Mohon tunggu...
Alamsyah
Alamsyah Mohon Tunggu... Jurnalis - Peneliti Ilmu Kehidupan Sehari-Hari

Pemerhati lintas zaman dan gaya hidup. Gemar mengamati diskursus budaya populer (Pop Culture), komunikasi politik, musik, dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Pee Wee Gaskins dan Resistensi Zaman terhadap Kelompok Pembenci APWG

31 Desember 2020   22:44 Diperbarui: 31 Desember 2020   22:51 1587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Topi trucker penggemar Pee Wee Gaskins bertuliskan "Dork". (blogger.com/edwinzunlimited)

Prestasi lainnya yang tak kalah hebatnya ialah pada saat Pee Wee Gaskins menjajal ke industri dunia hiburan layar kaca. Pada tahun 2018, mereka pernah berkesempatan untuk mengisi sebuah produksi lagu tema (soundtrack) pada serial TV animasi anak-anak terkenal asal Malaysia, yaitu BoBoiBoy. Kesempatan itu patut disyukuri oleh Pee Wee Gaskins, mengingat pencapaian tersebut mampu meluaskan khazanah pendengar anak-anak dan menancapkan salah satu karya musiknya kepada negeri orang.

Dari segala polemik dan dinamika dalam pembahasan tulisan ini, hinggaplah kita pada sebuah jawaban bahwa Pee Wee Gaskins tetaplah menjadi salah satu bagian dari keragaman musik di Indonesia. Terlepas dari kesan romantisme, gelora para remaja, maupun jika kita menyukai atau tidaknya pada kehadirannya di perputaran musik nasional. Bagi saya, Pee Wee Gaskins adalah fenomena budaya populer atas konsumsi musik oleh anak muda pada masanya. Euforia, suka cita, bahkan sekadar perayaan klimaks bersama teman-teman dalam catatan kisah klasik untuk masa depan. Sisanya, bisa Anda nilai bagaimana kesesuaiannya dengan selera Anda masing-masing, atau membandingkan situasi dalam iklim musik kontemporer Indonesia di masa kini.

Memang pada momen kemasyhurannya yang memunculkan suatu kebencian. Namun kita tidak bisa menampik bahwa Pee Wee Gaskins telah mengerahkan banyak cara agar kebencian itu dialihkan menjadi kedamaian dalam sebuah pembuktian. Sampai-sampai, mereka niat untuk melakukan akomodasi kepada para pembenci ini (penemuan jalan keluar) melalui representasi penggemarnya di kota-kota yang tersebar di Indonesia. Bukanlah suatu usaha yang mudah, tapi cara ini cukup efektif untuk memulihkan tekanan intensitas kebenciannya.

Selain itu, Pee Wee Gaskins juga merespons segala kebencian dari yang ada dengan resistensi musiknya ke dalam suatu karya dan prestasi yang diraihnya. Mereka membuktikan bahwa mereka kuat dan tegar dari segala ofensifitas yang diterima. Alih-alih dengan tujuan untuk tidak ingin melanjutkan kebencian itu terus berlarut-larut, mereka juga mengimplementasikan dalam sebuah lagu yang berjudul "Aku Bukan Musuhmu (feat. Heru Shaggydog; 2013)", menjelaskan bahwa Pee Wee Gaskins secara tegas untuk tidak adanya rasa benci masing-masing dengan ajakan bersatu bersama-sama demi langkah terbaik untuk kemajuan musik Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, resistensi serta konsistensi dari Pee Wee Gaskins dalam bermusik, perlahan tapi pasti dan silih berganti, eksistensi para pembenci pun kian tersisih. Kehadiran APWG mungkin tertelan oleh zaman, meskipun ada sebagian kecil yang masih membenci, tetapi hal itu tetap menjadi perhatian bagi Pee Wee Gaskins dalam berkompromi untuk mewujudkan hubungan yang harmonis.

Gambar: Salah satu komentar mantan seorang APWG di platform berbagi video. (youtube.com/alfarecords)
Gambar: Salah satu komentar mantan seorang APWG di platform berbagi video. (youtube.com/alfarecords)

Di sisi lain, ada suatu hal yang menarik dan menjadi fakta yang unik. Dulu Pee Wee Gaskins yang tak luput dari jangkauan kemurkaan APWG, nyatanya saat ini mereka kangen dengan keberadaan Pee Wee Gaskins. Bukan lagi sebagai pembenci, tapi sebagai perindu, melihat kondisi yang cukup berbeda di era serba digital sekarang. Sebagai penutup, seperti yang dikatakan oleh psikoanalis ulung, Sigmund Freud (1922), meraih cinta atau rindu harus dilakukan dengan cara membenci orang lain. Kelompok pembenci APWG telah membuktikan bahwa untuk menjadi sekawanan perindu, mereka harus membenci terlebih dahulu. Sungguh terlalu.

Referensi -- Referensi:

Barker, Chris. (2008). Cultural Studies: Teori dan Praktek (terjemahan; Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Setiawan, Ikwan. (2010). "Yang Muda Yang Bertingkah: Konsumsi, Resistensi, dan Kreativitas Kaum Muda dalam Budaya Pop". Jurnal Bahasa, Sastra dan Budaya, Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, Vol. 1, No. 2 (180-199).

Supriyatna, Yayat. (2016). "Sosiologi Emosi dalam Haters dan Lovers". Jurnal Masyarakat, Program Studi Sosiologi Universitas Indonesia, Vol. 21, No. 2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun