Sekadar mengingatkan saja. Â Kita kadang lupa pada sesuatu yang pernah kita lalui. Atau bisa juga pura-pura lupa. Calon legislatif, Capres dan Calon Kepala Daerah yang membeli kita dengan sangat murah.
Sejak politik sudah jadi komoditas. Sejumlah bisnis yang berkaitan dengan prosesi politik ala demokrasi prosedural kian tumbuh subur. Dari bisnis makeover foto caleg, bisnis pencitraan calon sampai transaksi jual beli suara dna partai serta bisnis pencitraan (lagi) oleh lembaga survei.
Bukan rahasia lagi. Bagaimana lembaga survei atau tim sukses menawarkan berbagai layanan jasa untuk memenangkan kliennya. Ini bisnis bro !. Sudah seperti mekanisme pasar, komoditasnya jelas, kekuatan supply-demandnya juga jelas.
Sudah jamak dalam pikiran kita. 1 produk (kepala anggota DPRD) bisa dihargai 3-5 Miliar bahkan lebih tergantung supply-demand pasar, Â untuk ditukarkan dengan tiket untuk kontestasi di Pilkada. Mereka (termasuk para komentator) menyebutnya "Mahar Politik".
Kata MAHAR begitu mulia disematkan pada transaksi demikian. Transaksi yang memicu jamaknya praktik kotor para petinggi partai sampai aparat rendahan partai politik. Jadi sudahilah para 'pengamat' menggunakan kata tersebut. Â Jika ditelusuri aliran dana hasil jual-beli 1 kepala (kursi) anggota dewan dapat dilacak distribusinya pada petinggi partai di pusat dan daerah.
Praktik dagang dalam politik sekali lagi sudah jamak diketahui publik. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Pada setiap pemilihan kejadiannya berulang lagi. 1 suara 20rb, 50rb, ratusan ribu sampai jutaan. Di TPS pemilihan ulang bisa sampi 3-5 jutaan per suara.
Hasil riset Muhtadi sudah mengungkap dengan gamblang besaran suara per kepala.
Karena para anggota dewan (Kab/Kota, Provinsi sampai Pusat) bisa dikatakan berperilaku sama, sama-sama membeli suara maka wajar kalau mereka berbuat semaunya. Mereka sudah membeli para pemilih. Maaf barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan lagi.
Hasilnya, mereka akan menjadikan kebijakan sebagai senjata untuk meraup laba yang lebih besar dari modal yang mereka keluarkan. Ataukah menjual kebijakan (regulasi) sekali lagi untuk meraup profit. Mungkin 'mereka' bisa berdalih tidak semua, betul, tetapi sudah jamak.
Lalu apa yang bisa kita lakukan setelah sekian banyak kebijakan ketahuan hanya untuk mengokohkan pilar-pilar bisnis mereka? Apakah dengan begitu lalu kita membenci para pebisnis? Membenci pemodal? Merusak fasilitas umum, yang bisa jadi lahan pengadaan korupsi baru.
Sependek pengetahuan saya tujuan bisnis itu mulia. Menyediakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Â Kapan menjadi tidak baik? Jawabannya bisa beragam. Tapi semua bisa menjadi buruk karena keserakahan. Monopoli adalah ptaktik jahat dalam bisnis bahkan dalam Islam adalah haram, apalagi kalau niatnya untuk menciptakan ketergantungan dan kontrol penuh kebutuhan masyarakat.
Itulah mengapa di negara tertentu sangat peduli pada praktik monopoli. Di AS misalnya setiap pengusaha hanya bisa memiliki usaha maksimal 3 (mohon dikoreksi kalau saya salah 'ingat') di Indonesia tanpa batas. Di Iran lebih tegas lagi, memberikan hukuman mati pada penjahat ekonomi (kasus hukuman mati pada penimbun emas), dan berbagai praktik tegas. China sangat tegas dan keras pada koruptor. Sayangnya kita hanya suka pinjam pada China tetapi tidak meminjam ketegasannya pada para perusak kedaulatan ekonomi.