Hukum persaingan usaha memang tidak sepopuler hukum pidana maupun hukum perdata. Hukum persaingan usaha cenderung lebih asing, apalagi bagi masyarakat awam. Bahkan tidak sedikit kaum intelektual, sarjana hukum sekalipun yang juga belum mengenal hukum persaingan usaha ini.
Indonesia memang baru mengenal hukum persaingan usaha sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Undang-Undang Anti Monopoli). Undang-Undang Anti Monopoli ini lahir salah satunya dikarenakan adanya krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi di negeri ini. Persaingan usaha tidak sehat yang terjadi saat itu telah membuat munculnya kesenjangan ekonomi yang besar, sehingga hanya golongan tertentu saja yang dapat bertahan sementara sebagian besar pelaku ekonomi mati.
Namun demikian, sudah lebih dari 2 dasawarsa, hukum persaingan usaha masih saja terasa asing di telinga. Padahal hukum persaingan usaha merupakan kebijakan yang harus dipahami oleh semua orang terutama bagi pelaku usaha untuk menciptakan ekonomi yang mensejahterakan bagi semua.
Hukum persaingan usaha ini memerintahkan kepada setiap pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia untuk melakukan persaingan secara sehat. Setiap pelaku usaha harus bersaing secara sehat dalam memporoleh keuntungan. Maksud sehat di sini adalah tidak ada kecurangan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam memperoleh keuntungan tersebut.Â
Jadi, jangan sampai salah paham! Hukum persaingan usaha bukan melarang adanya persaingan, justru hukum persaingan usaha mendukung adanya persaingan, namun persaingan tersebut harus dilakukan dengan cara yang sehat. Hal ini penting untuk menjamin hak setiap pelaku usaha guna mempunyai kesempatan yang sama dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dengan adanya kesempatan yang sama ini, para pelaku usaha kemudian akan mampu mengembangkan dirinya untuk dapat bertahan dalam pasar.
Adanya persaingan usaha ini juga akan melahirkan inovasi dalam bentuk produk yang bersaing sehingga konsumen akan memiliki banyak pilihan. Konsumen dengan demikian akan dapat memperoleh barang maupun jasa yang sesuai dengan preferensi masing-masing.
Adapun kecurangan-kecurangan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha sudah diatur secara detail dalam Undang-Undang Anti Monopoli. Undang-Undang Anti Monopoli telah melarang adanya kecurangan melalui pasal-pasal yang mengatur tentang 1) perjanjian yang dilarang; 2) kegiatan yang dilarang; dan 3) penyalahgunaan posisi dominan.
Sebagai contoh mengenai penerapan hukum persaingan usaha secara sederhana dapat penulis uraikan sebagai berikut :
1. Larangan Praktek Diskriminasi
Misalnya distributor minuman kemasan sebelumnya menjual minuman kemasan dengan berbagai merk. Namun, salah satu perusahaan minuman kemasan misalnya merk A dengan konsumen paling banyak kemudian mempersyaratkan kepada distributor tersebut untuk tidak lagi memasarkan minuman kemasan dari perusahaan lain. Apabila distributor memasarkan merk lain, maka perusahaan A tidak akan lagi memasok minumannya. Karena perusahaan minuman kemasan merk A paling laku di pasaran, distributor akhirnya mau menerima syarat tersebut.Â
Perusahaan merk A menetapkan syarat tersebut agar ia dapat mendominasi pasar dan menyingkirkan pesaingnya. Syarat yang ditetapkan oleh perusaahaan minuman kemasan merk A merupakan suatu bentuk praktek diskriminasi yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli. Tindakannya ini membuat perusahaan minuman kemasan merk lain tersingkir/keluar dari pasar dan kehilangan konsumennya.Â
Seharusnya, perusahaan minuman kemasan merk A tidak perlu berusaha menyingkirkan pesaingnya dengan cara demikian. Ia haruslah bersaing secara sehat misalnya dengan berupaya membuat produknya lebih unggul dari yang lain sehingga pesaingnya lama kelamaan juga akan tersingkir.
2. Kartel
Minyak goreng dengan bahan baku kelapa sawit menjadi kebutuhan pokok di Indonesia. Perusahaan A, B, C, D, E sebagai produsen minyak goreng sawit kemudian bersekongkol untuk menetapkan harga yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Mereka berani menetapkan harga yang tinggi karena mereka tahu berapa pun harganya, minyak goreng akan tetap laku di pasaran. Persekongkolan ini membuat tidak ada yang bersaing. Dengan bersekongkol semacam ini semua perusahaan akan sama-sama laku karena tidak ada lagi yang lebih murah dari yang lain. Penetapan harga ini kemudian akan membuat mereka semua memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi.Â
Tindakan seperti ini tentu tidak dibenarkan, konsumen lah yang akan sangat dirugikan. Konsumen seharusnya bisa mendapatkan minyak goreng dengan harga lebih murah dan kualitas yang bersaing, jika para pelaku usaha tersebut menetapkan harga yang layak sesuai dengan biaya produksi dan keuntungan yang ingin diperoleh masing-masing.
Secara garis besar, hukum persaingan usaha tidak melarang pelaku usaha menjadi besar sepanjang ia melakukan persaingan usaha secara sehat yakni dengan tidak melakukan perjanjian yang di larang, kegiatan yang dilarang maupun melakukan penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.Â
Demikan penjelasan singkat serta beberapa contoh mengenai hukum persaingan usaha. Apabila para pembaca ingin bertanya atau berdiskusi lebih lanjut mengenai hukum persaingan usaha, pembaca dapat meninggalkan pesan melalui kolom komentar. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H