Mohon tunggu...
Alamsyah
Alamsyah Mohon Tunggu... Jurnalis - Peneliti Ilmu Kehidupan Sehari-Hari

Pemerhati lintas zaman dan gaya hidup. Gemar mengamati diskursus budaya populer (Pop Culture), komunikasi politik, musik, dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Pee Wee Gaskins dan Resistensi Zaman terhadap Kelompok Pembenci APWG

31 Desember 2020   22:44 Diperbarui: 31 Desember 2020   22:51 1587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Para personil Pee Wee Gaskins. (hai.grid.id/Eddy Suhardy/Alvin Bahar)

Bukan hanya di pentas musik semata, nahasnya secara tidak langsung mereka juga terkena hantaman ujaran kebencian para APWG yang diwakili oleh penyerangan personal maupun serentak dalam arena layanan jejaring sosial, khususnya di situs Facebook yang ramai pada masa itu. Sekumpulan APWG ini sampai membuat forum atau grup diskusi yang cukup aktif mengeluarkan cemoohan dan bahan tertawaan yang ditujukan untuk Pee Wee Gaskins.

Tak cukup dihujani oleh tindakan yang mengancam keselamatan jiwa dan lontaran ejekan yang seakan tiada habis-habisnya bagi Pee Wee Gaskins untuk menjadi bulan-bulanan APWG. Selain dari hal-hal yang sudah disebutkan, beberapa personilnya pernah digosipkan telah menjalin hubungan atau orientasi seksual sesama jenis (homoseksual). Gosipnya tersebar luas di beberapa situs media sosial, bersama dengan foto-foto vulgar yang ditampilkan.

Lebih hebohnya lagi, pada bulan Desember 2010, Pee Wee Gaskins diterpa isu pembakaran bendera penggemar Persebaya Surabaya, Bondho Nekat (Bonek). Isu pembakaran ini berawal dari sejumlah oknum APWG yang menyebarkan postingan seruan di Facebook, sehingga menyulutkan emosi dari para penggemar klub sepakbola kebanggaan kota pahlawan. Imbasnya, salah satu kru Pee Wee Gaskins habis babak belur, sehabis dikeroyok oleh pasukan Bonek. Klarifikasi pun muncul bahwa isu itu benar-benar dibantah secara tegas oleh pihak Pee Wee Gaskins, dan permasalahan diselesaikan dengan cara menempuh jalur hukum di kantor kepolisian.

Dari serangkaian banjiran penyerangan oleh kelompok pembenci APWG yang bertubi-tubi tersebut, telah menjadi media penempa Pee Wee Gaskins sebagai kekuatan dan motivasi untuk terus bertahan dan konsisten dalam karier bermusik. Problematika yang dialami mereka merupakan suatu bentuk resistensi dari Pee Wee Gaskins dalam gerakan aksi kolektif untuk pertahanan musikalitas yang progresif.

Dalam pandangan resistensi contoh kasus di atas, layak untuk diperbincangkan pada aspek khusus dalam ranah budaya populer. Apalagi keterkaitannya dalam ruang lingkup subjek diskursus tulisan ini, yaitu anak muda. Menurut Fiske (1995), konsumerisasi dalam budaya populer bukan hanya bertujuan untuk orientasi industri budaya massa yang tunggal, namun juga mempunyai otoritas pribadi atau kalangan tertentu yang melahirkan "pertarungan semiotik" untuk memberikan makna simbolis dan ideologi yang berbeda berdasarkan identitas dan kepentingan sosial masing-masing dalam proses konsumsi yang berjalan.

Akan tetapi pada sisi lainnya, otoritas budaya populer itu terdapat perbenturan dengan identitas sosial lain, subkultur, ataupun budaya tandingan yang mereproduksi perlawanan budaya mainstream di masyarakat. Peneliti kawakan di bidang kajian budaya, Chris Barker, menambahkan bahwa masalah heterogenitas kultural itu membuahkan kesadaran kolektif yang melekat pada kelas, atribut, pekerjaan dan menjadi solusi atas kegelisahan bagi dilema eksistensi mereka. Hal tersebut pula yang menjadi keriuhan bagi kelompok APWG atas kehadiran Pee Wee Gaskins beserta hegemonitas fanatismenya.

Kembali dari bahasan resistensi Pee Wee Gaskins, salah satu usaha yang dilakukan dalam alunan nada untuk terus bertahan dari terpaan kebencian, yakni melawan dengan lagu-lagu yang bersifat sarkastik (menyindir). Contohnya, pada lagu "Dorks Never Say Die (The Sophomore; 2009)" dan "Jakarta Is a Mistake (Ad Astra Per Aspera; 2013)" yang menggambarkan tentang rintangan kepedihan yang menimpanya, mereka semua akan baik-baik saja. Dari goresan tulisan dalam situs pribadi Dochi pun mengakuinya, bahwa lagu-lagu itu juga mempunyai pesan mengenai kekuatan bersama dengan para penggemarnya, lalu ingin membuktikan dari segala penerimaan ocehan dan caci maki itu melalui sebuah karya.

Lebih dari itu, Pee Wee Gaskins juga menunjukkan konsistensi dari apa yang telah dijalaninnya dalam bermusik melalui pembawaan genre musik (pop punk) yang dinamis. Mereka menampilkan suatu khas yang tidak selalu terpaku pada kesesuaian pasar (dalam konteks budaya massa) atas konsistensi musikalitas. Hanya saja, dalam kekhasannya juga menimbulkan keselarasan permintaan dari apa yang dibutuhkan bagi penikmat musiknya.

Pandangan Thornton (1995) dalam kajiannya tentang klub-klub musik yang beranggapan bahwa realitas pada praktik budaya populer bukan sekadar berkaitan dengan resistensi terhadap kelas kuasa, melainkan semata-mata sebagai usaha dalam membuat pembedaan (distinction) antara sebuah kelompok kaum muda dengan kelompok yang lain sebagai modal subkultur untuk menggenggam posisi yang besar (subculture capital). Keberbedaan inilah yang menjadi penting bagi Pee Wee Gaskins di tengah persaingan musik populer di Indonesia, untuk menemukan dunia dalam budaya populer secara industrial.

Jerih payahnya mungkin bisa terbilang dibayar mahal. Pembuktian prestasi terbaik yang diperoleh Pee Wee Gaskins adalah tampil bersama dengan band-band utama dari mancanegara dalam konser Summer Sonic 2012 (18/08), salah satu acara pagelaran musik terbesar di Jepang (juga Internasional) ketika dedengkot pop punk terkenal, sebut saja Blink 182 dan Green Day, seringkali manggung di konser ini. Hal itu tentu merupakan pengalaman pertama yang tak terbayangkan oleh Pee Wee Gaskins yang bahkan sama sekali tidak pernah dialami oleh artis atau musisi terkenal di Indonesia sekalipun.

Tak hanya itu, torehan berikutnya yang cukup melambungkan nama besar Pee Wee Gaskins di kancah penikmat musik dalam negeri terhadap para penggemar dari kaum hawa, dengan tampil sebagai opening act pada konser tunggal band dari Australia, 5 Second of Summer (5SOS) di Indonesia (ICEBSD) pada 5 Maret 2016. Kesaksian dari 5SOS tentang Pee Wee Gaskins, telah memberikan pujian positif untuk Pee Wee Gaskins atas penampilannya dan sempat menyebutkan bahwa mereka sebagai salah satu band yang berpengaruh untuk perkembangan genre musik pop punk di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun