Mohon tunggu...
Ala AnnajibAsyatibi
Ala AnnajibAsyatibi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Pendosa handal dan penggemar cilok perempatan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Gundul Gundul Pacul dan Nasihat Mulia untuk Sebuah Pemerintahan

11 Mei 2023   10:10 Diperbarui: 11 Mei 2023   14:53 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak kecil yang masih gundul dan polos itu jika berlagak masih dimaklumi dan lucu dan tidak menjadi masalah, karena dia belum punya tanggung jawab 'nyunggi wakul'. Jika dimaknai lebih dalam, "Gundul" dalam istilah jawa berarti kepala, "Sirah" (bahasa Jawa ngoko) atau "Mustaka" (Bahasa Jawa Krama Inggil).

Bagi orang dewasa, kepala merupakan lambang kehormatan dan martabat. Jika kepala kita didorong oleh seseorang, sangat lumrah jika kita tidak terima dan marah. Sedangkan rambut adalah mahkota, lambang keindahan kepala. Oleh karena itu, "Gundul" dalam lagu ini adalah kiasan yang berarti kehormatan tanpa mahkota.

"Pacul" adalah alat pertanian yang terbuat dari lempengan besi berbentuk persegi panjang, dalam bahasa Indonesia adalah cangkul. Cangkul juga sebagai simbol dari rakyat kecil, dulu di Jawa rakyat kecil rata-rata adalah petani, mayoritas berprofesi sebagai petani. Menurut filosofi Jawa, cangkul adalah empat yang lepas "ucul", artinya kejayaan seseorang itu sangat bergantung pada empat hal, yaitu cara kita menggunakan mata, hidung, telinga, dan mulut.

Jika keempat hal ini hilang atau ucul, maka kehormatan atau martabat orang itu juga akan hilang. Dalam hal kepemimpinan, empat hal  tersebut adalah:

1. Mata harus digunakan untuk melihat masalah rakyat.
2. Telinga harus digunakan untuk mendengarkan nasehat yang baik.
3. Hidung harus digunakan untuk mencium aroma kebaikan.
4. Mulut harus digunakan untuk mengucapkan kata-kata yang adil

Jika kepalanya baik maka 4 perilaku dari filosofi pacul tadi akan bisa baik

Untuk menjadi baik, syaratnya tidak boleh "gembelengan" (seenaknya sendiri). Anak kecil jaman dulu memang dilatih bertanggung jawab dengan membantu pekerjaan orang tuanya. Misalnya jika anak seorang petani, ia akan sering dimintai tolong untuk mengantarkan makan siang untuk ayahnya yang bekerja di sawah. Nasinya dimasukkan ke dalam bakul dan dibawa diatas kepala. Sebelum berangkat, biasanya ibunya berpesan, "jangan banyak tingkah ya nak! nanti bakulnya bisa tumpah." Kalau tumpah nanti nasinya bisa bertebaran.

Dalam konteks filsafat, 'gembelengan' itu artinya besar kepala, sombong, dan terlalu banyak bermain-main dalam menggunakan kehormatan yang didapat. Itulah sebabnya kata 'nyunggi wakul' (meletakkan bakul di kepala) itu kalimat yang ditujukan untuk pemimpin. Pemimpin yang terpilih itu sebenarnya bukan orang yang mendapatkan mahkota, tetapi dia mendapatkan cangkul untuk bekerja demi kesejahteraan masyarakat.

Pemimpin memang harus dihormati karena dia adalah simbol kehormatan, ibarat kepala tetapi tidak juga harus disembah karena ia adalah wakil kita. Jika terjadi kesalahan, kita harus berani mengingatkan dengan dengan cara yang baik.

Contohnya: Wahai Paman, maaf,  Anda mencangkulnya kurang dalam

Namun bagi orang yang telah kehilangan hakekat empat ujung cangkul, bisa menjadikan dia sombong atau seenaknya sendiri. Sebelum jadi pejabat, dia berjanji akan melakukan dengan baik. Setelah jadi pejabat kemudian dia lupa dengan cangkulnya. Dia sudah diberi cangkul untuk melihat, mendengar, mencium dan berkata baik tapi malah tidak digunakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun