Cerpen Alamsyah M. Dja'far
“Sudah dengar mimpi aneh Ustaz Nasrullah?”
“Mimpi? Belum. Mimpi apa?”
“Ustad Nasrullah pernah bermimpi melihat orang-orang pulau penuh sesak shalat berjemaah di masjid”
“Apa anehnya? Bagus bukan masjid jadi ramai? Itu perintah agama.
“Ya, tapi imam shalat dan para jemaah telanjang bulat!”
Rahim berhenti sejenak. Diliriknya Rufiah sekelebatan. Wajah isterinya itu mengkerut mirip orang kena gendam.
“Apa artinya?” tanya Rufiah penasaran. Rona mukanya seperti ketika bertanya berapa banyak Rahim dapat tangkapan ikan.
“Itu teguran untuk tokoh agama dan orang-orang pulau yang membiarkan kemaksiatan di pulau ini!” Rahim melanjutkan ceritanya sembari melempar pandangan keluar rumah, pada lalu lalang muda-mudi asal Jakarta berbusana minim, kuyup, cekikikan, menenteng jaket penyelamat dan sepatu katak.
“Kemaksiatan?”
“Ya, kemaksiatan. Itu makanya mereka semua shalat tapi telanjang. Sebab merka membiarkan orang-orang yang datang ke sini mengumbar aurat?”
Kumandang azan bergema dari tengah kampung menghentikan obrolan suami-isteri ini. Gemanya merambat ke arah timur dibawa angin.
Di pulau berpenduduk empat ribu jiwa itu, Rahim satu di antara orang yang tak setuju jika tanah kelahirannya jadi tujuan wisata.
“Lama-lama pulau kita bisa seperti Bali. Orang-orang hidup seenaknya. Kumpul kebo jadi biasa! Seperti tak punya agama saja! Lantas bagaimana masa depan anak cucu kita? Orang-orang itu hanya buat pulau kita tempat maksiat. Kita tak tahu apa mereka itu suami isteri atau bukan. Masa kita biarkan?” tanya Rahim kepada Sodikun suatu ketika di serambi masjid selepas Isya.
“Sudah pernah ke Bali?” tanya Sodikun lugu.
“Belum. Tapi saya lihat di teve-teve. Di sana orang-orang Belanda itu bejemor telanjang bulat di pantai. Orang bebas minum minuman keras di bar-bar.” Orang-orang Belanda yang disebut Rahim itu maksudnya orang bule, wisatawan asing. Dari manapun asalnya, seperti orang kampungnya Rahim selalu menyebut orang asing kulit putih Orang Belanda.
“Coba saja lihat perempuan-perempuan yang datang ke sini,” tanyanya diplomatis mulai menumpuk bukti-bukti. “Kebanyakan mengumbar aurat. Pakaiannya ketat, transparan, minim. Paha diumbar kemana-mana. Sering juga saya lihat tali kutangnya. Itu maksiat! Iya kan?”
“Tapi, dengan pulau ini ramai dikunjungi orang hidup sebagian orang pulau ini ada harapan ada perobahan. Kita bisa sewakan motor untuk mereka yang mau snorkeling. Lumayan sehari bisa ngantongin 200 ribu. Kalau mancing belum tentu sebesar itu. Malah kadang-kadang harus nombokin.”
“Ya, tapi uang yang kita dapat itu dari usaha yang nyerempet maksiat. Dengar nasihat Ustad Nasrullah? Uang yang dapat dari yang tak jelas, tak berkah. Masa kita mau kasih makan keluarga dari uang yang tak jelas!”
Sodikun diam. Tubuhnya seperti menancap bumi. Alisnya naik. Tak sepenuhnya ia setuju dengan Rahim, tapi ia belum dapat jawabannya.
“Itu makanya saya tak pernah mau sewakan motor, meskipun hasilnya lumayan. Tidak berkah, tidak berkah!” Tangannya digoyang-goyangkan ke wajah Sodikun seperti lambaian perpisahan orang-orang pulau melepas pergi haji di tahun 50-an. Karena belum juga mendapat jawaban Sodikun pura-pura mengangguk-angguk saja.
Rahim tak bohong. Meski tiap hari libur wisatawan ribuan orang datang, Rahim tak tergiur menyewakan kapal motornya untuk menyelam. Dari obrolan tetangga, Rahim tahu jumlah wisatawan yang datang pada setiap Sabtu Minggu rata-rata 1000 orang. Di hari-hari libur panjang, bisa di atas 3000. Setiap seorang biasanya menghabiskan rata-rata Rp. 300 ribu untuk sewa penginapan, snorkeling, dan makan selama berlibur. Belum termasuk uang yang dikeluarkan untuk membeli cindera mata. Jika dihitung-hitung dalam seminggu di pulau seluas 50 hektar itu berputar sekitar Rp. 300 juta. Ya, Rahim tak tergiur hingga peristiwa malam itu.
“Pak, beras kita sudah habis,” hati-hati Rufiah bicara.
“Kenapa tak dibeli?”
“Tak punya uang?”
“Bilang saja ke Wak Ara. Utang . Kan sudah biasa? Nanti kita bayar dari hasil jualan ikan.”
“Itu masalahnya. Utang kita suah numpuk. Tak enak hati saya berhutang lagi. Wak Ara malah sudah tanya kapan kita akan membayarnya. Kalau Bapak enak hati, silakan utang sendiri. Kalau saya, aduh tak enak hati. Malu….”
“Mmmmm.” Rahim tak menemukan alasan lagi. Angkat handuk putih. “Ya...ya... nanti saya coba bilang ke Wak Ara.”
Belum sempat Rahim berpikir lebih panjang, Rufiah melanjutkan kata-katanya. Perempuan 33 tahun ini tahu saat itu waktu tepat mengutarakan pikirannya.
“Pak, apa tak sebaiknya kita sewakan kapal kita seperti yang lain-lain. Lumayan untuk dapat sehari bisa dapat 200 ribu.”
“Tapi Bu itu sama saja kita setuju dengan maksiat,” suara Rahim seperti kapal motor yang menabrak gelombang angin barat daya.
“Maksiat bagaimana?”
“Ibu kan tahu perempuan-perempuan yang biasanya mau berenang itu pakaiannya minim, tipis, ketat. Itu syahwat kepada yang bukan muhrim. Padahal agama mewajibkan menjaga pandangan mata dari yang berbau syahwat dan maksiat. Kita juga tak tahu mereka muslim atau bukan?”
“Asal kita tidak syahwat kan tidak apa-apa. Tugas kita menafkahi keluarga. Soal dia agamanya apa urusan dia sama Allah. Yang penting niat kita cari nafkah. Itu kewajiban. Masa kita begini terus. Orang-orang juga biasa saja tuh. Ingat Pak, anak-anak juga sudah harus beli buku dan beli seragam.” Kata-kata terakhir Rufiah seperti pukulan exocet, si ikan terbang, Ellyas Pical. Rahim terhuyung-huyung.
“Kamu tak ngerti agama?”
“Saya kan belajar juga di majlis taklim”
“Ya, tapi ustad yang ajari kamu itu kan memang setuju maksiat. Rumahnya saja disewakan untuk penginapan tamu kan?”
“Betul, lalu apa salahnya?”
Sebelum zuhur pada Sabtu dua minggu berikutnya, Rahim sibuk mengunjal sepatu katak, snorkel, dan pelampung ke kapal motornya. Alat-alat selam dangkal itu dibawanya dari rumah Sodikun yang letaknya tak jauh dari pantai tempat Kapal Motor Rahim dilabuhkan. Selepas zuhur, kapal motornya akan membawa puluhan perempuan-perempuan muda menikmati karang-karang di pulau tetangga.
Sepanjang perjalanan menuju pulau, Rahim tak lepas-lepas membaca istighfar. Tiga orang perempuan muda duduk tak jauh dari kemudi yang dikendalikan Rahim. Lainnya mengambil posisi di bagian tengah dan depan kapal motor sepanjang 12 meter itu. Kebanyakan mereka mengenakan pakaian renang yang memberitahu lekuk-lekuk tubuh dan dada mereka yang membusung. Kulit mereka bersih, licin seperti stenlis.
Rahim tak jarang membuang mata ke lautan lepas. “Astagfirullah al-adzim, la haula wala quwwata illa billah,” Rahim melafalkannya sering-sering dalam hati. Tiba-tiba saja ia ingat peristiwa yang membuat hidupnya hampir saja wassallam. Demi mempertahakan pendirian dan harapan dapat membawa banyak hasil tangkapan, lelaki 4o tahun itu melaut di tengah gelombang seukuran tiga meter. Bukan ikan yang diperoleh, bahaya justru mengintip. Saat menunggu kailnya diseret ikan, tiba-tiba saja datang gelombong setinggi lima meter. Kapal motornya ditumus ombak bergelung-gelung. Sebagian air laut pindah ke perut kapal. Beruntung dengan pengalamannya, kapal bisa dihela menuju pulau terdekat. Hasil tangkapan juga tak seperti harapan. Cepro!*
“Kalau tak lagi antar yang snorkeling, Bapak kerja apa?” tanya perempuan muda berambut sebahu penuh selidik.
“Mancing saja”
“Lumayan hasilnya?”
“kadang-kadang lumayan. Tapi lebih sering nombokin”
“Kalau dari sewa kapal ini hasilnya lumayan?”
“Alhamdulillah” Rahim seperti minum air laut. “Astagfirullah al-adzim, la haula wala quwwata illa billah,” kembali ia melafal dalam hati.
Taman Amir Hamzah, 29 Juni 2012
*Cepro: rugi
Sumber: www.nu.or.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H