Dan saat kyai mencoba memeriksa keadaan Bu Nyai, ternyata kandungan sudah kosong. Perut yang membuncit itu sudah menyurut kurus. Kyai marah. Beliau murka sehingga dengan menyalak, Kyai membawa pecut warisan kakeknya menuju desa sebelah.Â
Ke rumah Ajo Kawir! Ia memang terkenal di pesantren ini dan sering menjadi buah bibir santri-santri sini. Betapa tidak! menurut Ayla siapa-pun guru tugas di sini, tidak akan pernah mampu untuk menyelesaikan masa baktinya selama satu tahun. Ada-ada saja penyebabnya. Tahun kemaren guru tugas asal malang, terpaksa harus dipulangkan karena gila di pertengahan tahun. Ada yang perutnya buncit.Â
Bahkan ada yang sampai meninggal ditenggelamkan di sungai, seperti yang aku ceritakan di awal. Itu semua tidak lepas dari campur tangan Ajo Kawir.
Bisa dibilang Ajo Kawir adalah pewaris murni pencak silat Bawean. Ah, berbicara tentang pencak silat khas Bawean, membuatku teringat pada Haris Daerah G yang sampai saat ini dipenjara gara-gara duel tanding di pesantren dan berhasil membunuh lawan tandingnya tersebut. Ini menandakan bahwa pencat silat khas Bawean memang tiada tandingannya!
Menurut pengakuan dari santri sini juga, ternyata Ajo Kawir memiliki ajian waringin sungsang dan ajian gelap ngampar, di mana cukup dengan mengeluarkan tenaga dalam saja, musuh sudah pasti terkapar tak berdaya dan isu-isunya ia bisa menguasai rawarontek setelah bertapa di gua gelap selama empat puluh hari.Â
Tapi semua ajian itu tentu tidak ada apa-apanya dibanding pecut warisan dari kakek kyai sini. Mungkin dengan sekali pecut, seluruh ilmu Ajo Kawir menjadi luruh dari badannya.Â
Kemudian yang terjadi setelah Kyai datang membawa pusaka pecut sakti itu, tentunya Ajo Kawir meminta maaf dan langsung malamnya ia melakukan ritul kembang rengsek untuk mengembalikan janin yang telah diambil sekaligus membakar kuntilanak yang lancang mengganggu istri kyai.
***
Aku berdiri di dermaga feri, menatap lurus ke arah kapal feri yang memasang sauh. Yah, aku memutuskan pergi. Barangkali terpaksa pergi. Tiga hari selama aku berada di sana, Ajo Kawir datang ke tempat-ku. Ia mengancam-ku supaya aku lekas mengakhiri istiqamah membaca Dalailul Khairat yang aku dapatkan lewat ijazah dari pengasuh.Â
Ia mengatakan bahwa saat aku membacanya, kuntilanak seantero desa menjadi tersiksa. Aku tentunya tidak mau. Karena tidak mungkin memutus istiqamah yang sudah kujalani selama enam tahun lamanya. Pun, aku yakin Ajo Kawir tidak bisa berbuat banyak padaku karena aku selalu memakai kalung asma' badar yang kudapat dari guru-ku.Â
Disamping juga pembacaan dalail secara istiqamah secara tidak langsung membentuk benteng ghaib yang kokoh.