Amron terkenang dengan masa kecilnya dulu bebas bermain-main. Tidak takut ditabrak mobil ketika menyeberang jalan. Dia juga bebas melempar burung dengan ketapel, tanpa takut kena rumah atau kepala orang. Dia juga bebas mandi di kali, tanpa takut kena penyakit gatal karena airnya belum tercemar limbah dan sampah.
Pernah suatu waktu Amron mengutarakan sebuah keinginan kepada istrinya yang bernama Juwita. "Kita jual saja rumah kita ini ya, Dek."
"Emangnya kenapa, Abang?" Juwita balik bertanya.
"Telingaku terasa pecah kalau setiap hari dijejal dengan suara motor dan hiruk pikuk jalanan di depan rumah kita!"
"Abang harus membiasakan diri dengan suara-suara itu. Anggap saja itu musik penghibur saat Abang lagi duduk di beranda," saran Juwita.
"Enak saja kamu ngomong. Bagaimana jika Abang stress atau kena darah tinggi kemudian strok, hah!" balas Amaron.
"Abang saja yang begitu. Buktinya aku tidak apa-apa. Aku biasa saja dengan suara-suara itu. Malah aku senang, karena rumah kita jadi ramai!" sanggah Juwita.
Amron tidak membalas lagi perkataan istrinya. Dia pikir wajar jika istrinya tidak terpengaruh dengan suara-suara kendaraan itu. Istrinya masih muda darinya. Waktu Amron menikahi Juwita, umur Juwita baru sembilan belas tahun, sedang Amron sudah berumur tiga puluh lima tahun.
Juwita sendiri merasa senang menikah dengan Amron yang seorang pegawai negeri. Juwita memang bercita-cita punya seorang suami pegawai negeri.
"Terus, kalau rumah ini dijual, kita pindah ke mana, Abang? Emangnya Abang punya duit untuk beli atau membangun rumah baru?" tanya Juwita sambil menatap Amron.
"Kita bisa bikin rumah dari hasil penjualan ruamah ini, Dek!" balas Amron.