tanya. Mengapa para pedagang melakukan aksi mogok jual ketika harga daging meroket sementara harga sapi potong di peternak lokal tak ikut terkatrol? Apakah aksi ini didorong oleh rasa kecewa pedagang karena pasokan yang langka? Presiden Jokowi kemudian menyampaikan bahwa ada yang menahan stok daging sehingga harga melambung tinggi.
Selisih dua hari Kabareskrim menyatakan telah ditemukan sapi siap potong berjumlah 22.000 ekor di PT BHS (Beritasatu, Rabu 21:40). Sementara sumber lain di Mabes Polri menyatakan ditemukan sekitar 3.164 ekor sapi di PT BHS dan 500 di antaranya sudah memenuhi syarat untuk dipotong tapi hingga kini tidak dipotong (CNN, Rabu 23:00). Tak begitu jelas mengapa terjadi perbedaan jumlah yang fantastis.
Namun ada pernyataan yang relatif sama, yakni mengenai adanya 500 ekor sapi yang siap potong dan seharusnya dilepas ke pasar pada saat hari raya. Sepertinya ada keinginan untuk menyampaikan pesan bahwa Presiden benar dan Pemerintah sigap menindak mafia daging, sambil menunggu dampak penurunan harga melalui operasi pasar Bulog.
Tanam Paksa vs Jual Paksa
Pada masa pemerintahan kolonial rakyat menderita akibat diterapkannya politik tanam paksa untuk kepentingan ekonomi Penjajah. Pada zaman Orde Baru politik tanam paksa ini secara halus diubah agar tampak lebih ramah pasar dan bersifat voluntary. Meski upaya paksa tak tampak di permukaan, ambisi swasembada pangan rezim Orde Baru menyebabkan para petani dimobilisasi untuk menanam beras (green revolution).
Beras murah penting untuk mendukung pembangunan sektor industri padat karya berorientasi ekspor yang mengandalkan tenaga kerja murah. Untuk menjaga harga beras terjangkau, pupuk disubsidi dan Bulog dibentuk untuk menjalankan fungsi stabilisasi harga. Secara tak langsung jutaan petani telah beralih profesi menjadi pekerja lepas sektor publik.
Penderitaan panjang petani tak berhenti juga. Paska jatuhnya Suharto, atas desakan IMF ekonomi pangan diserahkan kepada mekanisme pasar. Alih-alih menyelesaikan masalah, gonjang-ganjing harga pangan menjadi semakin tak menentu. Pemerintah mulai memilih untuk memberikan peran besar kembali kepada Bulog. Namun peran Bulog dinilai masih dinilai tak terlalu efektif karena kuatnya kartel impor pangan yang kerap mengganggu pasar lokal.
Sebagai pengusung kedaulatan pangan, Jokowi mengambil kebijakan untuk membatasi impor. Para importir pangan masih diberi ruang bermain meski sangat dibatasi. Impor tetap diserahkan kepada pelaku swasta dengan biaya sendiri. Tak ada dukungan anggaran, kecuali jika impor dilakukan oleh pemerintah melalui Bulog atau kontraktor.
Untuk menjaga mekanisme pasar berjalan dengan adil, pemerintah memastikan agar prinsip persaingan usaha yang sehat diterapkan. Bahaya penimbunan komoditi impor yang menyangkut hajat hidup orang banyak diantisipasi melalui Undang-Undang.
Pengusaha melakukan impor atas inisiatif sendiri, meski quota pemerintah yang menetapkan. Tak ada alasan yang cukup kuat dari pemerintah untuk menuntut mereka melepas komoditi dengan alasan menghindari penimbunan sepanjang tidak masuk dalam kategori yang ditetapkan Undang-Undang: terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan hambatan lalu lintas Perdagangan Barang. Jika kondisi tersebut terpenuhi, maka ‘politik jual paksa’ mesti dilakukan.
Politik jual paksa lazim dilakukan sepanjang untuk melindungi kepentingan kemanusiaan. Untuk itu negara mengaturnya melalui Undang-Undang Pangan yang mengatur sanksi administratif, dan Undang-Undang Perdagangan yang mengatur sanksi pidana bagi penimbun kebutuhan pokok dan barang penting. Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan mengatur: “Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang."
Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2014 ini menerapkan sanksi pidana pada Pasal 107 yang mengatur: “Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).”
Pernyataan Polri bahwa ditemukan 500 ekor sapi siap potong yang harus dijual pada saat lebaran mengisyaratkan adanya tindak pidana penimbunan. Tak mudah untuk menyatakan demikian, karena apakah masuk akal jika 500 ekor sapi tertahan maka kondisi kelangkaan daging dan gejolak harga menjadi sangat buruk? Atau sebaliknya, apakah jika 500 ekor tersebut dilepas harga akan kembali normal?
Pengimpor juga akan memberikan alasan bahwa, diluar 500 ekor sapi yang dimpor belum masuk kategori layak jual secara ekonomis berdasarkan harga yang berlaku. Lebih jauh, mengapa upaya stabilisasi tak dilakukan oleh Bulog? Mengapa negara berdiam diri sementara pelaku usaha dipaksa bertanggung jawab?
Siapa Yang Kompeten Memutus?
Tanpa kriteria yang terukur Pemerintah berisiko digugat balik dan aparat penegak hukum dinyatakan telah menyalahgunakan wewenang. Pada akhirnya semangat menggebu Polri akan dipersepsi sebagai upaya mencari-mencari kesalahan alias kriminalisasi pelaku usaha. Tindakan proporsional adalah menyerahkan penilaian hal tersebut kepada Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU adalah institusi pertama yang paling kompeten untuk memberi penilaian telah terjadi praktik usaha yang tidak fair, bukan penyidik.
Kepolisian akan lebih elegan jika berkonsentrasi untuk memperdalam dan memperluas penyelidikan terlebih dahulu. Perlu kehati-hatian dalam melempar pernyataan agar tak berkembang menjadi opini prematur di media. Pernyatan prematur yang meluas biasanya akan berakibat fatal jika dikemudian waktu harus dibela dengan mencari pembenaran.
Menerapkan sanksi pidana pada UU Perdagangan memerlukan kecermatan khusus dan tak bisa dengan tafsir harfiah semata. Terutama ketika terkait kadar destruksi terhadap kepentingan publik (hajat hidup orang banyak). Jika tidak, politik ekonomi kedaulatan pangan akan berubah wujud menjadi politik ekonomi jual paksa yang tak kalah kejam dengan politik tanam paksa ala pemerintah kolonial maupun orde baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H