"Mungkin suatu hari, Randi akan sukses dan kembali." Pikirnya dengan penuh harap, sambil mengusap air mata yang tak terbendung oleh ketabahan seorang ibu. Kini, Sutina harus hidup sendiri. Tak akan ada lagi yang menemaninya menembus kehidupan yang sulit tuk dijalani. Tak akan ada lagi pelita kesemangatan di bawah atap gubuk kecil itu. Tak akan ada lagi yang telaten merawatnya saat sakit menjangkiti dirinya. Yang ada hanya rintihan seorang ibu biasa yang ditinggal anaknya pergi.Â
Lantas Sutina merebahkan tubuhnya di atas selembaran kardus butut. Matanya ia edarkan ke langit-langit gubuk yang dipenuhi banyak jerami. Pelan-pelan Sutina memejamkan mata masih dengan tetesan air mata. Â Dalam tidur, ia berharap dirinya akan bahagia, setidaknya di alam mimpi. Ia yakin bahwa dunia khayalan lebih nyaman dari pada kenyataan.Â
Ingin sekali Sutina membiarkan ingatannya hilang, dibawa mimpi yang bertandang. Sutina ingin dirinya dapat mendampingi pengembaraan anaknya walau itu bukan di dunia nyata. Kalau tidak begitu, Sutina berharap matanya tak lagi terbuka, sebelum anaknya datang menjemputnya. Â
***
Sutina duduk untuk meluruskan kaki yang sedari tadi memberontak. Di bawah pohon mangga yang rindang, Jemarinya sibuk menghitung hasil pendapatan penjualan permen gulali seharian ini.
"Ah, sepuluh ribu." Gumamnya dalam hati. Memang maksimal uang yang terkumpul dalam waktu sehari tak akan lebih dari itu. Pelan-pelan Sutina kembali teringat nasib anaknya. Ia berharap anaknya tidak seperti dirinya yang menderita. Tak apalah pilu menghiasi dirinya, asal bukan anaknya.Â
Entah, seperti apa nasib anaknya itu yang telah sekian tahun tak pernah mengabarinya. Tak lupa Sutina selalu mendoakan anaknya itu di setiap selesai shalat fardu. Ia masih saja berharap anaknya itu akan kembali menjemputnya dengan kebahagiaan, tapi entah kapan harapannya itu akan terwujud.
Sutina menghapus keringat yang menjejali kening keriputnya. Terlihat permen gulali yang ia jual masih tinggal separuh banyaknya. Memang apalah berarti permen gulali bagi masyarakat, dibanding permen bungkusan yang dijual di toko, alfamart, indomart dll. Tapi apa salahnya berjuang dengan sulitnya kehidupan. Itu tidak salah, yang salah hanyalah mereka yang memandang sebelah mata produk rakyat bawah sepertinya. Sutina tak mengerti, mengapa masyarakat berlomba-lomba membeli produk luar negeri, sedangkan produk warga pribumi seperti dirinya tidak laku sama sekali.
Setelah dirasa cukup, Sutina kembali berdiri, bersiap menjajakan permen gulali buatannya sendiri. Gulali itu ia naikkan ke atas kepala yang sudah dilapisi kain sebelumnya. Sambil melangkah, Sutina berteriak mengharap pembeli:
" Gulali-gulali." Teriaknya memecah keheningan di bawah teriknya matahari yang menyengat. Suaranya semakin melemah tak sekuat dulu saat masih muda. Sutina berjalan dari gang ke gang, dari kampung ke kampung. Di sela-sela menjual, tak lupa Sutina juga mencari tahu tentang keberadaan anaknya. Entah sudah berapa orang yang sudah ia tanyakan, tapi tetap saja jawabannya 'Tidak tahu'. Namun hal itu  tak pernah Sutina tak pernah menyurutkan semangatnya untuk tahu akan kabar tentang anaknya. Â
Tak puas Sutinapun berkehendak menyusuri panasnya jalanan kota. Berjualan sambil mencari Randi yang tak kunjung pulang. Naas! malapetaka datang menimpanya tatkala hendak menyeberang jalanan kota. Malapetaka yang disebabkan anak kesayangannya. Anak yang mulai lupa akan keberadaan ibunya di dunia, sebab bergelimangnya materi yang diraihnya. Seorang anak yang asyik bercengkerama dengan teman sesama DPR di dalam mobilnya yang mengkilat sehingga menyebabkan tubuh Sutina terpelanting di atas aspal.