Mohon tunggu...
AL ARUDI
AL ARUDI Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Menulis dan membaca untuk mengisi waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ingin Lari dari Kebisingan

31 Juli 2024   20:42 Diperbarui: 31 Juli 2024   21:04 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Cristhian Adame dari Pixabay


Seperti biasanya, pagi ini Amron duduk di beranda depan rumahnya. Di samping tempat duduknya terdapat meja kecil untuk meletakkan secangkir kopi dan sepiring kue. Sambil menyeruput kopi,  Amron menatap ke arah jalan  depan rumahnya. Matanya yang sudah rabun hapal dengan wajah orang-orang yang sering lewat di jalan itu.

Amron mengambil kaca matanya. Dikaitkannya di kedua telinganya. Dengan memakai kacamata dia akan lebih jelas melihat orang-orang yang lewat.

Namun hati Amron bukanlah senang melihat orang-orang yang lewat itu. Hatinya merasa geram, sebab telinga tuanya terasa tersayat mendengar suara kendaraan- kendaraan itu.

Dalam hati Amron, ingin rasanya dia melempar kendaraan-kendaraan itu. Tapi tentulah tidak mungkin dia lakukan. Orang-orang pasti akan marah kepadanya. Dan yang lebih berat lagi, jika orang-orang itu terluka, Amron juga yang akan menanggung biaya rumah sakit.

Terlebih jika pengendara itu emosi, dia pasti akan menyerang balik Amron dengan lemparan yang lebih parah. Dan jika pengendara itu paham hukum, dia akan menuntut Amron ke pengadilan, Amron akan dipenjara. Amron tidak mau menghabiskan masa tuanya dalam penjara.

Amron tak punya alasan kuat untuk membela diri, sebab jalan yang mereka lalui adalah jalan umum, siapa saja boleh menggunakannya. Amron juga akan merasa capek karena setiap hari harus berjaga untuk melempari orang-orang yang lewat.

Amron menghela nafas panjang, setelah menyeruput secangkir kopi hingga tandas. Tiga butir pisang goreng lenyap masuk ke dalam perut Amron. Selera makan Amron belum menurun, walau usianya sudah terbilang renta.

Dokter Puskesmas sudah menasehatinya untuk mengurangi gula, lemak dan makanan yang bersifat asin. Namun Amron tidak terlalu perduli dengan nasehat dokter itu. Bagi Amron sakit dan sehat seseorang sudah ketentuan Tuhan. Walaupun berusaha sekuat tenaga mengontrol makanan, jika sudah tua, penyakit tidak akan bisa dielak.

Amron teringat dengan jaman waktu dia masih muda. Dulu jalan depan rumahnya tampak tenang dari hiruk pikuk kendaraan. Udara masih terasa sangat sejuk dan jauh dari polusi. Dia masih nyaman menghirup udara pagi untuk menyegarkan paru-parunya. Burung-burung masih merdu berkicau di dahan pohon yang masih menghijau.

Namun Amron tidak mungkin memutar waktu untuk balik ke jaman yang telah lalu. Waktu terus maju secara alami. Tidak satu pun manusia yang bisa membalikkannya, sekalipun orang itu akhli di bidang waktu. Jaman sekarang sudah berubah. Manusia butuh cepat sampai ke tempat kerja, agar pekerjaan cepat selesai. Jika mengunakan sepeda atau berjalan kaki tentulah banyak waktu yang terbuang.

Amron melihat ada anak kecil bermain-main di seberang jalan. Mungkin anak itu belum bersekolah, pikir Amron. Umur anak itu baru sekitar empat tahun.

Amron terkenang dengan masa kecilnya dulu bebas bermain-main. Tidak takut ditabrak mobil ketika menyeberang jalan. Dia juga bebas melempar burung dengan ketapel, tanpa takut kena rumah atau kepala orang. Dia juga bebas mandi di kali, tanpa takut kena penyakit gatal karena airnya belum tercemar limbah dan sampah.

Pernah suatu waktu Amron mengutarakan sebuah keinginan kepada istrinya yang bernama Juwita. "Kita jual saja rumah kita ini ya, Dek."

"Emangnya kenapa, Abang?" Juwita balik bertanya.

"Telingaku terasa pecah kalau setiap hari dijejal dengan suara motor dan hiruk pikuk jalanan di depan rumah kita!"

"Abang harus membiasakan diri dengan suara-suara itu. Anggap saja itu musik penghibur saat Abang lagi duduk di beranda," saran Juwita.

"Enak saja kamu ngomong. Bagaimana jika Abang stress atau kena darah tinggi kemudian strok, hah!" balas Amaron.

"Abang saja yang begitu. Buktinya aku tidak apa-apa. Aku biasa saja dengan suara-suara itu. Malah aku senang, karena rumah kita jadi ramai!" sanggah Juwita.

Amron tidak membalas lagi perkataan istrinya. Dia pikir wajar jika istrinya tidak terpengaruh dengan suara-suara kendaraan itu. Istrinya masih muda darinya. Waktu Amron menikahi Juwita, umur Juwita baru sembilan belas tahun, sedang Amron sudah berumur tiga puluh lima tahun.

Juwita sendiri merasa senang menikah dengan Amron yang seorang pegawai negeri. Juwita memang bercita-cita punya seorang suami pegawai negeri.

"Terus, kalau rumah ini dijual, kita pindah ke mana, Abang? Emangnya Abang punya duit untuk beli atau membangun rumah baru?" tanya Juwita sambil menatap Amron.

"Kita bisa bikin rumah dari hasil penjualan ruamah ini, Dek!" balas Amron.

"Terserah Abang lah, kalau begitu! Tapi jika Abang beli rumah di tengah hutan, aku tidak akan ikut!" tegas Juwita. Dia tak mau lagi berdebat dengan Amron.

Mendengar pernyataan istrinya itu, Amron sadar sekarang dia sudah pensiun sebagai pegawai negeri. Uang pensiunnya tentu tidak cukup untuk membeli rumah baru. Jika dia mengumpul uang pensiunnya untuk beli rumah, entah kapan dia bisa terbeli dengan rumah baru.

Amron berusaha ke sana ke mari menawar rumahnya kepada orang yang dia kenal, tapi sayang tidak ada yang mau membeli. Amron juga sudah menjual rumahnya lewat media sosial dan online. Dia memasang fhoto rumahnya di media itu, tapi tak ada yang menanggapi. Kebanyakan mereka yang ditawari Amron juga tidak tahan dengan lingkungan yang bising. Mereka sama seperti Amron, suka dengan suasana yang tenang.

Amron jadi bingung memikirkan bagaimana cara supaya dia bisa menjauh dari kebisingan di sekitar rumahnya.

Suatu malam Amron bermimpi dalam tidurnya. Dia sedang berada di halaman depan rumahnya. Di sekitar rumahnya dipenuhi oleh pohon-pohon rindang dan menghijau. Dia menarik nafas dengan lega. Tubuhnya terasa sejuk. Dia tak mendengar suara apapun, selain suara burung-burung yang bertengger di pohon. Dia merasa tubuhnya sehat seperti muda lagi.

Setelah Amron tersentak dari mimpinya, Amron duduk terbengong-bengong di bibir tempat tidur. Amron mengucek-ngucek matanya. Dia yakin yang terjadi barusan hanya sebuah mimpi. Dia merenungi mimpinya itu. Dia tersenyum menyeringai. Dia rasa mimpinya tadi bisa diwujudkan dalam kehidupan nyata.  Dia akan mencoba menanam pohon-pohon di depan rumahnya.

"Dek, Abang mau menanam pohon buah-buahan di depan rumah kita!" kata Amron kepada Juwita, ketika mereka sedang sarapan pagi di meja makan.

Juwita menatap suaminya dengan wajah datar. Dia manggut-manggut membalas ucapan Amron. Juwita setuju, tapi tidak terlalu sungguh-sungguh.

Melihat istrinya seperti itu, Amron anggap istrinya menyetujui usulnya itu.

Usai sarapan, Amron segera pergi ke toko yang menjual aneka bibit tanaman buah-buahan. Amron membeli tiga macam bibit buah-buahan. Amron membeli bibit mangga, lengkeng dan rambutan. Pikir Amron, ketiga jenis tanaman itu mudah tumbuh di tanah pekarangan rumahnya. Amron menanam bibit pohon-pohon itu di setiap sudut rumahnya.

Amron sangat rajin memelihara dan merawat pohon-pohon itu. Dia selalu menyiram dan memupuk tanaman-tanaman itu secara teratur. Setiap hari selalu dipantaunya pertumbuhan tanaman-tanaman itu. Seiring dengan berjalannya waktu, tanaman-tanaman itu terus tumbuh subur dan akhirnya berbuah.

Amron sangat senang melihat usahanya menanam pohon membuahkan hasil. Setiap hari dia tersenyum memandang pohon-pohon itu.

Amron duduk di bangku kayu yang dia letakkan di bawah pohon mangga. Dia menyeruput kopi buatan Juwita istrinya. Dia merasa lega. Pohon-pohon yang dia tanam selalu didatangi oleh burung-burung yang entah darimana asalnya. Suara burung-burung itu sanggup mengalahkan suara mesin kendaraan yang lewat di depan rumahnya. Telinga Amron tidak disakiti lagi oleh suara hiruk pikuk dari jalan depan rumahnya.

Amron merasa seluruh rongga pernafasannya bersih, karena udara di sekitar rumahnya sudah disaring oleh pohon-pohon itu. Dia juga tidak merasa kepanasan di siang hari, karena cahaya mentari dihadang oleh rimbunnya daun-daun pohon.

Namun jika pohon-pohon itu berbuah, Amron selalu terganggu oleh suara anak-anak yang berebutan mengambil buah-buah itu. Entah datang darimana anak-anak itu, Amron tidak tahu.

Amron tidak bisa istirahat di siang hari, jika pohon-pohon itu berbuah. Pintu rumahnya selalu digedor anak-anak untuk minta izin mengambil buah-buahan. Amron Juga kerap diomeli oleh Juwita istrinya, krena daun-daun kering bertaburan di halaman depan rumah.

Tetangga dekat rumah, menatap Amron dengan wajah masam, jika berpapasan. Padahal dulu tetangganya sangat ramah dengan Amron. Tetangganya itu tidak suka karena dahan pohon yang ditanam Amron melebar ke atap rumahnya.
 
Tak jarang petugas dari PLN datang menemui Amron. Mereka meminta Amron supaya rajin memangkas dahan pohon-pohon itu, karena sudah menggangu kabel listrik.

Amron tidak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya. Usahanya menanam pohon itu, di satu sisi berdampak baik dan di sisi lain menyusahkan dirinya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun