Ketika itu, di sebuah kampung kumuh, tampak Randi merenung semenjak tadi. Entah sudah berapa lama ia terpekur diam di depan rumah yang lebih menyerupai gubuk kecil itu. Nampaknya ia sedang berangan-angan untuk menggapai impian. Impian seorang remaja dalam kesuksesan mengarungi samudra kehidupan.Â
Mungkin sebentar lagi Randi akan bertindak mengenai hasil dari apa yang ia angankan barusan, merantau ke luar kota. Tapi masalahnya randi kasihan dengan ibunya yang tiada seorangpun menemani. Ayahnya sudah meninggal bertahun-tahun lamanya. Sekarang yang tertanam dalam pikirannya hanya dua: ibu atau merantau. lama sekali pikiran itu bergumul dalam tempurung kepalanya.Â
Tapi tetap saja keinginan Randi untuk merantau lebih Randi pilih. Ia tak mau setiap hari harus bekerja memungut sampah. Ia tak mau setiap hari harus makan nasi basi. Ia ingin membahagiakan ibunya dengan tempat tinggal yang layak.Â
Ia ingin ibunya tak lagi dihina karena baju penuh tambalan dengan membelikannya pelbagai busana mahal. Ia ingin merasakan kenikmatan hidup bersama ibunya dengan tanpa memungut sampah di setiap harinya. Namun itu semua tidak akan terjadi kalau dirinya masih saja tetap berada di lingkungan kumuh itu. Dia harus pergi tuk menjemput impian yang terpatri dalam hati. Tapi bagaimana dengan ibunya?
***
Malam itu Randi mendatangi kamar ibunya yang hanya berisi beberapa lembar kardus dan bantal lusuh hasil pungutan dari tempat sampah. Randi mendekat. Tampak wajah kusut agak tua yang tertidur pulas. Mungkin capek karena seharian berjualan permen gulali. Tak tega ia membangunkan, sehingga Randi memutar badan, keluar.Â
Randi berharap ada waktu yang tepat untuk mencurahkan keinginannya pada ibunya. Randi duduk di depan rumahnya, menatap bulan yang bulat tak sempurna. Terekam dalam ingatannya bagaimana ibunya menyuapi makan, padahal dirinya sendiri lapar. Terekam bagaimana Saat itu dirinya mendatangi ibunya dengan rengekan tangisan.Â
Dirinya mengaku diejek teman lantaran tiada mampu membeli baju lebaran. Dirinya mengancam akan meninggalkan ibunya bila masih saja tak ada baju lebaran di tahun depan sehingga ibunya mengemis berbulan-bulan karena ingin membelikannya baju baru agar tak lagi malu.
"Ah, betapa besar perjuangan ibu demi membahagiakanku." Batinnya dalam hati. Lagi-lagi Randi disergap keraguan untuk meninggalkan kampong halamannya.
" Barangkali aku harus meninggalkannya sebentar saja." Gumam Randi dalam hati
***
Di tengah pintu, Sutina masih saja memandangi arah kepergian Randi dengan mata berkaca-kaca. yah, dirinya mengizinkan anak kesayangannya itu  untuk merantau meninggalkannya. dirinya ingin melihat anaknya sukses bahagia. tidak sepertinya yang hanya bisa berjualan permen gulali saja. Sutina tidak memberinya bekal apa-apa, melainkan hanya bekal makanan sederhana.
"Tak perlu bekal yang banyak. cukup dengan tekat sekuat baja." begitulah jawaban Randi saat Sutina tak bisa memberinya harta benda. Sutina tersenyum melihat keteguhan yang mengakar kuat di hati anaknya itu. sebuah senyuman paksa agar Randi bahagia melihatnya. mungkin sebuah utas senyum terakhir sebelum ditinggal anak semata wayangnya. Ah, mungkin saja!
"Mungkin suatu hari, Randi akan sukses dan kembali." Pikirnya dengan penuh harap, sambil mengusap air mata yang tak terbendung oleh ketabahan seorang ibu. Kini, Sutina harus hidup sendiri. Tak akan ada lagi yang menemaninya menembus kehidupan yang sulit tuk dijalani. Tak akan ada lagi pelita kesemangatan di bawah atap gubuk kecil itu. Tak akan ada lagi yang telaten merawatnya saat sakit menjangkiti dirinya. Yang ada hanya rintihan seorang ibu biasa yang ditinggal anaknya pergi.Â
Lantas Sutina merebahkan tubuhnya di atas selembaran kardus butut. Matanya ia edarkan ke langit-langit gubuk yang dipenuhi banyak jerami. Pelan-pelan Sutina memejamkan mata masih dengan tetesan air mata. Â Dalam tidur, ia berharap dirinya akan bahagia, setidaknya di alam mimpi. Ia yakin bahwa dunia khayalan lebih nyaman dari pada kenyataan.Â
Ingin sekali Sutina membiarkan ingatannya hilang, dibawa mimpi yang bertandang. Sutina ingin dirinya dapat mendampingi pengembaraan anaknya walau itu bukan di dunia nyata. Kalau tidak begitu, Sutina berharap matanya tak lagi terbuka, sebelum anaknya datang menjemputnya. Â
***
Sutina duduk untuk meluruskan kaki yang sedari tadi memberontak. Di bawah pohon mangga yang rindang, Jemarinya sibuk menghitung hasil pendapatan penjualan permen gulali seharian ini.
"Ah, sepuluh ribu." Gumamnya dalam hati. Memang maksimal uang yang terkumpul dalam waktu sehari tak akan lebih dari itu. Pelan-pelan Sutina kembali teringat nasib anaknya. Ia berharap anaknya tidak seperti dirinya yang menderita. Tak apalah pilu menghiasi dirinya, asal bukan anaknya.Â
Entah, seperti apa nasib anaknya itu yang telah sekian tahun tak pernah mengabarinya. Tak lupa Sutina selalu mendoakan anaknya itu di setiap selesai shalat fardu. Ia masih saja berharap anaknya itu akan kembali menjemputnya dengan kebahagiaan, tapi entah kapan harapannya itu akan terwujud.
Sutina menghapus keringat yang menjejali kening keriputnya. Terlihat permen gulali yang ia jual masih tinggal separuh banyaknya. Memang apalah berarti permen gulali bagi masyarakat, dibanding permen bungkusan yang dijual di toko, alfamart, indomart dll. Tapi apa salahnya berjuang dengan sulitnya kehidupan. Itu tidak salah, yang salah hanyalah mereka yang memandang sebelah mata produk rakyat bawah sepertinya. Sutina tak mengerti, mengapa masyarakat berlomba-lomba membeli produk luar negeri, sedangkan produk warga pribumi seperti dirinya tidak laku sama sekali.
Setelah dirasa cukup, Sutina kembali berdiri, bersiap menjajakan permen gulali buatannya sendiri. Gulali itu ia naikkan ke atas kepala yang sudah dilapisi kain sebelumnya. Sambil melangkah, Sutina berteriak mengharap pembeli:
" Gulali-gulali." Teriaknya memecah keheningan di bawah teriknya matahari yang menyengat. Suaranya semakin melemah tak sekuat dulu saat masih muda. Sutina berjalan dari gang ke gang, dari kampung ke kampung. Di sela-sela menjual, tak lupa Sutina juga mencari tahu tentang keberadaan anaknya. Entah sudah berapa orang yang sudah ia tanyakan, tapi tetap saja jawabannya 'Tidak tahu'. Namun hal itu  tak pernah Sutina tak pernah menyurutkan semangatnya untuk tahu akan kabar tentang anaknya. Â
Tak puas Sutinapun berkehendak menyusuri panasnya jalanan kota. Berjualan sambil mencari Randi yang tak kunjung pulang. Naas! malapetaka datang menimpanya tatkala hendak menyeberang jalanan kota. Malapetaka yang disebabkan anak kesayangannya. Anak yang mulai lupa akan keberadaan ibunya di dunia, sebab bergelimangnya materi yang diraihnya. Seorang anak yang asyik bercengkerama dengan teman sesama DPR di dalam mobilnya yang mengkilat sehingga menyebabkan tubuh Sutina terpelanting di atas aspal.
" Bruaak!" Tubuh rapuhnya roboh ditabrak mobil mercy hitam. Darah berlumuran dari kepala Sutina bagian belakang.
" Pak, bagaimana ini kita menabrak seseorang." Heboh temannya yang berada tepat di samping Randi. semua orang di dalam mobil memasang muka dengan mimik ketakutan. Sementara  itu Randi malah bengong dengan mata membelalak tak percaya. Dibalik kacamata hitamnya, ia melihat bagaimana ibu yang merawatnya tanpa pamrih tergeletak tak berdaya. Apa mau dikata, saat itu Randi bersama rekan sejawat di bangku DPR, sehingga tak mungkin ia turun dan membopong ibunya masuk ke dalam mobil.Â
Ia takut mereka tahu bahwa pedagang gulali itu ibunya. Ia takut dirinnya akan kehilangan jabatan lantaran karena lahir dari ras bawah. Akhirnya Randi menancapkan gas, masih dengan melirik seseorang yang amat ia sayang di masa lalu. Di balik kacamata hitamnya, pelan-pelan Randi mengucurkan air mata.
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H