Mohon tunggu...
Alamsyah
Alamsyah Mohon Tunggu... Jurnalis - Peneliti Ilmu Kehidupan Sehari-Hari

Pemerhati lintas zaman dan gaya hidup. Gemar mengamati diskursus budaya populer (Pop Culture), komunikasi politik, musik, dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Pee Wee Gaskins dan Resistensi Zaman terhadap Kelompok Pembenci APWG

31 Desember 2020   22:44 Diperbarui: 31 Desember 2020   22:51 1587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Para personil Pee Wee Gaskins. (hai.grid.id/Eddy Suhardy/Alvin Bahar)

Beberapa bulan yang lalu, jagat dunia maya sempat heboh oleh suatu pernyataan yang dilontarkan oleh vokalis dari grup musik .Feast, Baskara Putra. Dia mengatakan bahwa lagu andalannya, "Peradaban", lebih keras dari musik metal mana pun. Akibat pernyataan itu, banyak komentar hate speech warganet yang menyerbu akun media sosial band yang lahir di kampus Depok tersebut. Namun hal itu bukanlah satu-satunya yang terjadi dalam industri musik tanah air. Justru lebih parah dengan yang sebelumnya, sekalinya tidak melakukan aksi kontroversial.

Benar saja, kejadian itu pernah dialami oleh kawanan pemusik genre Pop-Punk terkenal di Indonesia, yaitu Pee Wee Gaskins. Pengalaman aksi kebencian oleh pra subjek yang disebutkan (.Feast), baik dalam tekanan maupun cercaan, belum ada apa-apanya atau sebesar yang dihadapi oleh Pee Wee Gaskins. Mereka bahkan sampai mempunyai kelompok penggemar lain untuknya, tetapi sebagai kelompok pembenci.

Sebelum membahas aspek benci-membenci, ada baiknya kita membahas ke belakang bagaimana kisah perjalanan dari band yang sering disebut "PWG" ini. Sejarah Pee Wee Gaskins diawali oleh peleburan dari para musikus rock emosional (Post-Hardcore atau Screamo). Musik yang sering disebut dengan Emo tergolong cukup populer dalam perskenaan musik bawah tanah (Underground) di ibukota. Awal dari band Pee Wee Gaskins ini diinisiasi oleh Alditsa Sadega, atau yang lebih dikenal "Dochi" Sadega.

Dochi ingin membuat band dengan inovasi dan gaya yang baru, sekaligus terinspirasi oleh preferensi musiknya yang berasal dari California, Amerika Serikat, Hellogoodbye. Dari situ Dochi mulai sibuk ngerancang lagu, sampai menyusun infrastruktur musik yang dilakukannya dengan seorang diri. Sembari menyiapkan dan penyusunan, Dochi mengajak Muhammad Fauzan Santoso, atau dikenal dengan nama "Sansan" yang kala itu satu visi dengannya yang sama-sama ingin sesuatu hal yang baru untuk masa depannya dalam dunia musik.

Hingga tiba waktunya, pada 11 April 2007 di Kebayoran Baru, Jakarta, Pee Wee Gaskins terbentuk dengan formasi pertamanya yaitu, Dochi (gitar dan vokal; lalu pindah ke bass), Fauzan "Sansan" (gitar dan vokal), Tlor (bass), Davi (drum), dan Reza "Omo" Satiri (synthesizer). Tak lama juga bergabung yaitu Renaldy "Aldy" Prasetya berposisi sebagai drum (menggantikan Davi yang melanjutkan studi pendidikan) dan Harry "Ayi" Pramahardhika dengan gitarnya (menggantikan Tlor yang mengundurkan diri dari band). Formasi dari para personil ini, terkadang melakukan rotasi atas posisi pemegang alat musik (kecuali drum),  dan yang masih loyal dan bertahan hingga sekarang.

Penamaan "Pee Wee Gaskins" diambil dari julukan seorang pembunuh berantai asal Amerika Serikat, Donald Henry Gaskins. Para personil (khususnya Dochi) sepakat menamai band itu dengan kesan menakutkan yang dikolaborasi melalui kemasan musik menyenangkan untuk para pendengarnya. Band ini mengusung dengan genre musik Pop-punk dengan campuran aransemen gitar rock alternatif beserta karakter vokalitasnya yang kuat. Genre musik punk yang juga tidak menghilangkan kesan Emo -nya.

Genre musik dengan konfigurasi itu tidak terlepas dari eksisnya band-band pendahulu yang mendunia di musik global, seperti; All Time Low, Fall Out Boy, New Found Glory, Paramore, hingga momentum puncaknya digaungkan oleh My Chemical Romance. Band yang disingkat MCR ini mampu membius pasaran musik di dunia, dengan lagu pamungkas nan terkenal, Welcome to the Black Parade (2006). Hegemoninya pun sampai mempengaruhi sirkulasi musik populer (genre pop-punk) Internasional yang beredar, khususnya di Indonesia.

Begitu pula dengan Pee Wee Gaskins, yang popularitasnya kian menanjak di awal karier musiknya. Lewat rilis album mini pertamanya, yaitu Stories From Our High School Years (2008) via label Knurd Records, Pee Wee Gaskins membangun semangat industri musik Indonesia. Tak terkecuali bagi penikmatnya, yang didominasi oleh anak muda pada akhir dekade 2000-an saat itu. Bagai angin yang berhembus dengan kencang, album tersebut mampu terjual sebanyak 2000 kopi untuk periode pertamanya.

Tak cukup sampai disitu, Pee Wee Gaskins juga mendapatkan banyak tawaran manggung, terlebih dalam acara pentas seni (pensi), bahkan beberapa orang menjuluki mereka sebagai "pangeran pensi" karena tingginya intensitas manggungnya dalam acara musik di sekolah-sekolah. Kepopuleran terus berlanjut ketika perilisan album penuhnya, The Sophomore (2009). Dua lagu andalannya yaitu "Welcoming the Sophomore" dan "Dibalik Hari Esok", sensasi musik dari Pee Wee Gaskins ini mampu mendobrak ke stasiun televisi dan tangga nada musik terkenal di Indonesia era awal dua milenium, yaitu MTV Ampuh.

Gaya dan kemasan musiknya yang ear-catching serta ciri khas alunan melodi synthesizer -nya yang melengking, menjadikan Pee Wee Gaskins sebagai perlambang semangat baru bagi para remaja yang berkutat pada skena musik indie. Tak terkecuali juga untuk para penggemarnya yang lumayan masif tersebar di Indonesia, terutama di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Para penggemar dari Pee Wee Gaskins ini biasa disebut dengan "Partydorks", dengan sebutan "Dorkzilla" untuk penggemar laki-laki dan sebutan "Tatiana" untuk penggemar perempuan. Menurut kesaksian dari Dochi sendiri, nama "Dork" diartikan olehnya yang berarti "culun" dengan maksud berbeda karena musiknya yang cenderung tidak keras, tetapi dengan kesan semangat yang berapi-api untuk bersatu dalam sebuah perbedaan.

Identitas mereka tercirikan oleh aksesoris penutup kepala (topi trucker) bertekuk ke atas warna merah yang bertuliskan "Dork", setelan pakaian berwarna terang (kaos oblong distro dan celana denim panjang ketat. Ciri-ciri itu terlihat begitu kental oleh para penggemarnya yang biasa dipakainya ketika Pee Wee Gaskins sedang manggung, maupun dijadikan sebagai kostum untuk aktivitas kumpul-kumpul santai sehari-hari.

Gambar: Topi trucker penggemar Pee Wee Gaskins bertuliskan
Gambar: Topi trucker penggemar Pee Wee Gaskins bertuliskan "Dork". (blogger.com/edwinzunlimited)

Pada puncak ketenarannya, keberadaan Pee Wee Gaskins menimbulkan keresahan bagi penikmat musik lain yang tidak suka, hingga cukup banyak orang yang membenci mereka. Orang-orang yang benci band tersebut kemudian membentuk suatu perkumpulan atau kelompok pembenci yang bernama "Anti Pee Wee Gaskins".

Anti Pee Wee Gaskins (APWG) merupakan perkumpulan dari kelompok pembenci yang hasad (dengki, iri, benci) terhadap Pee Wee Gaskins. Kehadiran mereka ini hampir menandingi para penggemarnya, bahkan cenderung melebihi, atau dikatakan sebagai gerakan garis keras dalam hal membenci. Menurut Jurnalis kontemporer Indonesia, Jafar Sodiq Assegaf, satu dari perlakuan haters paling legendaris di dunia hiburan adalah gerombolan APWG. Tidak tahu pasti kapan gerombolan pembenci itu muncul ke permukaan.

Karakteristik dari APWG sendiri dicirikan sangat bermacam-macam. Mereka tidak terlalu menonjolkan suatu identitas yang jelas dari apa yang diperkenalkannya. Secara garis besar, mereka ini berasal dari serikat komunitas Punk, seperti komunitas street Punk, Punk Rock, penggemar dari genre musik Reggae dan band kompetitor sesama Pop Punk, sampai disebutkan bahwa para pembenci juga berasal dari penggemar band anggota Pee Wee Gaskins yang sebelumya, yaitu The Side Project (Dochi) dan Killing Me Inside (Sansan). Tidak sedikit pula mereka ikut bergabung sebagai pembenci karena ikut-ikutan saja, alias poser.

Serupa dengan kemunculannya, sebabnya masih simpang siur, mengapa APWG sangat membenci Pee Wee Gaskins. Akan tetapi, desas-desus informasi datang dari berbagai arah yang beredar dalam bentuk pengakuan atau pernyataan oleh para informan, postingan media sosial, dan situs dunia maya tentang ketidaksukaan terhadap Pee Wee Gaskins. Alasannya pun beragam.

Secara musikalitas, mereka menganggap Pee Wee Gaskins menampilkan musik punk tanpa memaknai punk itu sendiri (berkesan sebagai musik cengeng). Singkatnya, ada suatu anggapan bahwa Pee Wee Gaskins hanya memanfaatkan punk sebagai ajang pencitraan belaka yang semata untuk keren-kerenan saja kepada orang-orang. Alasan itu juga didukung oleh suatu tuduhan bahwa Pee Wee Gaskins telah melakukan plagiarisme dari band lain.

Beberapa sumber juga menyebutkan alasan atas kebencian dalam aspek sosial bahwa APWG merupakan suatu bentuk kecemburuan atas popularitas Pee Wee Gaskins dalam jagad musik Indonesia, beserta animo dari para fanatiknya. Kecemburan itu juga didukung oleh wacana dalam sebuah arogansi dari Pee Wee Gaskins, hingga masalah tentang dendam pribadi. Berbeda daripada lainnya, pengakuan tersendiri oleh personil Pee Wee Gaskins, Dochi, yang menganggap bahwa banyaknya para pembenci bandnya itu berasal dari penggemar Pee Wee Gaskins yang berbalik respons menjadi benci.

Bagi sang pentolan Pee Wee Gaskins, hal itu tidak terlepas dari bandnya yang memasuki label musik yang lebih besar daripada sebelumnya. Para pembenci ini khawatir akan kehilangan semangat dan idealismenya, apabila Pee Wee Gaskins masuk ke industri musik yang lebih luas jangkuannya. Pandangan itu juga ditambahkan oleh alasan atas bentuk kekecewaan dari para penggemar mantan band dari dua personil Pee Wee Gaskins (Dochi dan Sansan) yang dianggap telah melakukan suatu pengkhianatan.

Akibat dari kehadiran para APWG ini, celakanya Pee Wee Gaskins sering mengalami insiden yang tidak menyenangkan dalam beberapa konser maupun aktivitas musiknya. Pada penampilan secara langsung, ada serangkaian pengalaman yang dimana mereka dilempari benda keras yang melayang, misalnya batu, sepatu, sendal, botol, hingga disoraki dengan kata-kata kasar yang tidak sepantasnya ke arah panggung.

Seperti dalam acara konser musik yang diadakan setiap tahunnya di Pekan Raya Jakarta (Jakarta Fair), tepatnya pada 16 Juni 2011. Kala itu, disaat Pee Wee Gaskins bergiliran untuk pertunjukan musik, para penonton yang didominasi oleh penggemar Superman Is Dead (bersamaan yang sudah tampil sebelum Pee Wee Gaskins), bersiap-siap untuk menyoraki hingga akan melempari benda tumpul dari berbagai arah ke atas panggung. Beruntung aksi rusuh itu mampu diredam oleh drummer dari band yang sering disebut "SID" ini, I Gede Ari Astina (Jerinx) yang melerai pertikaian para penonton, dan penampilan dilanjutkan sampai selesai.

Bukan hanya di pentas musik semata, nahasnya secara tidak langsung mereka juga terkena hantaman ujaran kebencian para APWG yang diwakili oleh penyerangan personal maupun serentak dalam arena layanan jejaring sosial, khususnya di situs Facebook yang ramai pada masa itu. Sekumpulan APWG ini sampai membuat forum atau grup diskusi yang cukup aktif mengeluarkan cemoohan dan bahan tertawaan yang ditujukan untuk Pee Wee Gaskins.

Tak cukup dihujani oleh tindakan yang mengancam keselamatan jiwa dan lontaran ejekan yang seakan tiada habis-habisnya bagi Pee Wee Gaskins untuk menjadi bulan-bulanan APWG. Selain dari hal-hal yang sudah disebutkan, beberapa personilnya pernah digosipkan telah menjalin hubungan atau orientasi seksual sesama jenis (homoseksual). Gosipnya tersebar luas di beberapa situs media sosial, bersama dengan foto-foto vulgar yang ditampilkan.

Lebih hebohnya lagi, pada bulan Desember 2010, Pee Wee Gaskins diterpa isu pembakaran bendera penggemar Persebaya Surabaya, Bondho Nekat (Bonek). Isu pembakaran ini berawal dari sejumlah oknum APWG yang menyebarkan postingan seruan di Facebook, sehingga menyulutkan emosi dari para penggemar klub sepakbola kebanggaan kota pahlawan. Imbasnya, salah satu kru Pee Wee Gaskins habis babak belur, sehabis dikeroyok oleh pasukan Bonek. Klarifikasi pun muncul bahwa isu itu benar-benar dibantah secara tegas oleh pihak Pee Wee Gaskins, dan permasalahan diselesaikan dengan cara menempuh jalur hukum di kantor kepolisian.

Dari serangkaian banjiran penyerangan oleh kelompok pembenci APWG yang bertubi-tubi tersebut, telah menjadi media penempa Pee Wee Gaskins sebagai kekuatan dan motivasi untuk terus bertahan dan konsisten dalam karier bermusik. Problematika yang dialami mereka merupakan suatu bentuk resistensi dari Pee Wee Gaskins dalam gerakan aksi kolektif untuk pertahanan musikalitas yang progresif.

Dalam pandangan resistensi contoh kasus di atas, layak untuk diperbincangkan pada aspek khusus dalam ranah budaya populer. Apalagi keterkaitannya dalam ruang lingkup subjek diskursus tulisan ini, yaitu anak muda. Menurut Fiske (1995), konsumerisasi dalam budaya populer bukan hanya bertujuan untuk orientasi industri budaya massa yang tunggal, namun juga mempunyai otoritas pribadi atau kalangan tertentu yang melahirkan "pertarungan semiotik" untuk memberikan makna simbolis dan ideologi yang berbeda berdasarkan identitas dan kepentingan sosial masing-masing dalam proses konsumsi yang berjalan.

Akan tetapi pada sisi lainnya, otoritas budaya populer itu terdapat perbenturan dengan identitas sosial lain, subkultur, ataupun budaya tandingan yang mereproduksi perlawanan budaya mainstream di masyarakat. Peneliti kawakan di bidang kajian budaya, Chris Barker, menambahkan bahwa masalah heterogenitas kultural itu membuahkan kesadaran kolektif yang melekat pada kelas, atribut, pekerjaan dan menjadi solusi atas kegelisahan bagi dilema eksistensi mereka. Hal tersebut pula yang menjadi keriuhan bagi kelompok APWG atas kehadiran Pee Wee Gaskins beserta hegemonitas fanatismenya.

Kembali dari bahasan resistensi Pee Wee Gaskins, salah satu usaha yang dilakukan dalam alunan nada untuk terus bertahan dari terpaan kebencian, yakni melawan dengan lagu-lagu yang bersifat sarkastik (menyindir). Contohnya, pada lagu "Dorks Never Say Die (The Sophomore; 2009)" dan "Jakarta Is a Mistake (Ad Astra Per Aspera; 2013)" yang menggambarkan tentang rintangan kepedihan yang menimpanya, mereka semua akan baik-baik saja. Dari goresan tulisan dalam situs pribadi Dochi pun mengakuinya, bahwa lagu-lagu itu juga mempunyai pesan mengenai kekuatan bersama dengan para penggemarnya, lalu ingin membuktikan dari segala penerimaan ocehan dan caci maki itu melalui sebuah karya.

Lebih dari itu, Pee Wee Gaskins juga menunjukkan konsistensi dari apa yang telah dijalaninnya dalam bermusik melalui pembawaan genre musik (pop punk) yang dinamis. Mereka menampilkan suatu khas yang tidak selalu terpaku pada kesesuaian pasar (dalam konteks budaya massa) atas konsistensi musikalitas. Hanya saja, dalam kekhasannya juga menimbulkan keselarasan permintaan dari apa yang dibutuhkan bagi penikmat musiknya.

Pandangan Thornton (1995) dalam kajiannya tentang klub-klub musik yang beranggapan bahwa realitas pada praktik budaya populer bukan sekadar berkaitan dengan resistensi terhadap kelas kuasa, melainkan semata-mata sebagai usaha dalam membuat pembedaan (distinction) antara sebuah kelompok kaum muda dengan kelompok yang lain sebagai modal subkultur untuk menggenggam posisi yang besar (subculture capital). Keberbedaan inilah yang menjadi penting bagi Pee Wee Gaskins di tengah persaingan musik populer di Indonesia, untuk menemukan dunia dalam budaya populer secara industrial.

Jerih payahnya mungkin bisa terbilang dibayar mahal. Pembuktian prestasi terbaik yang diperoleh Pee Wee Gaskins adalah tampil bersama dengan band-band utama dari mancanegara dalam konser Summer Sonic 2012 (18/08), salah satu acara pagelaran musik terbesar di Jepang (juga Internasional) ketika dedengkot pop punk terkenal, sebut saja Blink 182 dan Green Day, seringkali manggung di konser ini. Hal itu tentu merupakan pengalaman pertama yang tak terbayangkan oleh Pee Wee Gaskins yang bahkan sama sekali tidak pernah dialami oleh artis atau musisi terkenal di Indonesia sekalipun.

Tak hanya itu, torehan berikutnya yang cukup melambungkan nama besar Pee Wee Gaskins di kancah penikmat musik dalam negeri terhadap para penggemar dari kaum hawa, dengan tampil sebagai opening act pada konser tunggal band dari Australia, 5 Second of Summer (5SOS) di Indonesia (ICEBSD) pada 5 Maret 2016. Kesaksian dari 5SOS tentang Pee Wee Gaskins, telah memberikan pujian positif untuk Pee Wee Gaskins atas penampilannya dan sempat menyebutkan bahwa mereka sebagai salah satu band yang berpengaruh untuk perkembangan genre musik pop punk di Indonesia.

Prestasi lainnya yang tak kalah hebatnya ialah pada saat Pee Wee Gaskins menjajal ke industri dunia hiburan layar kaca. Pada tahun 2018, mereka pernah berkesempatan untuk mengisi sebuah produksi lagu tema (soundtrack) pada serial TV animasi anak-anak terkenal asal Malaysia, yaitu BoBoiBoy. Kesempatan itu patut disyukuri oleh Pee Wee Gaskins, mengingat pencapaian tersebut mampu meluaskan khazanah pendengar anak-anak dan menancapkan salah satu karya musiknya kepada negeri orang.

Dari segala polemik dan dinamika dalam pembahasan tulisan ini, hinggaplah kita pada sebuah jawaban bahwa Pee Wee Gaskins tetaplah menjadi salah satu bagian dari keragaman musik di Indonesia. Terlepas dari kesan romantisme, gelora para remaja, maupun jika kita menyukai atau tidaknya pada kehadirannya di perputaran musik nasional. Bagi saya, Pee Wee Gaskins adalah fenomena budaya populer atas konsumsi musik oleh anak muda pada masanya. Euforia, suka cita, bahkan sekadar perayaan klimaks bersama teman-teman dalam catatan kisah klasik untuk masa depan. Sisanya, bisa Anda nilai bagaimana kesesuaiannya dengan selera Anda masing-masing, atau membandingkan situasi dalam iklim musik kontemporer Indonesia di masa kini.

Memang pada momen kemasyhurannya yang memunculkan suatu kebencian. Namun kita tidak bisa menampik bahwa Pee Wee Gaskins telah mengerahkan banyak cara agar kebencian itu dialihkan menjadi kedamaian dalam sebuah pembuktian. Sampai-sampai, mereka niat untuk melakukan akomodasi kepada para pembenci ini (penemuan jalan keluar) melalui representasi penggemarnya di kota-kota yang tersebar di Indonesia. Bukanlah suatu usaha yang mudah, tapi cara ini cukup efektif untuk memulihkan tekanan intensitas kebenciannya.

Selain itu, Pee Wee Gaskins juga merespons segala kebencian dari yang ada dengan resistensi musiknya ke dalam suatu karya dan prestasi yang diraihnya. Mereka membuktikan bahwa mereka kuat dan tegar dari segala ofensifitas yang diterima. Alih-alih dengan tujuan untuk tidak ingin melanjutkan kebencian itu terus berlarut-larut, mereka juga mengimplementasikan dalam sebuah lagu yang berjudul "Aku Bukan Musuhmu (feat. Heru Shaggydog; 2013)", menjelaskan bahwa Pee Wee Gaskins secara tegas untuk tidak adanya rasa benci masing-masing dengan ajakan bersatu bersama-sama demi langkah terbaik untuk kemajuan musik Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, resistensi serta konsistensi dari Pee Wee Gaskins dalam bermusik, perlahan tapi pasti dan silih berganti, eksistensi para pembenci pun kian tersisih. Kehadiran APWG mungkin tertelan oleh zaman, meskipun ada sebagian kecil yang masih membenci, tetapi hal itu tetap menjadi perhatian bagi Pee Wee Gaskins dalam berkompromi untuk mewujudkan hubungan yang harmonis.

Gambar: Salah satu komentar mantan seorang APWG di platform berbagi video. (youtube.com/alfarecords)
Gambar: Salah satu komentar mantan seorang APWG di platform berbagi video. (youtube.com/alfarecords)

Di sisi lain, ada suatu hal yang menarik dan menjadi fakta yang unik. Dulu Pee Wee Gaskins yang tak luput dari jangkauan kemurkaan APWG, nyatanya saat ini mereka kangen dengan keberadaan Pee Wee Gaskins. Bukan lagi sebagai pembenci, tapi sebagai perindu, melihat kondisi yang cukup berbeda di era serba digital sekarang. Sebagai penutup, seperti yang dikatakan oleh psikoanalis ulung, Sigmund Freud (1922), meraih cinta atau rindu harus dilakukan dengan cara membenci orang lain. Kelompok pembenci APWG telah membuktikan bahwa untuk menjadi sekawanan perindu, mereka harus membenci terlebih dahulu. Sungguh terlalu.

Referensi -- Referensi:

Barker, Chris. (2008). Cultural Studies: Teori dan Praktek (terjemahan; Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Setiawan, Ikwan. (2010). "Yang Muda Yang Bertingkah: Konsumsi, Resistensi, dan Kreativitas Kaum Muda dalam Budaya Pop". Jurnal Bahasa, Sastra dan Budaya, Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, Vol. 1, No. 2 (180-199).

Supriyatna, Yayat. (2016). "Sosiologi Emosi dalam Haters dan Lovers". Jurnal Masyarakat, Program Studi Sosiologi Universitas Indonesia, Vol. 21, No. 2.

Chris Thorpe. "A Discussion of Teenage 'Popular Alterity': 21st Century's 'Emo' Music". https://academia.edu/, diakses pada 22 November 2020 pukul 20.00.

Marcel Thee. "The Cult of Pee Wee Gaskins". http://thejakartaglobe.com/, diakses pada 22 November 2020 pukul 20.10.

Wendi Putranto. "The Phenomenal : Pee Wee Gaskins". http://rollingstone.co.id/, diakses pada 22 November 2020 pukul 20.35.

Referensi langsung dari blog pribadi Alditsa "Dochi" Sadega (Bassis dan Vokalis Pee Wee Gaskins). http://dorkchi39.blogspot.com/, diakses pada 22 November 2020 pukul 20.45.

CNN, diakses pada 12 Desember 2020 pukul 19.40.

Jeda, diakses pada 5 Desember 2020 pukul 20.00.

Haluan, diakses pada 22 November 2020 pukul 21.00.

Hai 1, diakses pada 12 Desember 2020 pukul 19.35.

Hai 2, diakses pada 12 Desember 2020 pukul 20.10.

JPNN, diakses pada 12 Desember 2020 pukul 20.30.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun