Tapi kadang-kadang sempat terlintas pertanyaan di pikirannya apa mengurus surat-surat mesti selama itu. Tak enak hati bertanya ke Haji Mansur, ia bertanya pada Abdullah yang pernah membeli tanah dari Haji Mansur.
“Waktu itu surat-surat tanah saya malah baru selesai setahun setengah,” kata Abdullah. Mendengar itu Rahim sedikit lega.
Karena surat-surat belum diterima, ia juga tak berani membangun rumah. Padahal uang untuk tanah sudah lunas diberi ke Haji Mansur. Harapannya surat itu bisa lebih cepat diperoleh. Apalagi Haji Mansurmendesak agar Rahim cepat melunasinya.
Rahim juga mulai tak enak hati dengan pemilik kontrakannya. Meski memberi kelonggaran, pemilik kontrakan sudah pernah jatuh kata agar Rahim dan keluarga mulai memikirkan tempat lain. Ada rencana kontrakan yang ditinggalinya akan diubah jadi penginapan wisata.
Satu setengah tahun juga sudah lewat. Dan sejak itu Rahim mulai tak sabaran. Pernah ia meminta Haji Mansur mengembalikan uangnya.
“Kalau begini caranya, saya minta uang saya dikembalikan Wak Haji!”
“Tidak bisa begitu. Saya juga sudah keluar sana-sini untuk urus administrasi. Zaman sekarang mana ada yang tidak pakai pelicin. Sabarlah sebentar Sebulan lagi, selesai”.
“Saya ini kurang sabar apa? Sudah setahun setengah saya tunggu! Mana hasilnya?” suara Rahim terus meninggu. Napasnya saling memburu.
“Iya saya mengerti. Tapi percaya, sebulan ini selesai. Kamu tahu, berapa banyak yang sudah urus tanah ke saya. Semua beres kan?”
Sebulan yang ditunggu juga sudah lewat, tapi kabar dari Haji Mansur mengenai surat itu tak juga tiba. Yang datang justru kabar mengagetkan. Selepas subuh dari corong speaker masjid, nama Haji Mansur disebut-sebut. Makelar tanah itu meninggal di Jakarta. Rahim panas-dingin. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H