Mohon tunggu...
Alamsyah M. Djafar
Alamsyah M. Djafar Mohon Tunggu... -

Menulislah hingga masa dimana kita tak bisa lagi menulis. http://alamsyahdjafar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maksiat

10 Juli 2012   09:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:06 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Sudah pernah ke Bali?” tanya Sodikun lugu.

“Belum. Tapi saya lihat di teve-teve. Di sana orang-orang Belanda itu bejemor telanjang bulat di pantai. Orang bebas minum minuman keras di bar-bar.” Orang-orang Belanda yang disebut Rahim itu maksudnya orang bule, wisatawan asing. Dari manapun asalnya, seperti orang kampungnya Rahim selalu menyebut orang asing kulit putih Orang Belanda.

“Coba saja lihat perempuan-perempuan yang datang ke sini,” tanyanya diplomatis mulai menumpuk bukti-bukti. “Kebanyakan mengumbar aurat. Pakaiannya ketat, transparan, minim. Paha diumbar kemana-mana. Sering juga saya lihat tali kutangnya. Itu maksiat! Iya kan?”

“Tapi, dengan pulau ini ramai dikunjungi orang hidup sebagian orang pulau ini ada harapan ada perobahan. Kita bisa sewakan motor untuk mereka yang mau snorkeling. Lumayan sehari bisa ngantongin 200 ribu. Kalau mancing belum tentu sebesar itu. Malah kadang-kadang harus nombokin.”

“Ya, tapi uang yang kita dapat itu dari usaha yang nyerempet maksiat. Dengar nasihat Ustad Nasrullah? Uang yang dapat dari yang tak jelas, tak berkah. Masa kita mau kasih makan keluarga dari uang yang tak jelas!”

Sodikun diam. Tubuhnya seperti menancap bumi. Alisnya naik. Tak sepenuhnya ia setuju dengan Rahim, tapi ia belum dapat jawabannya.

“Itu makanya saya tak pernah mau sewakan motor, meskipun hasilnya lumayan. Tidak berkah, tidak berkah!” Tangannya digoyang-goyangkan ke wajah Sodikun seperti lambaian perpisahan orang-orang pulau melepas pergi haji di tahun 50-an. Karena belum juga mendapat jawaban Sodikun pura-pura mengangguk-angguk saja.

Rahim tak bohong. Meski tiap hari libur wisatawan ribuan orang datang, Rahim tak tergiur menyewakan kapal motornya untuk menyelam. Dari obrolan tetangga, Rahim tahu jumlah wisatawan yang datang pada setiap Sabtu Minggu rata-rata 1000 orang. Di hari-hari libur panjang, bisa di atas 3000. Setiap seorang biasanya menghabiskan rata-rata Rp. 300 ribu untuk sewa penginapan, snorkeling, dan makan selama berlibur. Belum termasuk uang yang dikeluarkan untuk membeli cindera mata. Jika dihitung-hitung dalam seminggu di pulau seluas 50 hektar itu berputar sekitar Rp. 300 juta. Ya, Rahim tak tergiur hingga peristiwa malam itu.

“Pak, beras kita sudah habis,” hati-hati Rufiah bicara.
“Kenapa tak dibeli?”
“Tak punya uang?”
“Bilang saja ke Wak Ara. Utang . Kan sudah biasa? Nanti kita bayar dari hasil jualan ikan.”

“Itu masalahnya. Utang kita suah numpuk. Tak enak hati saya berhutang lagi. Wak Ara malah sudah tanya kapan kita akan membayarnya. Kalau Bapak enak hati, silakan utang sendiri. Kalau saya, aduh tak enak hati. Malu….”

“Mmmmm.” Rahim tak menemukan alasan lagi. Angkat handuk putih. “Ya...ya... nanti saya coba bilang ke Wak Ara.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun