Mohon tunggu...
Febriansyah Ramadhan
Febriansyah Ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis adalah Membebaskan, menembus ruang dan waktu untuk berbagi.

Sedang menempuh Pendidikan Doktor Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya, Malang. Media ini berisikan tulisan ringan, santai dan lepas. Bisa bertegur sapa melalui sosial media (082231241826).

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pasal Jantung dan Jantung Peraturan

7 November 2021   21:49 Diperbarui: 7 November 2021   21:56 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam tulisan singkat dan santai ini, saya membahas satu isu yang tidak terlalu seksi dan kesannya teoritis, yakni pasal jantung. Dalam pendidikan tinggi hukum, sejak saya S1 hingga saat ini, topik ini masih terbilang jarang bahkan tidak ada mewarnai ruang-ruang kelas. Sebagai konsep baru, pasal jantung adalah konsep yang diproduksi oleh Mahkamah Konstitusi melalui beberapa putusannya. MK tidak memberikan definisi yang jelas dan tegas terhadap apa yang dimaksud oleh pasal jantung. Itu adalah salah satu kegalauan saya dan modal saya melakukan penelitian terhadap konsep tersebut. Alhamdulillah penelitian itu rampung, dan sudah terpublikasi. Saya mengartikan pasal jantung, yakni pasal yang menjadi intisari dari suatu undang-undang yang terletak di batang tubuh undang-undang dan ketika pasal itu dimatikan/dibatalkan maka keberlakuan seluruh isi undang-undang juga akan batal. Untuk bisa menemukan dan mematikan pasal jantung itu, maka perlu dilakukan aksi judicial melalui Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga berwenang yang menguji validitas norma undang-undang terhadap UUD 1945. Tanpa melalui proses itu, sulit untuk menemukan mana jantung pasal dalam satu tubuh undang-undang, lantaran proses menemukan pasal jantung itu adalah hasil perkawinan antara teori dan penafsiran dengan kerugian konstitusional yang dialami oleh masyarakat. Melalui perkawinan kedua komponen itu, maka lahirlah pasal jantung dari suatu undang-undang, yang jika dibatalkan, maka berdampak pada seluruh isi undang-undang.

Mengenal Karakter

Untuk menelusuri berbagai putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah membatalkan seluruh isi undang-undang dengan alasan terdapat pasal jantung dari undang-undang itu bermasalah, dan akhirnya MK memutuskan untuk membatalkan seluruh isi undang-undang, saya terbantu dengan kemudahan informasi. Dalam proses penelitian itu, saya berkirim email ke beberapa kolega, diantaranya Mas Chakim (Lutfi Chakim) dan Kode Inisiatif (dahulu dipimpin oleh Alm. Mas Veri Junaidi), untuk bisa mendapatkan/masukan tentang apa saja putusan MK yang pernah membatalkan seluruh isi undang-undang. Dari hasil berkirim email, akhirnya saya mendapat kompilasi yang utuh tentang data putusan MK yang pernah membatalkan seluruh isi undang-undang, yakni:

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi 001-021-022/PUU-I/2003;

  2. Putusan Mahkamah Konstitusi 013/PUU-I/2003;

  3. Putusan Mahkamah Konstitusi 018/PUU-I/2003;

  4. Putusan Mahkamah Konstitusi 006/PUU-IV/2006;

  5. Putusan Mahkamah Konstitusi 13/PUU-VI/2008;

  6. Putusan Mahkamah Konstitusi 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009;

  7. Putusan Mahkamah Konstitusi 6-13-20/PUU-VIII/2010;

  8. Putusan Mahkamah Konstitusi 8/PUU-VIII/2010;

  9. Putusan Mahkamah Konstitusi28/PUU-XI/2013;

 10. Putusan Mahkamah Konstitusi 85/PUU-XI/2013;

 11. Putusan Mahkamah Konstitusi 1-2/PUU-XII/2014.

Kesebalas putusan itu akhirnya saya download dan pelajari satu persatu. Setelah mempelajari semuanya, saya mendapat gambaran dalam alam pikir saya, setidaknya dari 11 putusan itu, MK memiliki 3 pola dimana putusan MK itu membatalkan seluruh isi undang-undang. Dari 3 pola itu kemudian yang membawa saya mengkaji 3 putusan MK, yakni mengenai UU Ketenagalistrikan, UU KKR, UU yang mengatur mengenai Badan Hukum Pendidikan dan UU Sumber daya Air.

Karakter dari pasal jantung yang kemudian saya jumpai dari putusan-putusan itu: Pertama, jika pasal itu memiliki materi muatan 'yang' menghambat tujuan dari undang-undang itu. Pada karakter jenis pertama ini, pertimbangan hakim 'tidak' terlalu mengajukan argumentasi dengan pendekatan konstitusional yang berbasis pada UUD 1945. Hal ini dikarenakan, dalam rumusan tujuan undang-undang itu sudah memiliki keserasian antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang dengan apa yang dikehendaki oleh konstitusi. Semisal, tujuan dari undang-undang itu adalah memberikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu dan percepatan/akselerasi pemenuhan keadilan bagi korban dengan jalur diluar pengadilan. Tujuan ini serasi dengan hak konstitusional yang ada dalam UUD 1945 khususnya mengenai hak mendapat keadilan dan juga kesejahteraan umum yang didalamnya juga terdapat makna itu. Tujuan-tujuan itu tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah materi muatan dalam batang tubuh undang-undang itu yang kemudian menghambat terwujudnya peraturan itu. Batu uji pertama MK dalam memutus adalah, sistem/proses yang dibangun dalam undang-undang itu apakah memberikan percepatan terhadap pemenuhan tujuan atau memperlambat/memperumit tercapainya tujuan. Ternyata dalam dialektika persidangan dan musyawarah internal dinyatakan, jika 'prosesnya begini' maka hal ini menghambat/mempersulit tujuan dari undang-undang yang dibentuk, maka norma yang mengatur proses tersebut dibatalkan dan berimplikasi pada putusan MK membatalkan seluruh materi muatan dalam undang-undang tersebut. Dalam tipe putusan seperti ini, MK juga memberikan mandat konstitusional yang menegaskan bahwa sistem besar yang digunakan dalam undang-undang itu sejatinya bukan sesuatu yang dilarang, melainkan prosesnya yang harus dibenahi oleh para pembentuk undang-undang agar memberikan proses yang cepat/akselerasi terhadap pemenuhan tujuan. Hal ini terlihat dalam putusan yang membatalkan seluruh isi muatan UU KKR.

Kedua, jika pasal itu memiliki materi muatan 'yang' bertentangan dengan tugas, kewenangan, dan fungsi dari lembaga negara yang tercantum tegas terang benderang dalam UUD 1945. Pada karakter kedua ini, pendekatan yang dilakukan MK sangat murni konstitusi. Pertama dilakukan penggalian terhadap latar historis suatu rumusan norma dalam UUD 1945 dan original intent dari norma batu uji UUD 1945. Setelah menemukan, baru kemudian temuan itu dibenturkan kepada rumusan pasal dalam undang-undang yang diuji, khususnya mengenai tugas, kewenangan dan fungsi dari suatu kekuasaan/lembaga negara, maka norma itu akan menjadi pasal jantung dan membatalkan seluruh undang-undang. Semisal, dalam UUD 1945 secara terang benderang bahwa dalam melakukan tugas/objek A, itu dibebankan kepada lembaga/kekuasaan tertentu dan ternyata dalam pasal undang-undang, tugas/objek A itu dibebankan bukan pada A, maka akan menjadi inkonstitusional dan menjadi pasal jantung. Pendekatan yang dilihat dalam hal ini, hukum sebagai kesatuan sistem, dimana terdapat 1 saja sub-sistem yang bermasalah, maka memberikan dampak kepada sistem lainnya. Argumentasi lainnya, adalah pengingkaran terhadap apa yang dimandatkan oleh UUD 1945, dimana terjadi pelimpahan tugas dan tanggungjawab negara kepada badan tertentu dalam pengurusan objek tertentu. Hal ini dapat dijumpai misalnya, dalam putusan MK yang membatalkan UU yang mengatur mengenai badan hukum pendidikan.

Ketiga, jika pasal itu memiliki materi muatan 'yang' bertentangan dengan ideologi yang bersemayam dalam UUD 1945. Jika karakter sebelumnya adalah pendekatan hukum sebagai kesatuan sistem, maka karakter berikutnya adalah sama konstitusi, tetapi lebih bersifat pada hal-hal yang ideologis/paradigmatik. UUD 1945 adalah dokumen hasil perjanjian masyarakat yang disusun dari hasil abstraksi kehendak dan jiwa bangsa, kemudian dijadikan pedoman kehidupan bernegara sehingga pemerintahan (arti luas) wajib tunduk dan patuh pada nilai-nilai yang bersemayam didalamnya. Meski ia hanya rumusan teks tertulis, namun dalam teks tertulis itu merupakan hasil dialektika ideologi oleh para perumusnya. Ideologi dalam rumusan teks UUD 1945 ini kemudian wajib dibaca, dipahami, diterjemahkan oleh para pembentuk undang-undang dan kemudian diterjemahkan ke dalam pasal-pasal tiap undang-undang. Karakter pasal jantung, jika rumusan pasal dalam suatu undang-undang itu terdiri dari konsep/makna yang mengarah pada ideologi tertentu dan ternyata ideologi dalam pasal undang-undang itu mengarah pada ideologi yang 'tidak dimaksud' dari UUD 1945, maka pasal itu dikatakan sebagai pasal jantung dan MK menjadikannya sebagai triger membatalkan seluruh isi undang-undang. Semisal, dalam suatu konsep/pasal dari undang-undang menjelaskan tentang definisi tertentu dan definisi/proses tertentu itu mengarah pada adanya liberalisasi perdagangan/ekonomi yang menjadikan sektor swasta menjadi monopoli dalam sektor tertentu, maka itu bertentangan dengan ideologi pelaksanaan ekonomi dalam UUD 1945 yang menghendaki adanya demokrasi ekonomi, dimana warga negara berhak atas kesejahteraan sebesar-besarnya atas pengelolaan sektor tertentu dan menghindari monopoli, maka pasal undang-undang yang bercorak liberalisasi ekonomi itulah menjadi triger pembatal seluruh isi undang-undang.

Pasal jantung ini sebenarnya dalam lingkup putusan MK memiliki 2 tipe, yakni putusan MK yang membatalkan pasal tertentu dan menjadi triger dibatalkannya seluruh materi muatan isi undang-undang; dan tipe kedua adalah putusan MK yang membatalkan pasal dalam tertentu dan berdampak pada 'peraturan turunan' dari pasal tersebut, yakni selevel peraturan pemerintah/peraturan menteri. Pada tipe yang terakhir itu, jika pasal tersebut batal, maka berlaku mutatis mutandis dimana peraturan turunannya akhirnya 'kehilangan' cantolan/dasar, sehingga menjadikan peraturan itu batal demi hukum. Tindak lanjut dari putusan itu menjadikan pemerintah (eksekutif) harus merevisi peraturan turunannya, dan kemudian disesuaikan dengan putusan MK, tetapi undang-undangnya tetap berlaku, hanya pasal tertentu yang dibatalkan. Sedangkan tipe pasal jantung, pembentuk undang-undang harus merombak total seluruh isi undang-undang tersebut, karena dinyatakan tidak berlaku. Untuk menghindari kekosongan hukum, di beberapa putusan MK yang membatalkan seluruh isi undang-undang, MK menyatakan undang-undang terdahulu dihidupkan kembali dan dinyatakan sebagai hukum positif. Hal ini sebagaimana pengujian terhadap UU Ketenagalistrikan, yang menyatakan UU Ketenagalistrikan terdahulu berlaku kembali. Sisi ini masih menuai kontorvesi di kalangan akademik.

Perlu Pengembangan

Di awal sudah saya katakan, bahwa "Pasal Jantung" ini masih perlu dikembangkan karena dalam diskursus akademik masih cukup belum mendapat perhatian. Masih banyak pertanyaan di pikiran saya yang masih perlu dipertanyakan mengenai pasal jantung ini. Semisal, apakah sebenarnya para pembentuk undang-undang sudah tau mana-mana sebenarnya yang menjadi pasal jantung dari undang-undang yang dibuatnya? Apakah pasal jantung ini baru bisa ditemukan ketika ia sudah 'terkontaminasi' dengan aspek praksis implementasi dari undang-undang tersebut, artinya dalam pengujian terhadap pasal jantung itu terdiri dari 3 aspek yakni implementasi, UUD 1945 dan teori/filosofi hukum? Atau untuk menemukan pasal jantung ini, cukup dilakukan melalui proses yang 'steril' dari penerapan undang-undang? Bagaimana peran BPIP dalam menambah khazanah pemikiran/pemaknaan terhadap ideologi yang bersemayam dibalik teks UUD 1945, mengingat ada lembaga khusus (BPIP) yang bertugas mengawal pembinaan ideologi Pancasila? Bagaimana pengaruh konfigurasi alam berpikir/aliran hakim dalam membaca dan memaknai pasal jantung? Pertanyaan ini muncul lantaran 7 tahun terakhir, MK sudah "Puasa" mengeluarkan putusan yang membatalkan seluruh isi undang-undang.Dan beberapa pertanyaan lainnya yang masih menghantui alam pikir saya yang perlu dikembangkan lagi.

Bagi praktisi/pengacara yang sering beracara di MK pemaknaan terhadap pasal jantung ini juga menjadi bermanfaat. Alih-alih dalam proses pengajuan permohonan, kuasa hukum dapat memfilter dengan cermat, tentang apakah pasal yang diujikan ini adalah pasal jantung/bukan. Jika keyakinan mengatakan iya, maka bisa saja meminta (dalam petitumnya) untuk membatalkan seluruh isi undang-undang tersebut dengan menggunakan berbagai preseden yang sudah ada. Ini juga sebagai triger bagi MK agar bisa menghasilkan landmark deccision. Sebenarnya, ada juga jalur untuk bisa membatalkan seluruh isi undang-undang yakni dengan pengujian formil. Jika pengujian itu dikabulkan oleh MK, maka seluruh isi undang-undang itu dinyatakan batal karena prosedur pembentukannya salah. Sayang, hal itu belum pernah terealisasi satupun di MK, semua pengujia formil dimentahkan oleh MK sehingga itu masih menjadi mimpi.

Dalam perjalanan 7 tahun terakhir, banyak kekhawatiran dan pesimisme akademisi dan masyarakat luas terhadap MK sebagai Mahkamah yang tidak lagi progresif, mulai dari kegagalan melindungi KPK, UU Cipta Kerja dan lain sebagainya. Untuk mengentas pesimisme itu, ada satu cara yang juga perlu dikembangkan dalam proses judicial di MK, yakni tentang pertanggungjawaban pribadi hakim. Dalam praktik saat ini, saya cukup kesulitan untuk melakukan penelusuran tentang pendapat 'pribadi' dari masing-masing hakim karena dalam pertimbangan yang dimunculkan adalah pendapat bersama-sama hakim. Saya hanya dapat melihat pandangan pribadi hakim, jika ia mengajuan dissenting opinion. Disana saya baru bisa melihat, hakim A berpendapat apa. Saya pernah bermimpi dapat melihat pendapat masing-masing pribadi hakim dalam putusannya. Dalam pengujian undang-undang, maka dalam pertimbangannya Hakim A mengatakan apa, hakim B mengatakan apa, dan hakim C mengatakan apa. Banyak manfaat dari hal itu jika dilakukan: pertanggungjawaban akademik dan kebenaran dari tiap-tiap hakim akan terlihat, dari sana juga kita bisa menguji pemikiran hakim. Selebihnya kita juga bisa menguji tentang bagaimana kualitas seleksi terhadap hakim dan menghasilkan hakim yang seperti apa, kita juga bisa melihat tentang corak aliran dari hakim itu, dan khususnya mengenai konsistensi pemikiran dari hakim tersebut dalam beberapa isu. Publik akhirnya bisa menilai, media/pers hukum juga akhirnya bisa menilai, dan khazanah pers/media hukum juga semakin berkualitas karena mudah mengakses pemikiran dari tiap-tiap hakim. Dengan demikian, sentimen negatif publik terhadap MK bisa diuji. Jika sekarang, hakim hanya bersembunyi dalam pertimbangan hukum secara bersama-sama.

 

Bahan Pustaka:

Febriansyah Ramadhan dan Ilham DR. https://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/15434

Brewer-Caras, A. R. (2010). Constitutional Courts as "Positive Legislators" in the United States.

Canon, B. C. (1983)., Defining the Dimensions of Judicial Activism.

Richard H. Fallon, J. (2008). The Core Of An Uneasy Case For Judicial Review

Walter F. Murphy, C. Herman Pritchett, J. K. (2005). Courts, Judges, and Politics: AnIntroduction to The Judicial procces.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun