Mohon tunggu...
Ala AnnajibAsyatibi
Ala AnnajibAsyatibi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Pendosa handal dan penggemar cilok perempatan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Gundul Gundul Pacul dan Nasihat Mulia untuk Sebuah Pemerintahan

11 Mei 2023   10:10 Diperbarui: 11 Mei 2023   14:53 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gundul gundul pacul cul gembelenganNyunggi nyunggi wakul kul gembelenganWakul ngglimpang segane dadi sak ratan
Wakul ngglimpang segane dadi sak ratan

Leluhur kita memang cerdik dalam memberikan nasehat, anak-anak diminta bernyanyi padahal target utama dari tembang dolanan tersebut adalah orang tuanya. Gundul Gundul Pacul memang lagu anak-anak, atau dalam bahasa Jawa bisa disebut tembang dolanan. Namun pada hakikatnya lagu ini berisi nasehat untuk para pemimpin dan calon pemimpin. Calon pemimpin dan pimpinan itu adalah saya, Anda, dan anak-anak saya dan anak-anak Anda nanti.

Sejatinya kita adalah pemimpin, saat masih berwujud fisik sel sperma yang jumlahnya ribuan dan kemudian bertemu sel telur di dalam rahim ibu, kita adalah pemenangnya. Setelah lahir di muka bumi, kita dititipi Allah untuk mengatur bumi dan diberi gelar khalifah fil ardh atau pemimpin di muka bumi. Bukan hanya raja atau presiden, kita semua menyandang gelar itu.

Setelah lahir sebagai bayi, merangkak, kemudian bisa berjalan dan menjadi anak kecil, biasanya kita masih susah diatur, dan memang begitu fasenya. Tidak masalah, karena kalau anak kecil itu malah lucu. Tapi jika sudah dewasa, ya tidak lucu kalau kamu pipis di depan rumah, bisa-bisa dimarahi tetanggamu.

Akil Baligh pada laki laki ditandai jika ia sudah pernah mimpi basah, sedangkan perempuan ditandai jika ia sudah mengalami menstruasi. Artinya jika kita sudah mengalami mimpi basah untuk laki-laki dan menstruasi untuk perempuan. Kita sudah dianggap mumayyiz, sudah mampu membedakan yang benar dan yang salah.

Setelah mumayyiz kita diperintah untuk nyunggi wakul. Wakul adalah kiasan dari aturan dari yang Maha Memberi Hidup. Nyunggi wakul adalah bentuk tanggung jawab atas apa yang boleh dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Setelah itu kita tidak diperkenankan untuk bertindak seenaknya lagi. Jika aturan tadi kamu langgar, maka wakul glamping segane dadi sak ratan, 'nasimu bisa tumpah berantakan hingga memenuhi halaman'. Hidup menjadi tidak karuan.

Lagu ini termasuk kategori lagu anak-anak. Anak kecil adalah sosok polos dan masih mudah dinasehati. Jika yang ditiru baik maka menjadi baik, jika yang ditiru buruk maka menjadi buruk. Lagu anak-anak dan konten anak-anak itu memang abadi. Lihat saja video-video di youtube yang ada hubungannya dengan anak-anak, yang menonton jutaan bahkan milyaran.

Walaupun pada jaman wali dulu belum ada Youtube, namun fenomena ini telah disadari oleh para wali di masa lalu dengan menciptakan lagu-lagu yang bisa viral sepanjang masa tidak terbatas hak cipta dan siapapun bisa menyanyi tanpa diminta royalti.

Menurut banyak sumber, lagu "gundul gundul pacul" ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga, salah satu dari walisongo yang kita kenal hidup pada abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Pesan yang ada dalam lagu tersebut masih relevan sampai sekarang, artinya luas dan luwes, bukan hanya untuk umat Islam saja, tapi universal.

(Gundul Gundul Pacul Cul Gembelengan)

Gundul Pacul jika diterjemahkan secara langsung berarti model potongan rambut gaya bros, semua plontos kecuali disisakan sedikit di depan mirip seperti cangkul. Mirip seperti model rambut Ronaldo, pesepakbola Brasil di masa lalu. Anak-anak jaman dahulu rata rata memang gaya rambutnya seperti itu. Belum kenal gaya potongan mohawk cut atau middle leg.

Anak kecil yang masih gundul dan polos itu jika berlagak masih dimaklumi dan lucu dan tidak menjadi masalah, karena dia belum punya tanggung jawab 'nyunggi wakul'. Jika dimaknai lebih dalam, "Gundul" dalam istilah jawa berarti kepala, "Sirah" (bahasa Jawa ngoko) atau "Mustaka" (Bahasa Jawa Krama Inggil).

Bagi orang dewasa, kepala merupakan lambang kehormatan dan martabat. Jika kepala kita didorong oleh seseorang, sangat lumrah jika kita tidak terima dan marah. Sedangkan rambut adalah mahkota, lambang keindahan kepala. Oleh karena itu, "Gundul" dalam lagu ini adalah kiasan yang berarti kehormatan tanpa mahkota.

"Pacul" adalah alat pertanian yang terbuat dari lempengan besi berbentuk persegi panjang, dalam bahasa Indonesia adalah cangkul. Cangkul juga sebagai simbol dari rakyat kecil, dulu di Jawa rakyat kecil rata-rata adalah petani, mayoritas berprofesi sebagai petani. Menurut filosofi Jawa, cangkul adalah empat yang lepas "ucul", artinya kejayaan seseorang itu sangat bergantung pada empat hal, yaitu cara kita menggunakan mata, hidung, telinga, dan mulut.

Jika keempat hal ini hilang atau ucul, maka kehormatan atau martabat orang itu juga akan hilang. Dalam hal kepemimpinan, empat hal  tersebut adalah:

1. Mata harus digunakan untuk melihat masalah rakyat.
2. Telinga harus digunakan untuk mendengarkan nasehat yang baik.
3. Hidung harus digunakan untuk mencium aroma kebaikan.
4. Mulut harus digunakan untuk mengucapkan kata-kata yang adil

Jika kepalanya baik maka 4 perilaku dari filosofi pacul tadi akan bisa baik

Untuk menjadi baik, syaratnya tidak boleh "gembelengan" (seenaknya sendiri). Anak kecil jaman dulu memang dilatih bertanggung jawab dengan membantu pekerjaan orang tuanya. Misalnya jika anak seorang petani, ia akan sering dimintai tolong untuk mengantarkan makan siang untuk ayahnya yang bekerja di sawah. Nasinya dimasukkan ke dalam bakul dan dibawa diatas kepala. Sebelum berangkat, biasanya ibunya berpesan, "jangan banyak tingkah ya nak! nanti bakulnya bisa tumpah." Kalau tumpah nanti nasinya bisa bertebaran.

Dalam konteks filsafat, 'gembelengan' itu artinya besar kepala, sombong, dan terlalu banyak bermain-main dalam menggunakan kehormatan yang didapat. Itulah sebabnya kata 'nyunggi wakul' (meletakkan bakul di kepala) itu kalimat yang ditujukan untuk pemimpin. Pemimpin yang terpilih itu sebenarnya bukan orang yang mendapatkan mahkota, tetapi dia mendapatkan cangkul untuk bekerja demi kesejahteraan masyarakat.

Pemimpin memang harus dihormati karena dia adalah simbol kehormatan, ibarat kepala tetapi tidak juga harus disembah karena ia adalah wakil kita. Jika terjadi kesalahan, kita harus berani mengingatkan dengan dengan cara yang baik.

Contohnya: Wahai Paman, maaf,  Anda mencangkulnya kurang dalam

Namun bagi orang yang telah kehilangan hakekat empat ujung cangkul, bisa menjadikan dia sombong atau seenaknya sendiri. Sebelum jadi pejabat, dia berjanji akan melakukan dengan baik. Setelah jadi pejabat kemudian dia lupa dengan cangkulnya. Dia sudah diberi cangkul untuk melihat, mendengar, mencium dan berkata baik tapi malah tidak digunakan.

Diminta 'nyunggi wakul' (kepercayaan) tapi malah seenaknya sendiri, kebanyakan gerak ke kiri dan ke kanan. Bakul yang berisi nasi tadi, makna sebenarnya adalah amanah itu malah ada yang dimakan sendiri, dikorupsi. Lalu ada juga, saat membahas Undang Undang malah tidur atau bolos. 'Wakul' melambangkan amanah masyarakat.

(Wakul glempang, segane dadi sak ratan)
Bakul nasi yang jatuh dari atas kepala merupakan simbol kepercayaan masyarakat yang telah hilang, tergelincir dan jatuh. Bisa jadi karena kasus ini atau sesuatu yang lain, segane dadi sak ratan. Nasi yang seharusnya bisa dimakan rakyat menjadi terbuang sia sia. Sebuah amanah yang seharusnya dilakukan dengan hasil yang baik menjadi tidak ada hasil, menjadi sia-sia. Contohnya kejadian kerusuhan yang pernah terjadi pada tahun 1998

Pemimpin itu tanggung jawabnya besar, jika ada pelantikan, seharusnya setelah sumpah jabatan, semua pejabat terpilih, seharusnya diminta menyanyikan lagu "Gundul Pacul" ini secara bersama-sama. Kemudian diberi cangkul satu per satu, secara simbolis, biar mereka sadar bahwa tugas setelah pelantikan itu adalah bekerja untuk rakyat, bukan untuk bersantai.

Lagu ini sebenarnya juga berlaku untuk kehidupan berumah tangga. Saat memilih jodoh, lagu ini juga memberikan pesan yang jelas. Jangan memilih pasangan yang banyak tingkah, nanti tempat nasimu akan tumpah, berantakan dan tidak karuan. Jaman sekarang, banyak orang yang ingin menjadi pemimpin namun dia belum bisa memimpin bahkan untuk memimpin dirinya sendiri.

Sebaliknya, banyak orang ingin dipimpin oleh seseorang yang bisa memimpin, namun tidak dapat memilih orang yang bisa memimpin. Dalam sistem demokrasi, kualitas pemimpin tergantung dari kualitas rakyatnya.

Lalu, pemimpin yang baik itu ciri cirinya bagaimana?

Menurut Ki Hajar Dewantara, ciri-ciri pemimpin yang baik ada tiga, yaitu: Ing Ngarso sung Tuladha, Ing Madyo mangun Karso dan Tut wuri handayani.

Apa maksudnya? Ing Ngarsa sung Tuladha artinya adalah orang yang berada di depan, yang memegang komando, dalam militer disebut sebagai panglima. Di bab ini, pemimpin harus punya aturan yang dilaksanakan anak buahnya. Bagaimana caranya agar aturan itu tidak bisa diterima dan bisa dilakukan dengan baik? Kita harus bisa memberi contoh dulu dan menjadi panutan.

Yang kedua, 'Ing Madya Mangun Karsa'. Pada bab ini,  pemimpin juga harus dapat menempatkannya di tengah-tengah para anggotanya, untuk memberikan dorongan, motivasi dan rangsangan agar para anggotanya dapat mencapai kinerja yang lebih baik. Kadang-kadang turun kebawah diperlukan untuk dapat mengidentifikasi apa yang dibutuhkan anggota.

Nomor tiga adalah 'Tut Wuri Handayani'. Tut wuri itu artinya mengikuti di belakang, walaupun dari belakang, tetapi tetap bisa mempengaruhi. Berada di belakang, mendorong, namun mempunyai dampak. Pemimpin itu mempunyai tugas memelihara dan mendidik, tentu tidak bisa dengan memaksa, harus pelan-pelan.

Mengikuti dulu baru kemudian memimpin, leading by following . Dalam ilmu pemerintahan disebut sebagai bottom up system. Untuk melaksanakan visi misi dengan sosialisasi yang pelan-pelan mulai dibiasakan. Contoh paling sederhana adalah penerapan kartu tol, kebiasaan orang sebelumnya menggunakan uang tunai, kebiasaan itu sudah ada puluhan tahun. Jika diterapkan langsung tentu akan dapat menimbulkan protes.

Implementasinya pelan-pelan, bertahap, awalnya masih ada petugas tolnya dan masyarakat masih boleh memilih untuk membayar tunai atau dengan kartu. Bagi yang masih membayar tunai sekaligus diberitahu bahwa kedepan sudah tidak bisa cash lagi pada tanggal sekian. Akhirnya ketika lewat lagi, sudah lebih banyak orang yang telah terbiasa menggunakan kartu.

Contoh model paling mudah kita lihat dalam bab ini adalah metode yang dilakukan para Wali Songo di Jawa jaman dulu. Mereka tidak langsung mengatakan halal, haram, bid'ah atau kafir, tetapi mereka memahami dulu apa yang menjadi budaya orang Jawa. Jika ada yang sama secara tauhid dengan ajaran Islam diteruskan dan yang tidak sesuai diubah secara perlahan.

Bancakan tetap masih boleh, tetapi doa-doanya bukan untuk selain Allah SWT dan masih banyak contoh lainnya. Untuk dapat melakukan ketiga hal tersebut, pemimpin harus memiliki sifat dan kualitas empat yang tidak bisa ditinggalkan yaitu, shiddiq atau jujur, amanah atau dapat dipercaya, tabligh atau komunikatif dan fathonah atau cerdas.

Jika seorang pemimpin jujur, amanah, komunikatif dan cerdas maka dia bisa memiliki empat aji-aji atau kesaktian:

1. Matanya bisa digunakan untuk melihat masalah.
2. Telinganya dapat digunakan untuk mendengarkan nasehat baik, mana yang benar mana yang salah.
3. Hidungnya dapat digunakan untuk mencium aroma kebaikan.
4. Mulutnya dapat digunakan untuk mengeluarkan kata-kata yang adil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun