Mohon tunggu...
AL ARUDI
AL ARUDI Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Menulis dan membaca untuk mengisi waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setan Itu Memfitnah Ibuku

28 Juli 2024   08:55 Diperbarui: 28 Juli 2024   08:58 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh OpenClipart-Vectors dari Pixabay sumber gambar

Aku pergi ziarah ke makam ibu ketika cahaya mentari belum teramat garang. Di area makam masih tampak sepi ketika aku melangkah ke makam ibu. Belum tampak para peziarah yang  berdatangan. Biasanya satu hari menjelang Bulan Ramadhan seperti saat ini ramai para peziarah yang datang.

Aku lihat di sekitar makam hanya ada dua orang petugas makam yang sedang membersih rumput. Jarak aku dengan mereka cukup jauh. Mereka berdua di sisi ujung area makam.

Untuk berjalan ke arah penjaga makam itu tentu butuh waktu yang lama juga. Sebab harus melewati makam yang sudah berdempet-dempet. Dengan begitu siapa pun harus terpaksa berjalan  pelan-pelan. Jika tidak hati-hati tentu akan menginjak makam orang lain.

Area makam di kampungku sudah sempit. Sudah ada larangan dari panitia kematian kampung, agar tidak mengubur jenazah di makam itu lagi.

Area pemakaman pengganti sudah disediakan. Namun karena jaraknya jauh orang-orang di kampungku masih memaksakan diri untuk mengubur jenazah di tempat itu. Mereka tak sungkan-sungkan merusak kubur orang lain, untuk menggali lubang yang baru.

Di depan pintu gerbang makam, aku lihat ada seorang ibu duduk di hadapan meja kecil yang berisi bunga tabur. Bunga-bunga tabur itu dimasukkan ke dalam beberapa lembar kantong kresek. Bunga tabur itu tentu akan ditawarkan kepada peziarah.

Aku tidak suka berziarah dengan menabur bunga di atas kubur. Bagiku cukuplah membawa doa untuk ibuku yang sudah tenang di alamnya. Bagiku bunga- bunga yang ditanam di areal makam cukuplah sebagai peneduh pusara. Apalagi bunga- bunga kamboja yang ada di makam itu jatuh berguguran di atas pusara yang ada di situ.

Aku suka dengan suasana makan yang masih sunyi. Dengan demikian aku akan lebih khusuk berdo'a di depan makam ibuku.

Aku mulai berjongkok di sisi makam ibuku. Aku mencabut rumput-rumput yang tumbuh sedikit di atas makam ibuku. Rumput-rumput itu mungkin terlewatkan oleh petugas kebersihan makam. Tak lupa juga aku memungut bunga-bunga Kamboja yang sudah layu bertaburan di atas makam ibuku. Aku buang bunga-bunga layu itu ke samping makam ibuku.

Tiba-tiba seorang wanita tua memakai baju kebaya dan berkain motif bunga tegak di hadapanku. Penutup kepalanya menggunakan caping bambu. Aku tidak tahu dari mana nenek-nenek itu datang. Tiba-tiba dia sudah tegak di depanku, ketika aku baru hendak mengangkat tangan untuk berdo'a.

Aku merasa ada yang aneh dengan orang tua yang sudah keriput itu.

"Hai anak muda! Kau seharusnya tak perlu berziarah dan mendo'akan ibumu! Ibumu tak layak menerima do'a. Dosa-dosanya sudah setinggi gunung. Tidak mungkin Allah akan mengampuninya!" Nenek itu menyeringai. Giginya yang hitam dan sebagian ompong membuat aku jijik melihatnya. Matanya melotot tajam menatapku, walaupun aku tak telalu jelas melihatnya. Sebagian mata nenek itu tertutup. Dengan caping bambu.

Dadaku terasa bergetar mendengar ucapan wanita tua itu. Darahku terasa panas. Aku seperti disambar geledek ketika mendengar ibuku memiliki dosa setinggi gunung. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya yang sudah keriput dan peot itu. Namun aku berusaha menahan emosiku. Lebih baik aku mengetahu dulu siapa sebenarnya wanita peot yang ada di depanku.

"Hai, siapa kau! Tiba-tiba datang dan melarangku untuk ziarah dan berdo'a di makam ibuku! Aku tidak mengenal kamu! Aku tidak pernah ketemu kamu sebelumnya!" balasku dengan tatapan tajam ke arah tua bangka itu.

"Hik...hik..hik!" Dia cekikikan aneh. "Kau tidak perlu tahu siapa aku anak Muda! Aku sudah kenal siapa ibumu dan siapa dirimu. Bahkan sebelum ibumu dan kamu lahir aku sudah kenal kalian!"

Orang tua aneh pikirku. Aku belum pernah mendengar tawa orang tua cekikan seperti itu. Pendengaranku terasa ganjil. Ucapannya juga sombong.

"Lalu apa maupun berkata seperti itu di hadapanku! Dan sejauh mana kau mengenal ibuku, hah!" ujarku sambil menatap wanita peot itu dengan tajam.

Mata nenek- nenek itu masih melotot memandangku. Dari sorot matanya seperti menyimpan dendam tujuh turunan.

"Hai anak muda...! Ibumu adalah pelacur. Ibumu Bukanlah orang naik-baik. Mendingan kamu pulang Tidak perlu kau menziarahi makam ibumu. Dia sudah ditakdirkan jadi penghuni neraka!" ujarnya.

Darahku terasa mendidih. Tubuhku bergetar. Aku berjuang menahan emosi ketika dia mengatakan ibuku pelacur. Tapi aku berusaha agar tak mengeluarkan kata-kata kasar dan keras di depan makam ibuku.

"Hai orang tua gila! Kamu jangan ngomong sembarangan ya! Mana mungkin ibuku seorang pelacur! Ibuku selalu mendidikku untuk dekat dengan Allah. Tidak pernah aku melihat ibuku berpakaian seperti pelacur!"

"Kemana-mana dia selalu menutup aurat. Setiap dia keluar rumah selalu ditemani bapakku. Kalau bapakku tidak sempat, aku yang menemaninya. Tidak mungkin ibu aku sempat bergaul dengan wanita-wanita di tempat pelacuran! Ibu aku rajin mengikuti pengajian yang ada di tempat tinggal kami! Kamu jangan mengada-ada!" balasku dengan suara mulai meninggi.

Wanita tua renta itu semakin tajam menatapku. Aku sempat bergidik beradu tatap dengannya.

"Hai anak muda! Ketahuilah ibumu jadi pelacur sebelum kau dilahirkan! Wajar jika kau tidak tahu! Hik..hik..hik..!" Dia tertawa lagi.

Aroma tubuh wanita tua itu dibawa angin masuk ke rongga penciumanku. Menurutku bau tubuhnya lebih menyengat daripada bau bangkai tikus. Harum bunga yang ada di sekitar makam tak mampu menutupi bau wanita tua itu.

Perutku terasa seperti diobok-obok dan ingin muntah. Ditambah lagi rasa kesal yang terselubung amarah membuat kepalaku terasa hendak berputar-putar.

"Aku yakin, kamulah yang pelacur orang tua! Sebab bau tubuhmu seperti bau kotoran yang dikeluarkan seorang pelacur! Aku yakin kamu hendak memfitnah ibuku!" Aku membalas wanita tua itu, sambil menahan amarah dan rasa mual di perutku.

"Hik..hik.  Hiik..!" Lagi- lagi orang tua itu tertawa aneh. "Terserah kau mau percaya atau tidak anak muda. Kau sama saja dengan ibumu, dengan nenekmu, dengan nenek buyutmu. Kalian semua tidak pernah sadar memiliki dosa. Kalian mengira ibadah yang kalian lakukan akan diterima oleh Allah, hah! Hik .hik..hikk..!"

Aku sudah muak mendengar kata-kata wanita tua buruk itu. Dia sudah mendahului Allah. Darimana dia tahu ibuku sudah pasti masuk neraka? Darimana pula dia tahu Allah tidak menerima ibadah seseorang? Setahuku Allah Maha Penerima. Dan tak mungkin Allah ingkar janji.

Aku lihat tubuh wanita tua itu semakin tegang. Sorot matanya berubah merah bagai biji saga.

"Hai anak muda apakah engkau ingin tahu lebih banyak lagi dosa ibumu? Jika engkau kuat mendengarnya akan aku katakan kepadamu!"

Gigiku mencengkram. Aku menatap wanita tua itu dengan tajam. Tubuhku bergetar menahan emosi di hadapan makam ibuku. Hatiku seperti dicabik-cabik oleh perempuan tua di hadapanku.

"Hik .hik..hik..!" Wanita tua itu senyum menyeringai. Matanya berbinar tapi mengerikan. Sepertinya dia senang jika aku terbawa emosi.

Aku tak lagi mengeluar sepatah katapun. Aku sudah menyusun rencana dalam kepalaku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan jika wanita tua itu terus memfitnah ibuku. Di hadapan makam ibuku, aku akan mematahkan fitnah yang dilontarkan wanita tua itu

" Baiklah anak muda akan aku katakan dosa ibumu selanjutnya. Ibu kamu semasa hidupnya seorang rentenir sebelum engkau dilahirkan. Dia suka memeras orang dan memakan bunga berlipat-lipat! Hik..hik..hik..!" Dia tertawa lagi.

Aku tak sanggup lagi menahan emosi atas fitnah yang ditujukan kepada ibuku.

Mana mungkin ibuku bisa menjadi rentenir. Jangankan memberi pinjaman kepada orang, untuk makan sehari- hari saja ibuku sudah mengirit. Kehidupan ekonomi kami hanya mengandalkan gaji almarhum bapakku yang tak seberapa. Bapakku hanya lulusan SD di jaman Jepang. Bapakku hanya pegawai rendahan di sebuah perusahaan BUMN.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya pelan, agar aku bisa lebih tenang. Tatapanku tertuju ke sebongkah batu sebesar kepalan tangan orang dewasa yang ada di sisi makam ibuku.

Kali ini aku tak ingin lagi mendengar fitnah yang keluar dari mulut wanita yang sudah keriput itu. Dengan cepat aku meraih sebongkah batu itu. Kemudian aku lempar sekuat- kuatnya ke arah wanita tua renta itu.

Bola mataku hampir keluar dan aku ternganga. Batu yang aku lempar tepat mengenai kepala wanita tua itu. Wanita tua di hadapanku tiba-tiba Berubah jadi asap dan menghilang. Dia meninggalkan bau menyengat yang terasa aneh.

Aku langsung berpikir, wanita tua tadi pastilah bangsa setan yang menyamar di pagi hari. Mungkin dia hendak menggodaku agar benci kepada ibu.

Kemudian aku langsung berdoa untuk ibuku. Melanjutkan doaku yang batal gara gara setan tua tadi.

Sampai kapan pun aku tetap mencintai ibuku. Ibuku adalah cinta abadiku. Aku tak perduli apapun yang dilakukan ibu selama hidupnya. Yang aku tahu kewajiban seorang anak adalah berbakti kepada ibu dan bapak. Dan aku tak akan pernah percaya apa yang dikatakan setan itu tentang ibuku.

Ketika aku melangkah keluar meninggalkan area makam, para peziarah mulai banyak berdatangan. Mereka menatapku dengan tatapan wajar. Di antara mereka yang aku kenal menyapaku dengan senyum. Sepertinya mereka tidak ada yang tahu jika tadi aku telah bertengkar  dengan setan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun