Mohon tunggu...
Alamsyah M. Djafar
Alamsyah M. Djafar Mohon Tunggu... -

Menulislah hingga masa dimana kita tak bisa lagi menulis. http://alamsyahdjafar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Haji Mansur

24 Juli 2013   17:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:06 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertemuan malam itu berakhir tanpa kepastian. Dan Rahim akan menunggu kabar dari Haji Mansur. Sebelum pamit pulang, Rahim masih sempat melihat empat buah foto Haji Mansur bersama orang-orang yang berbeda. Satu foto Haji Rahim berpose berdua dengan lelaki yang Rahim taksir berusia 50-tahun. Lelaki itu berdasi kotak-kotak dengan baju putih bersih. Sebuah foto lain, Haji Mansur bergaya dengan seseorang dengan seorang pria gendut dengan seragam pemerintah.

“Jika sudah dibantu Haji Mansur, Rahim berpikir masalah tanah sedikit beres,” begitu pikirnya.

Lelaki berida itu dikenal makelar tanah yang piawai. Jejaringnya luas. Dari bos-bos asal Jakarta, pejabat kelurahan, hingga Kabupaten. Rahim juga tahu, tanah-tanah warga di sejumlah pulau di bagian selatan berpindah tangan atas jasanya. Tahun 80-an Haji Mansur memakelari pembelian sebagian besar tanah warga di pulau tetangga. Tanah itu kini berpindah tangan jadi milik perusahaan asal Jakarta. Penduduk yang tanah-tanahnya dijual pindah ke pulau ini. Begitu juga pulau di ujung barat pulau Jawa.

Dengan harga Rp 300 ribu per meter, total biaya yang perlu disiapkan Rahim Rp 18 juta. Yang Rahim punya baru Rp 12 juta. Jadi masih kurang 6 juta. Tapi agar tanah tak diserobot orang lain, seminggu lagi Rahim akan mendatangi Haji mansur untuk memberi separuh panjer.

Mendengar kabar baik itu, Rufiah ikut gembira. Bayangan pindah tiba-tiba dari kontrakan mulai berkurang. Rufiah membayangkan, rumah itu tak perlu bagus-bagus. Tembok tak diplester juga tak apa. Yang penting bisa ditinggali. Soal plester bisa menyusul pelan-pelan.

“Bapak, katanya kita akan punya rumah baru?,” tanya Rosmiah kepada Rahim. Mata anak pertamanya itu berbinar-binar dan seperti orang yang sedang menungu berita baik.

“Ya Nak. Lebaran nanti kita sudah akan beli tanah. Setelah itu kita bangun rumah sebisanya”.

***

Lebaran yang ditunggu sudah lewat hampir setahun. Tapi perkara surat-surat tanah itu tak pernah sampai ke tangan Rahim. Sudah berkali-kali Rahim mendatangi rumah Haji Mansur dan berkali-kali pula dijawab bersabar.

“Supaya rapi dan tak ada masalah, administrasi tanah harus diselesaikan. Ini butuh waktu dan bolak-balik. Menghubungi pemilik yang di Jakarta, urus ke PPAT, BPN, saksi-saksi dan lain-lain,” terang Haji Mansur.

Dijelaskan begitu Rahim manut. Dalam benaknya mungkin memang begitu seharusnya mengurus tanah. Dari penjelasannya, ia percaya Haji Mansur paham seluk beluknya. Kalau ia yang urus past repot. Kepanjangan PPAT dan BPN saja iya tak tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun