Belum sempat Rahim berpikir lebih panjang, Rufiah melanjutkan kata-katanya. Perempuan 33 tahun ini tahu saat itu waktu tepat mengutarakan pikirannya.
“Pak, apa tak sebaiknya kita sewakan kapal kita seperti yang lain-lain. Lumayan untuk dapat sehari bisa dapat 200 ribu.”
“Tapi Bu itu sama saja kita setuju dengan maksiat,” suara Rahim seperti kapal motor yang menabrak gelombang angin barat daya.
“Maksiat bagaimana?”
“Ibu kan tahu perempuan-perempuan yang biasanya mau berenang itu pakaiannya minim, tipis, ketat. Itu syahwat kepada yang bukan muhrim. Padahal agama mewajibkan menjaga pandangan mata dari yang berbau syahwat dan maksiat. Kita juga tak tahu mereka muslim atau bukan?”
“Asal kita tidak syahwat kan tidak apa-apa. Tugas kita menafkahi keluarga. Soal dia agamanya apa urusan dia sama Allah. Yang penting niat kita cari nafkah. Itu kewajiban. Masa kita begini terus. Orang-orang juga biasa saja tuh. Ingat Pak, anak-anak juga sudah harus beli buku dan beli seragam.” Kata-kata terakhir Rufiah seperti pukulan exocet, si ikan terbang, Ellyas Pical. Rahim terhuyung-huyung.
“Kamu tak ngerti agama?”
“Saya kan belajar juga di majlis taklim”
“Ya, tapi ustad yang ajari kamu itu kan memang setuju maksiat. Rumahnya saja disewakan untuk penginapan tamu kan?”
“Betul, lalu apa salahnya?”
Sebelum zuhur pada Sabtu dua minggu berikutnya, Rahim sibuk mengunjal sepatu katak, snorkel, dan pelampung ke kapal motornya. Alat-alat selam dangkal itu dibawanya dari rumah Sodikun yang letaknya tak jauh dari pantai tempat Kapal Motor Rahim dilabuhkan. Selepas zuhur, kapal motornya akan membawa puluhan perempuan-perempuan muda menikmati karang-karang di pulau tetangga.
Sepanjang perjalanan menuju pulau, Rahim tak lepas-lepas membaca istighfar. Tiga orang perempuan muda duduk tak jauh dari kemudi yang dikendalikan Rahim. Lainnya mengambil posisi di bagian tengah dan depan kapal motor sepanjang 12 meter itu. Kebanyakan mereka mengenakan pakaian renang yang memberitahu lekuk-lekuk tubuh dan dada mereka yang membusung. Kulit mereka bersih, licin seperti stenlis.
Rahim tak jarang membuang mata ke lautan lepas. “Astagfirullah al-adzim, la haula wala quwwata illa billah,” Rahim melafalkannya sering-sering dalam hati. Tiba-tiba saja ia ingat peristiwa yang membuat hidupnya hampir saja wassallam. Demi mempertahakan pendirian dan harapan dapat membawa banyak hasil tangkapan, lelaki 4o tahun itu melaut di tengah gelombang seukuran tiga meter. Bukan ikan yang diperoleh, bahaya justru mengintip. Saat menunggu kailnya diseret ikan, tiba-tiba saja datang gelombong setinggi lima meter. Kapal motornya ditumus ombak bergelung-gelung. Sebagian air laut pindah ke perut kapal. Beruntung dengan pengalamannya, kapal bisa dihela menuju pulau terdekat. Hasil tangkapan juga tak seperti harapan. Cepro!*
“Kalau tak lagi antar yang snorkeling, Bapak kerja apa?” tanya perempuan muda berambut sebahu penuh selidik.