Kamu bingung saat mendapati dirimu terbang perlahan dari badanmu. Kamu kaget saat melihat kondisimu di ranjang pesakitan. Wajahmu pucat. Kamu terbujur kaku. Seorang petugas balai pengobatan menyelimuti tubuhmu sampai menutupi kepala-mu. Kamu masih bingung. Mungkinkah aku sudah mati? Katamu sambil melayang pergi!
***
Tidak seperti hari-hari biasanya. Pagi ini pondok pesantren Markaz Syariah gempar. Seruan untuk mengikuti shalat jenazah terngiang dan memantul di tembok-tembok asrama. Waktu itu santri hanya sibuk saling tanya saat bertatap muka. Semua saling menukar pertanyaan. Siapa yang meninggal? Seakan kegaduhan itu men-tradisi dengan sendiri.
" Aku tidak tau dengan pasti siapa gerangan. Tapi aku melihat ia dibawa pakai kursi roda dari asrama B." Idris berkata memberi kesaksian. Membuat para santri sibuk berbondong-bondong menuju asrama yang baru saja ia beritahukan.
*** Â
Aku terkesiap saat tahu bahwa dia yang meninggal. Hal itu baru aku ketahui saat sambutan perwakilan dari pengurus pondok, Ustaz Ilham. Menurut pengakuan beliau, dia tidak mengidap penyakit apapun dan tidak ada gejala apapun. Beliau memberi wejangan bahwa hidup ada ditangan tuhan. Tapi mengapa bisa dia yang meninggal? Bukankah dia tahu kapan waktu meninggalnya seseorang?
Aku tidak menyangsikan bahwa di dunia ini tidak ada yang kekal abadi tapi setidaknya ia bisa mengabarkan bahwa sekarang dia akan meninggal. Seperti yang akan dilakukannya saat ia melihat tanda-tanda kematian pada seseorang.
Ia adalah Jimbris. Aku mengenal Jimbris sepanjang ceritaku di pesantren. Bisa dibilang di mana Jimbris mengalami sesuatu ia pasti bercerita padaku. Ia tidak pandai bergaul atau memang enggan untuk membaur. Tidak mudah untuk menjadi temannya. Bahkan untuk sekedar ngobrol saja sulitnya minta ampun. Lagi dengan auranya yang terasa negatif membuat para santri enggan untuk mendekat dengannya. Lain dengan diriku yang memang penasaran orang-orang misterius!
Perihal Jimbris ia merupakan santri baru di Pesantren Markaz Syariah tepatnya satu tahun lalu. Meski baru tapi dia langsung terdampar di kelas 2 Aliyah. Hal itu karena sebelumnya ia sudah pernah menimba ilmu yang sama. Pelajaran yang sama. Sehingga mudah baginya untuk mendapat kelas yang tinggi di pesantren barunya. Meski kemampuan otaknya di atas rata-rata tapi Ia tipe santri yang terbilang cukup aneh!
Aku ingat saat Jimbris pertama kali masuk kelas. Ia enggan bicara saat disuruh memperkanalkan diri oleh wali kelas. Ia bungkam. Bibirnya terkatup rapat-rapat. Tatapannya datar tapi dalam. Tidak ada secuil-pun senyum di bibirnya. Ia ber-aura dingin dan muram. Wajahnya agak pucat meski kulitnya kuning langsat. Kalau diteliti ia lebih mirip seperti mayat!
Jimbris memilih duduk di depan-ku karena memang tempat itu kosong sejak ditinggal boyong. Biasanya kalau ada murid baru kelas menjadi riuh. Ramai oleh tawa. Tapi saat itu tidak ada seorang --pun yang bersuara. Tidak ada yang bertegur sapa. Suasana kelas hari itu terlihat ganjil. Tidak seperti biasanya!