Mohon tunggu...
A.L.A.Indonesia
A.L.A.Indonesia Mohon Tunggu... Dosen, Peneliti, Petualang, Penonton Sepakbola, Motivator, Pengusaha HERBAL -

"Jika KOMPASIANER tak punya nyali menuliskan kebenaran, ia tak ubahnya manusia tanpa ruh. Ia seperti mayat-mayat hidup. Catat! Jika kita berjuang mungkin kita tidak selalu menang, tapi jika kita tidak berjuang sudah pasti kita kalah. http://blasze.tk/G9TFIJ

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mulutmu Harimaumu: Membaca Kasus Simalakama di KPK, KY Hingga ICW

13 Juli 2015   14:49 Diperbarui: 13 Juli 2015   14:49 1863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Hasto Menunjukkan HP-nya yang disadap KPK (Sumber Tribunnews.com)"][/caption]

KPK sedang mengalami dilemma berat, bagaikan makan buah simalakama. Penyebabnya, pengakuan penyidik senior KPK, Novel Baswedan yang mengungkapkan bahwa KPK memiliki rekaman sadapan “kriminalisasi” KPK yang dilakukan oleh Hasto Kristianto, AM Hendroproyono dan Arteria Dahlan. Dahsyatnya lagi, pengakuan Novel Baswedan dilakukan di hadapan majlis hakim MK.

Aneh bin ajaib, setelah melakukan rapat pimpinan secara marathon, akhirnya seluruh pimpinan KPK yang terdiri dari Taufiqurrahman Ruki, Johan Budi, Adnan Pandu Praja, Zulkarnaen dan Indriyanto Seno Aji membantah keterangan Novel Baswedan yang disampaikan dalam persidangan MK. Melalui surat resmi bernomor B-5245/01/06/2015 yang dikirimkan ke MK, KPK membantah adanya rekaman sadapan terkait “kriminalisasi” KPK.

Surat resmi KPK yang dikirimkan kepada MK bernomor B-5245/01/06/2015 menyebabkan penyidik KPK, Novel Baswedan dapat dijerat dengan pasal kesaksian palsu.

[caption caption="Novel Baswedan Mengungkapkan KPK memiliki rekaman sadapan Hasto (Sumber Metrotvnews.com)"]

[/caption]

Disinilah letak simalakamanya. Jika KPK mengakui ada rekaman sadapan “kriminalisasi” KPK, maka seluruh pimpinan KPK dan seluruh penyidiknya dapat dijerat dengan pasal penyalahgunaan wewenang, UU ITE dan pelanggaran HAM berat. Tapi jika KPK tidak mengakui adanya rekaman sadapan “kriminalisasi” KPK maka hanya Novel Baswedan yang akan dijerat dengan pasal kesaksian palsu. Pilih mana mengorbankan seluruh pimpinan KPK dan penyidiknya atau cukup mengorbankan Novel Baswedan?
Sekarang mari kita tengok faktanya. Majalah Tempo edisi 13-19 Juli 2015 dengan gamblang menjelaskan adanya rekaman sadapan tersebut. Selain itu, dalam jumpa pers terkait tulisan “Rumah Kaca Abraham Samad”, Hasto Kristianto juga mengakui bahwa HP-nya sedang disadap oleh KPK. Dengan fakta-fakta tersebut, jelas bahwa rekaman sadapan tersebut ada. Novel Baswedan yang melakukan penyadapan mengakui adanya rekaman sadapan, dan Hasto Kristianto sebagai korban yang disadap juga mengakui bahwa HP-nya sedang disadap. Klop.

Justru yang harus diungkap oleh Komite Etik KPK, mengapa Novel Baswedan melakukan penyadapan terhadap Hasto Kristianto yang bukan penyelenggara negara dan juga bukan pelaku tindak pidana korupsi. Komite Etik KPK seharusnya bisa mengungkap motif Novel Baswedan melakukan penyadapan terhadap Hasto. Apakah benar, Novel melakukannya atas inisiatifnya pribadi atau atas perintah pimpinan KPK?

[caption caption="Pimpinan KPK membantah ada rekaman sadapan terhadap Hasto (Sumber viva.co.id)"]

[/caption]

Simalakama berikutnya terkait kasus hakim Sarpin Rizaldi vs Komisioner KY. Setelah melalui proses pemeriksaan yang panjang, akhirnya Kabareskrim Budi Waseso mengumumkan tersangka pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh hakim Sarpin Rizaldi. Kedua tersangka yang dilaporkan oleh Sarpin adalah Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki dan Komisioner KY Taufiqurahman Sauri.

Menurut Kabareskrim Budi Waseso, alat bukti yang menjerat Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki dan Komisioner KY Taufiqurahman Sauri adalah berbagai komentarnya yang bertebaran di media massa baik cetak maupun elektronik, keterangan saksi ahli bahasa dan kesaksian ahli pidana.

Menurut Kabareskrim Budi Waseso, alat buktinya sangat kuat karena sudah diakui oleh para tersangka. Meskipun para tersangka melakukan pembelaan diri dengan menolak bahwa komentar negatifnya tersebut ditujukan pada Sarpin secara personal.

Menurut Komisioner KY Taufiqurahman Sauri komentar negativenya yang tersebar di media adalah terkait dengan putusan yang dibuat oleh hakim Sarpin. Jadi bukan menyerang hakim Sarpin secara pribadi. Taufiqurahman Sauri juga menambahkan bahwa dirinya tidak mengenal hakim Sarpin sebelum ada sidang praperadilan Budi Gunawan. Namun demikian, menurut Sarpin perbuatan kedua tersangka tersebut telah mencemarkan nama baiknya dan merusak harkat dan martabatnya secara pribadi maupun dalam profesinya sebagai seorang hakim.

[caption caption="Hakim Sarpin Melaporkan Komisioner KY ke Bareskrim POLRI (Sumber cnnindonesia.com)"]

[/caption]

Sepertinya para Komisioner KY lupa atau pura-pura lupa bahwa mereka adalah hakimnya para hakim. Logikanya sangat sederhana, jika para hakim tidak boleh mengomentarinya putusannya dimuka publik maka menjadi aneh jika KY sudah mengumbar putusannya ke muka publik sebelum sidang kode etik digelar. Sebelum dilaporkan oleh Sarpin, Komisioner KY sering bertingkah seperti malaikat yang suci. Mereka sering menjatuhkan vonis melalui media sebelum pemeriksaan digelar. Kini setelah mereka ditetapkan sebagai tersangka, mereka menolak mundur. Padahal saat BG ditetapkan sebagai tersangka mereka paling getol memaksa agar BG segera mundur dari POLRI. Mulutmu harimaumu...

Kasus simalakama lainnya terkait dengan perseteruan Prof Romli vs AKtivis ICW. Seperti telah diberitakan diberbagai media, selain Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki dan Komisioner KY Taufiqurahman Sauri yang sudah ditetapkan menjadi tersangka atas laporan hakim Sarpin, Bareskrim juga sedang membidik dua aktivis ICW Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo atas laporan Prof Romli. Keduanya sudah 2 kali mangkir dari panggilan Bareskrim. Karenanya, Prof Romli meminta kepada Bareskrim untuk melakukan penjemputan paksa terhadap Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo.

[caption caption="ICW mengancam Prof Romli"]

[/caption]

Anehnya, bukannya mendatangi Bareskrim Polri untuk menyelesaikan kasusnya, Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo justru meminta perlindungan kepada Dewan Pers. Keduanya meminta kepada Dewan Pers agar kasusnya dengan Prof Romli cukup diselesaikan dengan UU PERS bukan tindak pidana pencemaran nama baik.

Entahlah, logika apa yang digunakan oleh Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo dalam menghadapi gugatan Prof Romli. Selain menghadapi Prof Romli, ICW juga sedang dikuliti oleh Indra J Piliang terkait dengan dana asing dan dana APBN yang setiap tahunnya dinikmati oleh ICW. Menurut Indra J Piliang, selama ini ICW dan NGO lainnya berlomba-lomba menempatkan orang-orangnya duduk di BUMN agar pundi-pundi kas organisasinya semakin gemuk.

Mulutmu harimaumu, berani bicara seharusnya berani pula untuk bertanggungjawab.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun